PERBANDINGAN ANTAR ALIRAN:
IMAN DAN KUFUR
MAKALAH
Diajukan Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah
Ilmu Kalam
Dosen: Dra. Hj. Ani Hafni
Zahra Fadilah Laila, M. Pd. I

Disusun oleh:
Hendri Permana
Herlin Rosyani
Lia Yulianti
Asep Ali Ridwan
Ali Fuad Hasan
Ilham Rahmatullah
FAKULTAS SYARI’AH
PRODI AHWAL SYAKHSIYYAH
INSTITUT AGAMA ISLAM DARUSSALAM
CIAMIS

KATA PENGANTAR
Puji dan syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT,
semoga rahmat dan keselamatan senantiasa diberikan kepada Nabi Muhammad SAW,
kepada keluarga, para sahabatnya, dan kita selaku umatnya.
Dalam rangka memenuhi tugas kuliah ilmu kalam, maka
dibuatlah makalah yang berjudul “Perbandingan Antar Aliran: Iman dan Kufur”.
Penulis sadari bahwa makalah masih jauh dari sempurna. Terlepas dari kekurangan
yang ada, penulis berharap semoga makalah ini dapat memberikan manfaat bagi
semua pihak.
Ciamis,
Desember 2013
Penulis
DAFTAR
ISI
KATA
PENGANTAR................................................................................ i
DAFTAR
ISI.............................................................................................. ii
BAB I PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang...................................................................................... 1
1.2
Rumusan................................................................................................ 1
1.3
Tujuan.................................................................................................... 1
BAB
II PEMBAHASAN
2.1 Iman dan Kufur Menurut Khawarij...................................................... 2
2.2 Iman dan Kufur Menurut Murji’ah....................................................... 2
2.3 Iman dan Kufur Menurut Mu’tazilah.................................................... 3
2.4 Iman dan Kufur Menurut Asy’ariyah.................................................... 4
2.5 Iman dan Kufur Menurut Maturidiyah........................................5
2.6 Analisis dan Kesimpulan.............................................................6
BAB
III PENUTUP
3.1
Kesimpulan.......................................................................................... 7
3.2
Saran.................................................................................................... 7
DAFTAR
PUSTAKA
BAB
I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Agenda persoalan yang pertama-tama
timbul dalam teologi Islam adalah masalah iman dan kufur. Persoalan itu
dimunculkan pertama kali oleh kaum Khawarij tatkala mencap kafir sejumlah tokoh
sahabat nabi Muhammad, yang dipandang telah berbuat dosa besar, antara lain Ali
bin Abi Thalib, Muawiyyah bin Abi Sofyan, Abu Musa Al Asy’ari, Amr bin al-Ash,
Thalhah bin Ubaidillah, Zubair bin Awwam, dan Aisyah istri Rasulullah. Masalah
ini lalu dikembangkan oleh Khawarij dengan tesis utamanya bahwa setiap pelaku
dosa besar adalah kafir.[1]
Pernyataan
teologis itu selanjutnya bergulir menjadi bahan perbincangan dalam setiap
diskursus aliran-aliran teologi Islam yang tumbuh kemudian termasuk aliran
Murji’ah, Mu’tazilah, Asy’ariyah, dan Maturidiyah.
Menurut
hasan Hanafi, ada empat istilah kunci yang biasanya dipergunakan oleh para
teolog muslim dalam membicarakan konsep iman, yaitu:
a.
Marifah
bil aql (mengetahui dengan akal)
b.
Amal,
perbuatan baik atau patuh
c.
Iqrar,
pengakuan secara lisan
d.
Tashdiq,
membenarkan dengan hati.
1.2 Rumusan
Masalah
1.
Iman
dan Kufur menurut Khawarij
2.
Iman
dan Kufur Menurut Murji’ah
3.
Iman
dan Kufur Menurut Mu’tazilah
4.
Iman
dan kufur Menurut Asy’ariyah
5.
Iman
dan Kufur Menurut Maturidiyah
6.
Analisis
dan Kesimpulan
1.3 Tujuan
Tujuan pembuatan makalah ini untuk
mengetahui konsep iman dan kufur menurut aliran Khawarij, Murji’ah, Mu’tazilah,
Asy’ariyah, Maturidiyah, dan mengetahui analisis dan kesimpulan dari semua
aliran teologi.
BAB
II
PEMBAHASAN
2.1 Iman dan Kufur Menurut Aliran Khawarij
Iman dalam pandangan Khawarij, tidak
semata-mata percaya kepada Allah, mengerjakan segala perintah kewajiban agama
juga merupakan bagian dari keimanan. Segala perbuatan yang berbau religious,
termasuk di dalamnya masalah kekuasaan adalah bagian dari keimanan (al-‘amal
juz’un minal iman). Menurut Khawarij, orang yang tidak mengerjakan shalat,
puasa, zakat dan lain-lainnya maka orang itu kafir.[2]
Tegasnya orang mu’min yang berbuat
dosa, baik besar maupun kecil, maka orang itu kafir, wajib diperangi dan
dibunuh, boleh dirampas hartanya. Pengikut Khawarij berpegang pada semboyan laa
hukma illa lillaah asas bagi mereka dalam mengukur apakah seseorang masih
mu’min atau sudah kafir,[3]
karena tidak sesuai dengan hukum yang ditetapkan Allah.
Aliran Khawarij
terbagi menjadi 3 subsekte, pertama, subsekte Nadjat yang memberikan predikat
musyrik kepada umat Islam yang berkesinambungan mengerjakan dosa kecil, tetapi
yang melakukan dosa besar dengan tidak berkesinambungan tidak dianggap musyrik
melainkan kafir. Kedua, sebsekte ekstrim, yaitu golongan azariqoh, mereka
memberikan predikat musyrik kepada siapa yang tidak mau bergabung kedalam
barisan mereka, sedang orang yang melakukan dosa besar dipandang kafir millah.
Ketiga, subsekte moderat, yaitu golongan ibadiyah mempunyai pandangan setiap
pelaku dosa besar tetap sebagai muwwahid (yang mengesakan Tuhan), tetapi ia
disebut kafir nikmat.
2.2 Iman dan
Kufur Menurut Murji’ah
Aliran Murji’ah berpendapat bahwa
orang yang melakukan dosa besar tetap mukmin. Adapun soal dosa besar yang
mereka lakukan ditunda penyelesaianya di hari kiamat. Mereka berpendapat bahwa
iman hanya pengakuan dalam hati sehingga orang tidak menjadi kafir karena
melakukan dosa besar.
Berdasarkan
pandangan mereka tentang iman, Abu Hasan Al-Asy’ari mengklasifikasikan aliran
teologi murji’ah menjadi 12 sebsekte yaitu: al-Jahmiyyah, Ash_Shalihiyyah,
Al-Yunusiah, Asy-Syimiriya, As-Saubaniyah, An-Najjariyah, Al-Kaelaniyah Ibn
Syabib dan pengikutnya, Abu Hanifah dan pengikutnya At-Tumaniyah, Al-Masiriyah
dan Al-Karimah. Sementara itu, Harun Nasution dan Abu Zahdah membedakan
Murji’ah menjadi 2 kelompok utama, yaitu Murji’ah moderat (murji’ah sunnah) dan
Murji’ah ekstrim (murjia’ah bid’ah).
Untuk memilah mana sebsekte yang
yang ekstrim atau moderat, Harun Nasution menyebutkan bahwa subskte Murji’ah
yang ekstrim adalah mereka yang berpandangan bahwa keimanan terletak dalam
kalbu. Adapun ucapan dan perbuatan tidak selamanya menggambarkan apa yang ada
didalam kalbu. Oleh karena itu, segala ucapan dan perbuatan seseorang
menyimpang dari kaidah agama tidak bearti menggeser atau merusak keimanannya,
bahkan keimanannya masih sempurna dalam pandangan Tuhan.[4]
Di antara kalangan Murji’ah yang
berpendapat senada adalah subsekte Al-Jahmiyah, As-Salihiyah, dan Al-Yunusiah.
Mereka berpendapat bahwa iman adalah tashdiq secara kalbu saja, atau ma’rifah
(mengetahui) Allah dengan kalbu, baik dalam ucapan maupun tindakan.[5]
Sementara yang dimaksud Murji’ah
moderat ialah mereka yang berpendapat bahwa pelaku dosa besartidaklah kafir.
Meskipun disiksa di neraka, ia tidak kekal didalamnya, bergantung pada dosa
yang dilakukannya. Kendatipun demikian, masih terbuka kemungkinan bahwa Tuhan
akan mengampuni dosanya sehingga bebas dari siksaan neraka. Ciri khas mereka
lainya adalah dimasukannya iqrar sebagai sebagian penting dari iman, di samping
tashdiq (ma’rifah).[6]
Diantara subsekte Murji’ah yang
dimasukkan Harun Nasution dan Ahmad Amin dalam kategori ini adalah Abu Hanifah
dan pengikutnya. Pertimbangannya, pendapat Abu Hanifah tentang pelaku dosa
besar dan konsep iman tidak jauh berbeda dengan kelompok Murji’ah moderat
lainnya. Disamping itu, iman menurut Abu Hanifah adalah iqrar dan tashdiq.
Ditambahkannya pula bahwa iman tidak bertambah dan berkurang. Agaknya hal ini
merupakan sikap umum yang ditujukkan oleh Murji’ah, baik ekstrim maupun moderat
seperti Al-Jahmiyah, As-Syimriyah, dan Al-Gailaniyah.[7]
Selanjutnya Abu Hanifah berpendapat bahwa seluruh umat Islam adalah sama
kedudukannya dalam tauhid dan keimanan. Mereka hanya berbeda dari segi
intensitas amal perbuatannya.[8]
2.3 Iman dan
Kufur menurut Mu’tazilah
Menurut
Mu’tazilah, iman adalah pelaksanaan kewajiban-kewajiban kepada Tuhan. Jadi,
orang yang membenarkan (tashdiq) tidak ada Tuhan selain Allah dan Muhammad
utusan-Nya, tetapi jika tidak melaksanakan kewajiban-kewajiban itu maka ia
tidak dikatakan mukmin. Tegasnya iman adalah amal, iman tidak bearti pasif,
menerima apa yang dikatakan orang lain, tetapi iman mesti aktif karena akal
mampu mengetahui kewajiban-kewajiban kepada Tuhan.
Kaum Mu’tazilah berpendapat bahwa
orang mukmin yang mengerjakan dosa besar dan mati sebelum bertaubat, maka ia
tidak lagi mukmin dan tidak pula kafir, tetapi dihukumi orang fasiq. Di akhirat
ia dimasukkan kedalam neraka untuk selama-lamanya, meskipun neraka orang mukmin
tidak sama dengan neraka orang kafir.
Seluruh pemikir Mu’tazilah sepakat
bahwa amal perbuatan merupakan salah satu unsur terpenting dalam konsep iman,[9]
bahkan hampir mengidentikkannya dengan iman. Ini mudah dimengerti karena konsep
mereka tentang amal-sebagai bagian penting keimanan- memiliki keterkaitan
langsung dengan masalah al-wa’d wa al-wa’id (janji dan ancaman) yang merupakan
salah satu dari “pancasila” Mu’tazilah.
Masalah fluktuasi iman, yang
merupakan persoalan teologi yang diwariskan aliran Murji’ah, disinggung pula
oleh Mu’tazilah. Aliran ini berpendapat bahwa manakala seseorang meningkatkan
amal kebaikannya, imannya semakin bertambah. Setiap kali ia berbuat maksiat,
imannya semakin berkurang.[10]
2.4 Iman dan
Kufur Menurut Asy’ariyah
Agak pelik untuk memahami makna iman
yang diberikan oleh Abu Al-Hasan Al-Asy’ari, sebab didalam karya-karyanya
seperti Maqalat, Al-Ibanah, dan Al-Luma, ia mendefinisikan
iman secara berbeda-beda. Dalam Maqalat dan Al-Ibanah disebutkan
bahwa, iman adalah qawl dan amal dan dapat bertambah dan
berkurang.[11]
Dalam Al-Luma, iman diartikannya sebagai tashdiq bi Allah. Argumentasinya,
bahwa kata mukmin seperti disebutkan dalam Al-Qur’an surat Yusuf ayat 7
memiliki hubungan makna dengan kata sadiqin dalam ayat itu juga. Dengan
demikian, menurut Asy’ari, iman adalah tashdiq bil qalb (membenarkan
dengan hati).[12]
Di antara definisi iman yang
diinginkan Al-Asy’ari dijelaskan oleh Asy-Syahrastani, salah seorang teolog
Asy’ariyah. Asy-Syahrastani menulis:
“ Al-Asy’ari
berkata....Iman (secara esensial) adalah tashdiq bi al-janan (membenarkan
dengan kalbu). Sedangkan ‘mengatakan’(qawl) dengan lisan dan melakukan
berbagaikewajiban utama (amal bil arkan) hanyalah merupakan furu’
(cabang-cabang) iman. Oleh sebab itu, siapapun yang membenarkan keesaan Tuhan
dengan kalbunya dan juga membenarkan utusan-utusan-Nya beserta apa yang mereka
bawa darinya, iman orang semacam itu merupakan iman yang shahih... dan keimanan
seorang tidak akan hilang kecualijika ia mengingkari salah satu dari hal-hal
tersebut.”[13]
Keterangan Asy-Syahrastani di atas,
disamping mengonvergensikan kedua definisi yang berbeda yang diberikan
Al-Asy’ari dalam Maqalat, Al-Ibanah, dan Al-Luma kepada satu titik pertemuan,
juga menempatkan ketiga unsur iman itu (tashdiq, qawl, dan amal) pada posisinya
masing-masing.
2.5 Iman dan
Kufur Menurut Maturidiyah
Dalam masalah iman, aliran
Maturidiyah Samarkand bependapat bahwa iman adalah tashdiq bil qalb,
bukan semata-mata iqrar bil lisan.[14]
Pengertian ini dikemukakan oleh Al-Maturidi sebagai bantahan terhadap
Al-Karamiyah, salah satu sebsekte Murji’ah. Ia beragumentasi dengan ayat
Al-Qur’an surat Al-Hujurat: 14
Ayat tersebut dipahami Al-Maturidi
sebagai suatu penegasan bahwa keimanan itu tidak cukup hanya dengan perkataan
semata, tanpa diimani pula dengan kalbu. Apa yang diucapkan oleh lidah dalam
bentuk pernyataan iman, menjadi batal bila hati tidak mengakui ucapan lidah.[15]
Al-Maturidi tidak berhenti sampai disitu. Menurutnya, tashdiq seperti yang
sudah dipahami di atas, harus diperoleh dari ma’rifah. Tashdiq hasil dari
ma’rifah ini didapatkan melalui penalaran akal, bukan sekedar berdasarkan
wahyu. Lebih lanjut, Al-Maturidi mendasari pandanagnnya pada dalil naqli surat
Al-Baqarah: 260. Pada ayat tersebut dijelaskan bahwa Nabi Ibrahim meminta
kepada Tuhan untuk memperlihatkan bukti dengan menghidupkan orang yang sudah
mati. Permintaan Ibrahim tersebut, tidaklah berarti bahwa Ibrahim belum
beriman. Akan tetapi Ibrahim mengharapkan agar iman yang telah dimilikinya
dapat meningkat menjadi iman hasil ma’rifah. Meskipun demikian, ma’rifah
menurutnya sama sekali bukan esensi iman, melainkan faktor penyebab kehadiran
iman. Adapun pengertian iman menurut Maturidiyah Bukhara, seperti yang
dijelaskan oleh Al-Bazdawi, adalah tashdiq bil qalb dan tashdiq bil lisan.
Lebih lanjut dijelaskan bahwa tashdiq bil qalb adalah menyakini dan membenarkan
dalam hati tentang keeseaan Allah dan rasul-rasul-Nya beserta risalah yang
dibawanya. Adapun yang dimaksud denga tashdiq bil lisan adalah mengakui
kebenaran seluruh pokok ajaran Islam secara verbal.[16]
Pendapat ini tampaknya tidak banyak berbeda dengan Asy’ariah, yaitu sama-sama
menempatkan tashdiq sebagai unsur esensial dari keimanan walaupun dengan
pengungkapan yang berbeda.
2.6 Analisis
dan Kesimpulan
Berdasarkan paparan di atas,
jelaslah bahwa dalam konsep iman dan kufur terdapat perbedaan pendapat di
antara aliran-aliran teologi Islam. Perbedaan itu, menurut Hasan Nasution,
sedikit banyak dipengaruhi oleh teori kekuatan akal dan fungsi wahyu. Bagi
aliran-aliran yang berpendapat bahwa akalmencapai kewajiban mengetahui Tuhan
(KMT), iman melibatkan ma’rifah di dalamnya. Dengan demikian, kita melihat,
Mu’tazilah dan Maturidiyah Samarkand tergolong dalam kelompok ini karena
menyebutkan ma’rifah dalam konsep iman dan mereka berpendapat bahwa akal dapat
mencapai KMT. Adapun Murji’ah tidak dapat dikategorikan dalam kelompok ini
sebab meskipun merekamenyebut ma’rifah yang dimaksudnya bukanlah ma’rifah bil
qalb.
Sebaliknya, aliran-aliran yang tidak
berpendapat bahwa akal dapat mencapai KMT, iman dalam konsep mereka tidak
melibatkan ma’rifah di dalamnya. Hal ini dapat kita temukan dalam aliran
Asy’ari, Maturidiyah Bukhara. Aliran Khawarij, karena corak pemikiran kalam
mereka lebih bertendensi politik ketimbang intelektual, termasuk dalam kategori
ini.
Aliran-aliran yang mengintegrasikan
amal sebagai salah satu unsur keimanan, yakni Mu’tazilah dan Khawarij,
memandang bahwa iman dapat bertambah atau berkurang. Sementara aliran-aliran
yang tidak memasukan unsur dari iman seperti Murji’ah dan Asy’ariyah,
Maturidiyah Samarkand, dan Maturidiyah Bukhara, berpendapat bahwa iman tidak dapat bertambah atau berkurang.
Kalaupun iman dapat dikatakan bertambah atau berkurang, hal itu terjadi pada
segi sifatnya.
Konsekuensi penting lainnya dari
pernyataan bahwa amal merupakan unsur penting dari iman adalah pandangan tegas
terhadap kewajiban menegakkan amar ma’ruf dan nahy mungkar dengan segala
kemampuan yang dimiliki. Berdasarkan hadits Rasulullah SAW tentang amar ma’ruf
nahy mungkar, jelaslah bahwa aliran teologi-teologi Islam yang memasukkan empat
unsur pokok kedalam konsep iman memiliki keimanan yang paling kokoh.
Sebaliknya, aliran-aliran yang hanya mengakui satu unsur pokok di dalam konsep
iman menghasilkan iman yang paling lemah.
BAB
III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Ø Iman dalam pandangan Khawarij, tidak semata-mata percaya kepada
Allah, mengerjakan segala perintah kewajiban agama juga merupakan bagian dari
keimanan. Segala perbuatan yang berbau religious, termasuk di dalamnya masalah
kekuasaan adalah bagian dari keimanan (al-‘amal juz’un minal iman). Menurut
Khawarij, orang yang tidak mengerjakan shalat, puasa, zakat dan lain-lainnya
maka orang itu kafir.
Ø Aliran Murji’ah berpendapat bahwa orang yang melakukan dosa besar
tetap mukmin. Adapun soal dosa besar yang mereka lakukan ditunda penyelesaianya
di hari kiamat. Mereka berpendapat bahwa iman hanya pengakuan dalam hati
sehingga orang tidak menjadi kafir karena melakukan dosa besar.
Ø Menurut Mu’tazilah, iman adalah pelaksanaan kewajiban-kewajiban
kepada Tuhan. Jadi, orang yang membenarkan (tashdiq) tidak ada Tuhan selain
Allah dan Muhammad utusan-Nya, tetapi jika tidak melaksanakan
kewajiban-kewajiban itu maka ia tidak dikatakan mukmin. Tegasnya iman adalah
amal, iman tidak bearti pasif, menerima apa yang dikatakan orang lain, tetapi
iman mesti aktif karena akal mampu mengetahui kewajiban-kewajiban kepada Tuhan.
Ø Menurut Asy’ari, iman adalah tashdiq bil qalb (membenarkan
dengan hati).
Ø Aliran Maturidiyah Samarkand bependapat bahwa iman adalah tashdiq
bil qalb, bukan semata-mata iqrar bil lisan. Sedangkan menurut Maturidiyah Bukhara, seperti yang
dijelaskan oleh Al-Bazdawi, adalah tashdiq bil qalb dan tashdiq bil lisan.
3.2 Saran
Demikianlah
yang dapat kami paparkan mengenai materi yang menjadi pokok bahasan dalam
makalah ini, tentunya masih banyak kekurangan dikarenakan terbatasnya
pengetahuan dan kurangnya referensi. Semoga makalah ini berguna bagi penulis
dan para pembaca.
[1] Hasan
Hanafi, Min Al-Aqidah ila As-Saurah, Maktabah Madbula,ttp.,t.t,. hlm.11 dalam
ilmu kalam, hlm 141
[2] Muhammad
bin Abdul Karim As Syahrastani, (dalam buku DR. Abdul Rozak, M. Ag. hlm:143)
[3]
Al-Syahrastani (dalam buku Drs. Mustopa, M. Ag. hlm: 82
[4] Nasution
(dalam buku DR. Abdul Rozak, M. Ag. hlm: 144)
[5]
Al-Asy’ari (dalam buku DR. Abdul Rozak, M. Ag. hlm:144)
[6]
Al-Asy’ari (dalam buku DR. Abdul Rozak, M. Ag. hlm: 145)
[7]
Al-Asy’ari (dalam buku DR. Abdul Rozak, M. Ag. hlm:146)
[8] Hanifah
(dalam buku DR, Abdul Rozak, M. Ag. hlm:146)
[9] Wensinck
(dalam buku DR. Abdul Rozak, M. Ag. hlm: 147)
[10] Ibn
Hazm (dalam buku DR. Abdul Rozak, M.Ag. hlm: 148)
[11]
Al-Asy’ari (dalam buku DR. Abdul Rozak, M. Ag. hlm: 148
[12] Abu
Hasan Al-Asy’ari (dalam buku DR. Abdul Rozak, M. Ag. hlm: 148)
[13] Asy
Syahrastani (dalam buku DR. Abdul Rozak, M. Ag. hlm: 149)
[14] Abu
Mansur Al-Maturidi (dalam buku DR. Abdul Rozak, M. Ag. hlm: 149)
[15] Ibad
(dalam buku DR. Abdul Rozak, M. Ag. hlm: 149)
[16] Abu
Al-Yusr Muhammad Al-Bazdawi (dalam buku DR. Abdul Rozak, M. Ag. hlm: 150)
semoga bermanfaat.. ;-)
BalasHapus