Blogger Widgets

Senin, 02 Maret 2015

makalah tentang talak

TALAK DALAM HUKUM ISLAM
Makalah Ini Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Tugas
Mata Kuliah : Fikih Munakahat
Dosen Pengampu : Wawan Suwandi, Drs. M.Pd.I










Disusun Oleh :
Santi Nurul Hikmah
Semester III
Program Studi Ahwal Al-Syakhsiyah


FAKULTAS SYARI’AH
INSTITUT AGAMA ISLAM DARUSSALAM(IAID)
CIAMIS-JAWA BARAT
2014

 KATA PENGANTAR
Puji syukur saya panjatkan kehadirat Allah swt. karena atas rahmat dan petunjuknya, saya dapat menyelesaikan penulisan makalah ini dengan lancar. Makalalah ini saya tulis untuk memenuhi tugas mata kuliah Fikih Munakahat dengan judul “Talak dalam Hukum Islam”.
Namun demikian, saya menyadari bahwa dalam penulisan makalah ini masih jauh dari kesempurnaan. Dengan segala kerendahan hati, kritik dan saran dari berbagai pihak sangat saya harapkan untuk penyempurnaan makalah berikutnya.
Akhirnya saya mengucapkan terimahkasih kepada semua pihak yang telah membantu dalam penulisan makalah ini, terutama kepada dosen pengampu mata kuliah Fikih Munakahat.  Semoga makalah ini dapat bermanfaat. Amin.

Ciamis, l3 Desember 2014

Penulis












DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR...................................................................................      i
DAFTAR.......................................................................................................      ii
BAB I PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang............................................................................      1
1.2. Rumusan Masalah........................................................................      1
1.3. Tujuan..........................................................................................      1
BAB II PEMBAHASAN
2.1. Pengertian Talak..........................................................................      2
2.2. Macam-macam Talak...................................................................      2
2.3. Sifat Dan Kedudukan Hukum Talak...........................................      7
BAB III PENUTUP
3.1. Kesimpulan..................................................................................      12
3.2. Saran............................................................................................      13
DAFTAR PUSTAKA....................................................................................      14
 BAB I
PENDAHULUAN

1.1.Latar Belakang
 Zaman sekarang perceraian semakin meningkat dengan tajam. Salah satu sebab perceraian diantaranya dengan kata talak. Meskipun kata talak sudah banyak yang mengenal akan tetapi banyak orang yang belum memahami secara betul-betul apa itu talak. Banyak orang yang tidak mengerti akibat dari kata talak sehingga dengan mudah orang awam ketika berseteru dengan sang istri langsung mengucapkan kata talak.
Hal inilah yang membuat saya tertarik untuk membuat makalah dengan judul Talak dalam Hukum Islam, selain itu untuk memenuhi salah satu tugas mata kuliah Fikih Munakahat.
1.2. Rumusan Masalah
Adapun rumusan  masalah yang terdapat dalam makalah ini adalah sebagai berikut:
a.    Apa pengertian talak?
b.    Jelaskan macam-macam talak?
c.    Bagaimana Sifat Dan Kedudukan Hukum Talak?
1.3. Tujuan
Berdasarkan rumusan masalah diatas, maka tujuan dari penulisan makalah ini adalah sebagai berikut:
1.      Mengetahui  pengertian talak.
2.      Mengetahui macam-macam talak.
3.      Mengetahui Sifat Dan Kedudukan Hukum Talak.







BAB  II
PEMBAHASAN

2.1. Pengertian Talak
     Talak terambil dari kata “ithlaq” yang menurut bahasa artinya “melepaskan atau meninggalkan”. Menurut istilah syara’, thalaq yaitu:
حلّ ربطة الزّواج وانّها ء العلا قة الزّوجيّة
Artinya “melepas tali perkawinan dan mengakhiri hubungan suamu Istri”. (Sabiq, 1997:9)
     Al-Jazary mendefinisikan:
الطّلا ق ازالة النّكح اونقصان حلّه بلفظ مخصو ص
Artinya “talak ialah menghilangkan ikatan perkawinan atau mengurangi pelepasan ikatannya denga menggunakan kata-kata tertentu”.
            Menurut Abu Zakaria Al-Anshari, talak ialah:
حلّ عقد النّكاح بلفظ الطّلاق ونحوه
Artinya “melepas tali akad nikah dengan kata talak dan yang semacamnya”.
     Jadi, talak itu ialah menghilangkan ikatan perkawinan sehingga setelah hilangnya ikatan perkawinan itu istri tidak lagi halal bagi suaminya, dan ini terjadi dalam hal talak ba’in, sedangkan arti mengurangi pelepasan ikatan perkawinan ialah berkurangnya hak talak bagi suami yang mengakibatkan berkurangnya jumlah talak yang menjadi hak suami dari tiga menjadi dua, dari dua menjadi satu, dari satu menjadi hilang hak talak itu, yaitu terjadi dalam talak raj’i. (Ghazali, 2003: 192)
2.2. Macam-macam Talaq
     Ditinjau dari segi waktu dijatuhkannya talak itu, maka talak dibagi menjadi tiga macam, sebagai berikut:
A.  Talak Sunni, yaitu talak yang dijatuhkan sesuai dengan tuntutan sunnah. Dikatakan talak sunni jika memenuhi empat syarat:
1.      Istri yang ditalak sudah pernah digauli, bila talak dijatuhkan terhadap istri yang belum pernah digauli, tidak termasuk talak sunni.
2.      Istri dapat segera melakukan iddah suci setelah ditalak, yaitu dalam keadaan suci dari haid. Menurut Ulama Syafi’iyah, perhitungan iddah bagi wanita berhaid ialah tiga kali suci, bukan tiga kali haid. Dan bukan termasuk talak sunni apabila talak terhadap istri yang telah lepas haid (monopause) atau belum pernah haid, atau sedang hamil, atau talak karena suami meminta tebusan (khulu’), atau ketika istri dalam haid.
3.      Talak itu dijatuhkan ketika istri dalam keadaan suci, baik dipermulaan, dipertengahan, maupun diakhir suci, kendati beberapa saat lalu datang haid.
4.      Suami tidak pernah menggauli istri selama masa suci dimana talak itu dijatuhkan. Talak yang dijatuhkan oleh suami ketika istri dalam keadaan suci dari haid tetapi pernah digauli bukan termasuk talak sunni. (Ghazali, 2003: 193)
B.  Talak Bid’i, yaitu talak yang dijatuhkan tidak sesuai atau bertentangan dengan tuntutan sunnah, tidak memenuhi syarat-syarat talak sunni. Yang termasuk talak bid’i ialah:
1.      Talak yang dijatuhkan terhadap istri padda waktu haid (menstruasi), baik dipermulaan haid maupun dipertengahannya.
2.      Talak yang dijatuhkan terhadap istri dalam keadaan suci tetapi pernah digauli oleh suaminya dalam keadaan suci.
C.  Talak la sunni wala bid’i, yaitu talak yang tidak termasuk kategori talak sunni dan tidak pula termasuk talak bid’i, yaitu:
1.      Talak yang dijatuhkan terhadap istri yang belum pernah digauli.
2.      Talak yang dijatuhkan terhadap istri yang belum pernah haid, atau telah lepas dari haid
3.      Talak yang dijatuhkan terhadap istri yang hamil. (Ghazali, 2003: 194)
     Ditinjau dari segi tegas dan tidaknya kata-kata yang dipergunakan sebagai ucapan talak, maka talak terbagi menjadi dua macam, sebagai berikut:
A.    Talak sharih, yaitu talak dengan mempergunakan kata-kata yang jelas dan tegas, dapat dipahami sebagai pernyataan talak atau cerai seketika diucapkan, tidak mungkin dipahami lagi. Imam Syafi’i mengatakan bahwa kata-kata yang dipergunakan untuk talak sharih ada tiga, yaitu talak, firaq, dan sarah, ketiga ayat itu disebut dalam Al-Qur’an dan hadist.
Ahl al-Zhahiriyah berkata bahwa talak tidak jatuh kecuali dengan mempergunakan salah satu dari tiga kata tersebu, karena syara’ telah mempergunakan kata-kata ini, padahal talak adalah perbuatan ibadah, karenanya diisyaratkan mempergunakan kata-kata yang telah ditetapkan oleh syara’. Beberapa contoh talak sharih ialah seperti suami berkata pada istrinya:
1.      Engkau saya talak sekarang juga. Engkau saya cerai sekarang juga.
2.      Engkau saya firaq sekarang juga. Engkau saya pisahkan sekarang juga.
3.      Engkau saya sarah sekarang juga. Engkau saya lepas sekarang juga.
4.      Apabila suami menjatuhkan talak terhadap istrinya dengan talak sharih maka menjadi jatuhlah talak itu dengan sendirinya, sepanjang ucapannya itu dinyatakan dalam keadaan sadar dan atas kemauannya sendiri. (Ghazali, 2003: 195)
B.     Talak Kinayah, yaitu talak dengan mempergunakan kata-kata sindiran, atau samar-samar, seperti suami berkata pada istrinya:
1.      Engkau sekarang telah jauh dariku.
2.      Selesaikan sendiri segala urusanmu.
3.      Janganlah engkau mendekatiku lagi.
4.      Keluarlah engkau dari rumahmu sekarang juga.
5.      Pulanglah ke rumah orang tuamu sekarang.
6.      Susullah keluargamu sekarang juga.
Ucapan-ucapan tersebut mengandung kemungkinan cerai dan mengandung kemungkinan lain.
5.      Tentang kedudukan talak dengan kata-kata kinayah atau sindiran ini sebagaimana dikemukakan oleh Taqiyuddin Al-Husaini, bergantung kepada niat suami. Artinya, jika suami dengan kata-kata tersebut tidak bermaksud menjatuhkan talak, maka menjadi jatuhlah talak itu, dan jika suami dengan kata-kata tersebut tidak bermaksud menjatuhkan talak maka talak tidak jatuh. (Ghazali, 2003: 196)
            Ditinjau dari segi ada atau tidak adanya kemungkinan bekas suami merujuk kembali bekas istri, maka talak dibagi menjadi dua macam, sebagai berikut:
a.       Talak Raj’i, yaitu talak yang dijatuhkan suami terhadap istrinya yang telah pernah digauli, bukan karena memperoleh ganti harta dari istri, talak yang pertama kali dijatuhkan atau yang kedua kalinya. Dr. As-Siba’i mengatakan bahwa talak raj’i adalah talak yang untuk kembalinya bekas istri kepada bekas suaminya tidak memerlukan pembaruan akad nikah, tidak memerlukan mahar, serta tidak memerlukan persaksian. Setelah terjadi talak raj’i maka istri wajib beriddah, hanya kemudia jika suami hendak kembali kepada bekas istri sebelum habis masa iddah, maka hal itu dapat dilakukan dengan menyatakan rujuk terhadap bekas istriya, maka dengan berakhirnya masa iddah itu kedudukan talak itu menjadi talak ba’in, kemudian jika sesudah berakhirnya masa iddah itu suami ingin kembali kepada bekas istrinya maka wajib dilakukan dengan akad nikah baru dan mahar yang baru pula. (Ghazali, 2003: 197) Talak raj’i hanya terjadi pada talak pertama dan kedua saja, berdasarkan firman Allah dalam surat Al-Baqarah ayat 229:
الطّلاق مرّتا ن فاِمسا ك بمعروف او تسرىح باِحسا ن (البقرة )
Talak (yang dapat dirujuk) dua kali. Setelah itu boleh rujuk lagi dengan cara yang makruf atau menceraikan dengan cara yang baik.” Ayat ini memberi makna bahwa talak yang disyari’atkan Allah ialah talak yang dijatuhkan oleh suami satu demi satu, tidak sekaligus, dan bahwa suami bole kembali kepada bekas istrinya setelah talak pertama dengan cara yang baik, demikian pula setelah talak kedua. Hak merujuk hanya terdapat dalam talak raj’i saja. (Ghazali, 2003: 198)
b.      Talak Ba’in, yaitu talak yang tidak memberi hak merujuk bagi bekas suami kepada bekas istrinya. Untuk mengembalikan bekas istri kedalam ikatan perkawinan dengan bekas suami harus melalui akad nikah yang nikah baru, lengkap dengan rukun dan syarat-syaratnya.
Talak ba’in ada dua macam, yaitu talak ba’in shugro dan talak ba’in kubro. Talak ba’in shugro ialah talak ba’in yang menghilangkan pemilikan bekas suami terhadap istri tetapi tidak menghilangkan kehalalan bekas suami untuk kawin kembali dengan bekas istri. Artinya bekas suami boleh mengadakan akad nikah baru dengan bekas istri, baik dalam masa iddahnya maupun sesudah berakhir masa iddahnya. Yang termasuk talak ba’in shugro ialah talak sebelum berkumpul, talak dengan penggantian harta atau yang disebut khulu’, talak karena aib (cacat badan), karena salah seorang dipenjara, talak karena penganiayaan, atau yang semacamnya. (Ghazali, 2003: 198) Talak ba’in kubro ialah talak yang menghilangkan pemilikan bekas suami terhadap bekas istri serta menghilangkan kehalalan bekas suami untuk kawin kembali dengan bekas istrinya, kecuali setelah bekas istri itu kawin lagi dengan lelaki lain, telah berkumpul dengan suami kedua itu serta telah bercerai secara wajar dan telah selesai menjalankan iddahnya. Talak bain kubro terjadi pada talak yang ketiga. Hal ini sesuai dengan firman Allah dalam surat Al-Baqarah ayat 230:
فاِن طلقّها فلا تحلّ له من بعد حتّي تنكح زوجاً غيره (البقرة)
“kemudian jika suami mentalaknya (sesudah talak yang kedua), maka perempuan itu tidak halal lagi baginya, sampai dia kawin dengan suami yang lain”. (Ghazali, 2003: 199)
            Ditnjau dari segi cara suami menyampaikan talak terhadap istrinya, talak ada beberapa macam, yaitu sebagai berikut:
a.       Talak dengan ucapan, yaitu talak yang disampaikan oleh suami dengan ucapan dihadapan istrinya dan istri mendengar secara langsung ucapan suaminya itu.
b.      Talak dengan tulisan, yaitu talak yang disampaikan oleh suami dengan secara tertulis lalu disampaikan kepada istrinya, kemudian istri  membacanya dan memahami isi dan maksudnya. Talak yang dinyatakan secara tertulis dapat dipandang jatuh (sah), meski yang bersangkutan dapat mengucapkannya. Sebagaimana talak dengan ucapan ada talak sharih dan talak kinayah, maka talak dengan tulisanpun demikian pula. Talak sharih jatuh dengan semata-mata pernyataan talak, sedangkan talak kinayah bergantung kepada niat suami. (Ghazali, 2003: 199)
c.       Talak dengan isyarat, yaitu talak yang dilakukan dalam bentuk isyarat oleh suami yang tuna wicara (bisu) dapat dipandang sebagai alat komunikasi untuk memberikan pengertian dan menyampaikan maksud dan isi hati. Oleh karena itu, isyarat baginya sama dengan ucapan bagi yang dapat berbicara dalam menjatuhkan talak, sepanjang isyarat itu jelas dan meyakinkan bermaksud talak atau mengakhiri perkawinan, dan isyarat itulah satu-satunya jalan untuk menyampaikan maksud yang terkandung dalam hatinya. Sebagian fukoha mensyari’atkan bahwa untuk sahnya talak dengan isyarat bagi tuna wicara itu adalah buta huruf. Jika yang bersangkutan dapat menulis dan bisa menulis, maka talak baginya tidak cukup dengan isyarat, karena tulisan itu lebih dapat menunjuk maksud ketimbang isyarat, dan tidak beralih dari tulisan ke isyarat, kecuali karena darurat, yakni tidak dapat menulis.
d.      Talak dengan utusan, yaitu talak yang disampaikan oleh suami melalui perantaraan orang lain sebagai utusan untuk menyampaikan maksud suami itu kepada istrinya yang tidak berada dihadapan suami bahwa suami mentalak istrinya. Dalam hal ini utusan berkedudukan sebagai wakil suami untuk menjatuhkan talak suami dan melaksanakan talak itu. (Ghazali, 2003: 120)
2.3.  Sifat Dan Kedudukan Hukum Talak
1.    Talak Suami Yang Dipaksa
Orang yang dipaksa itu tidak mempunyai kebebasan untuk berbuat dan berkehendak, padahal kehendak dan usaha termasuk unsur pokok taklif. Oleh karena itu, tidak adanya kehendak dan ikhtiar pada orang yang dipaksa, berarti hilang pula taklif yang berarti mukrah itu tidak bisa dimintai tanggung jawab  terhadap apa yang ia lakukan.  
Berdasarkan hal tersebut, maka Imam Malik, Syafi’i, Ahmad, Daud, serta Abdullah bin Umar r.a., dan Ibnu Abbas r.a. mereka mengatakan bahwa talak yang dipaksa itu tidak sah. Akan tetapi pengikut Imam Syafi’i  mengadakan pemisahan apakah orang yang dipaksa menalak itu meniatkan talak atau tidak. Jika ia meniatkan talak, maka terdapat dua pendapat dan yang paling shahih talaknya sah. Jika tidak meniatkan talak, ada dua pendapat dan yang paling shahih adalah sah. Begitu juga Imam Abu Hanifah dan para pengikutnya mengatakan bahwa talak orang yang dipaksa tetap sah. Seperti halnya pembebasan terhadap hambanya, tetapi jual belinya tidak sah. Jadi, mereka mengadakan pemisahan antara jual beli disatu pihak dengan talak dan pembebasan dilain pihak. (Abidin, 1999: 48).
Adanya perbedaan pendapat tersebut disebabkan oleh persoalan apakah orang yang menjatuhkan talak tersebut dari segi adanya paksaan atas dirinya dapat dianggap sebagai orang yang mempunyai pilihan atau tidak? Hal itu karena pada dasarnya ia tidak dipaksa untuk mengucapkan kata-kata talak, lantaran karena kata-kata itu terjadi berdasarkan pilihan sendiri. Sedangkan orang yang dipaksa dalam arti yang sebenarnya adalah orang yang tidak mempunyai pilihan sama sekali pada penjatuhan talak.
Masing-masing dari dua golongan beralasan dari hadis Nabi SAW.:
رفع عن امّتى الخطاء والنسيان ومااستكرهواعليه (اخرجه ابن ماجه و ابن حبان والدّار قطني والحاكم)
Artinya: “Diangkat dosa dari umatku kekeliruan, kelupaan, dan apa yang mereka dipaksa untuk membuatnya.” (hadis yang dikeluarkan oleh Ibnu Majah, Ibnu Hibban, Daruqutni, dan Hakim)
Allah SWT. juga berfirman dalam Al-Qur’an surat An-Nahl: 106
...........الاّمن اُكره و قلبه مطمئنّ با لايمان....... (النحل)
Artinya: “......Kecuali orang yang dipaksa kafir padahal hatinya tetap tenang dalam beriman (dia tidak berdosa)...” (QS. An-Nahl: 106). (Abidin, 1999: 49). Jadi, jelas dan benar bahwa orang yang dipaksa untuk menjatuhkan talak messkipun atas pilihannyadalam pandangan syara’ ia disebut orang yang dipaksa juga.
Dalam memisahkan antara jual beli dengan talak, Imam Abu Hanifah mengemukakan alasan bahwa talak adalah suatu perkara yang harus diberi pengajaran. Oleh karena itu, beliau berpendapat bahwa talak meskipun gurauan atau sungguhan kedua-duanya sama sah. (Abidin, 1999: 50).
2.    Talak Suami Yang Marah
Marah adalah suatu keadaan seseorang yang tidak bisa menggambarkan apa yang ia ucapkan dengan kesadaran, karena emosinya bekerja penuh. Oleh karena itu, talak yang diucapkan ketika marah pada dasarnya tidak sah, karena dalam sebuah hadis yang artinya: “Tidak ada talak, dan tidak ada pembebasan hamba pada orang yang sedang marah” (HR. Ahmad, Abu Dawud, dan Ibnu Majah).
Marah itu ada tiga macam yaitu:
a.       Marah sekali, sehingga akalnya hilang sama sekali, orang yang demikian talaknya tidak sah.
b.      Permulaan marah, talaknya sah.
c.       Setengah marah, ulama berbeda pendapat, tetapi yang lebih kuat adalah yang mengatakan talaknya tidak sah. (Abidin, 1999: 50).
3.    Talak Suami Main-main (Bergurau)
Tentang yang main-main atau bergurau menjatuhkan talak, maka terdapat perbedaan pendapat, yaitu:
a.       Jumhur ulama mengatakan bahwa talaknya jatuh, sebagaimana nikahnya juga sah.
b.      Segolongan ulama mengatakan bahwa, talaknya tidak sah. Ini Pendapat mazhab Maliki. Mereka mensyaratkan talaknya bisa sah apabila:
·         Rida/sadar apa yang diucapkan;
·         Tahu apa yang diucapkan;
·         Memang niatnya talak.
                                           Dengan demikian, kalau hanya untuk main-main, maka talaknya tidak sah. Allah SWT. berfirman:
و ان عزمواالطّلق فاِنّ الله سميع عليم (البقرة)
                        Artinya : “Dan jika mereka bera’zam (bertetap hati untuk) talak, maka sesungguhnya Allah maha mendengar. Lagi maha mengetahui.” (Al-Baqarah: 227). (Abidin, 1999: 51).
4.      Talak Suami Yang Mabuk
        Tentang talak dalam keadaan suami sedang mabuk terdapat perbedaan pendapat.
        Imam Syafi’i, Ahmad, dan Asy-Syaukani berpendapat bahwa talak dalam keadaan suami mabuk itu tidak sah, dengan alasan bahwa mabuk itu sama dengan orang gila dalam hal hilangnya akal. Padahal adanya akal merupakan sandaran bagi taklif. Ada juga yang berpendapat bahwa talaknya orang mabuk itu sah karena tidak sama dengan orang gila.
       Tidak sahnya talak bagi suami yang sedang mabuk, juga disamakan dengan orang yang melaksanakan shalat, yaitu orang yang dalam keadaan sedang mabuk, maka shalatnya tidak sah.
       Dengan demikian, kalau dilihat dari persoalannya, apakah orang mabuk itu hukumnya sama dengan orang gila, jawabannya para fukoha berbeda pendapat.
       Jumhur fukoha berpendapat bahwa talak orang yang mabuk itu sah. Mereka berpendapat bahwa orang mabuk dengan orang gila itu tidak sama, karena orang mabuk itu merusak akal pikirannya berdasarkan kehendak sendiri, sehingga mereka menetapkan terjadinya talak bagi orang mabuk sebagai pemberian pengajaran.
       Sedangkan fukoha yang mengatakan bahwa talak orang mabuk itu tidak sah, menganggap bahwa orang mabuk adalah sama dengan orang gila.
5.      Talak Suami Yang Pelupa
       Suami pelupa termasuk orang yang salah. Oleh karena itu, Ulama Hanafi berpendapat bahwa talaknya pelupa adalah tidak sah.
6.      Talak Suami Yang Bingung
       Orang bingung adalah tidak mengerti apa yang diucapkan sebab sesuatu yang menimpanya, sehingga akal kesadarannya hilang. Oleh karena itu, talaknya suami dalam keadaan bingung tidak sah.
Pada dasarnya, hukum talak secara umum adalah boleh, akan tetapi sesuai dengan keadaan suami istri, maka talak dapat dibedakan sebagai berikut:
1.    Talak Hukumnya Makruh
     Bila dijatuhkan oleh suami kepada istri dalam keadaan:
·         Suci yang belum dicampuri.
·         Jelas sedang hamil.
2.    Talak Hukumnya Wajib
     Bila diputuskan oleh hakamain atau qadi (pengadilan agama) dan talak dengan alasan-alasan prinsipil yang dibolehkan syara’.
3.    Talak Hukumnya Sunnah
     Bila suami tidak bisa memberikan nafkah, dan istrinya tidak bisa mejaga diri.
4.    Talak Hukumnya Haram
     Bila dijatuhkan oleh suami kepada istri dalam keadaan:
·         Haid atau nifas.
·         Istri suci tetapi sudah dicampuri, dan belum jelas hamil atau tidaknya.
·         Talak tiga dengan satu kalimat.
·         Talak tiga denga beberapa kalimat, tetapi dalam satu majlis.


           









BAB III
KESIMPULAN

3.1. Kesimpulan
·      Talak ialah menghilangkan ikatan perkawinan atau mengurangi pelepasan ikatannya denga menggunakan kata-kata tertentu.
·      Macam-macam talak ditinjau dari segi waktu ialah talak Sunni, talak bid’i dan talak la sunni wala bid’i. Macam-macam talak ditinjau dari segi tegas atau tidaknya kata-kata yang dipergunakan sebagai ucapan talak adalah talak sharih dan talak kinayah. Macam-macam talak ditinjau dari segi adanya kemungkinan bekas suami merujuk kembali bekas istri adalah talak raj’i dan talak ba’in. Talak ba’in terbagi dua talak ba’in shugro dan talak ba’in kubro. Macam-macam talak ditinjau dari segi cara suami menyampaikan talak terhadap istrinya adalah talak dengan ucapan, talak dengan tulisan, talak dengan isyarat, talak dengan utusan.
·      Hukum talak secara umum adalah boleh, akan tetapi sesuai dengan keadaan suami istri, maka talak dapat dibedakan sebagai berikut:
1.    Talak Hukumnya Makruh
     Bila dijatuhkan oleh suami kepada istri dalam keadaan:
·         Suci yang belum dicampuri.
·         Jelas sedang hamil.
2.    Talak Hukumnya Wajib
     Bila diputuskan oleh hakamain atau qadi (pengadilan agama) dan talak dengan alasan-alasan prinsipil yang dibolehkan syara’.
3.    Talak Hukumnya Sunnah
     Bila suami tidak bisa memberikan nafkah, dan istrinya tidak bisa mejaga diri.
4.    Talak Hukumnya Haram
     Bila dijatuhkan oleh suami kepada istri dalam keadaan:
·         Haid atau nifas.
·         Istri suci tetapi sudah dicampuri, dan belum jelas hamil atau tidaknya.
·         Talak tiga dengan satu kalimat.
·         Talak tiga denga beberapa kalimat, tetapi dalam satu majlis.
3.2. Saran
   Setelah kita mempelajari dan mengetahui tentang talak diharapkan kita mampu memahaminya dengan baik.  Amin..
   Demikianlah yang dapat saya paparkan mengenai materi yang menjadi pokok bahasan dalam makalah ini, tentunya masih banyak kekurangan dikarenakan terbatasnya pengetahuan dan kurangnya referensi. Semoga makalah ini berguna bagi penulis dan para pembaca. Amin..























DAFTAR PUSTAKA

Abidin, Slamet. 1999. Fiqih Munakahat. Bandung: CV Pustaka Setia.
Ghazali, Abdul Rahman. 2003. Fiqih Munakahat. Jakarta: Kencana.
Sabiq, Sayyid. 1997. Fikih Sunnah. Bandung: Al-Ma’arif.


3 komentar:

  1. semoga bermanfaat ya... :-)
    catatan akan menciptakan pengetahuan, kenangan, dan sejarah.. :-)
    rajin-rajin menulis ya... :-)

    BalasHapus
  2. Mohon izin untuk mengambil sebagian pemahaman, isi dan tulisan sebagai ilmu dan bahan tambahan untuk saya.

    BalasHapus