Blogger Widgets

Selasa, 03 Maret 2015

makalah perbandingan antar aliran 'iman dan kufur'

PERBANDINGAN ANTAR ALIRAN: IMAN DAN KUFUR
MAKALAH
Diajukan Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah
Ilmu Kalam
Dosen: Dra. Hj. Ani Hafni Zahra Fadilah Laila, M. Pd. I




Disusun oleh:
Hendri Permana
Herlin Rosyani
Lia Yulianti
Asep Ali Ridwan
Ali Fuad Hasan
Ilham Rahmatullah


FAKULTAS SYARI’AH
PRODI AHWAL SYAKHSIYYAH
INSTITUT AGAMA ISLAM DARUSSALAM
CIAMIS
2013

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT, semoga rahmat dan keselamatan senantiasa diberikan kepada Nabi Muhammad SAW, kepada keluarga, para sahabatnya, dan kita selaku umatnya.
Dalam rangka memenuhi tugas kuliah ilmu kalam, maka dibuatlah makalah yang berjudul “Perbandingan Antar Aliran: Iman dan Kufur”. Penulis sadari bahwa makalah masih jauh dari sempurna. Terlepas dari kekurangan yang ada, penulis berharap semoga makalah ini dapat memberikan manfaat bagi semua pihak.

Ciamis,   Desember 2013

Penulis





















DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR................................................................................ i
DAFTAR ISI.............................................................................................. ii
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang...................................................................................... 1
1.2 Rumusan................................................................................................ 1
1.3 Tujuan.................................................................................................... 1
BAB II PEMBAHASAN
2.1 Iman dan Kufur Menurut Khawarij...................................................... 2
2.2 Iman dan Kufur Menurut Murji’ah....................................................... 2
2.3 Iman dan Kufur Menurut Mu’tazilah.................................................... 3
2.4 Iman dan Kufur Menurut Asy’ariyah.................................................... 4
2.5 Iman dan Kufur Menurut Maturidiyah........................................5
2.6 Analisis dan Kesimpulan.............................................................6
BAB III PENUTUP
3.1 Kesimpulan.......................................................................................... 7
3.2 Saran.................................................................................................... 7
DAFTAR PUSTAKA

 BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
            Agenda persoalan yang pertama-tama timbul dalam teologi Islam adalah masalah iman dan kufur. Persoalan itu dimunculkan pertama kali oleh kaum Khawarij tatkala mencap kafir sejumlah tokoh sahabat nabi Muhammad, yang dipandang telah berbuat dosa besar, antara lain Ali bin Abi Thalib, Muawiyyah bin Abi Sofyan, Abu Musa Al Asy’ari, Amr bin al-Ash, Thalhah bin Ubaidillah, Zubair bin Awwam, dan Aisyah istri Rasulullah. Masalah ini lalu dikembangkan oleh Khawarij dengan tesis utamanya bahwa setiap pelaku dosa besar adalah kafir.[1]
Pernyataan teologis itu selanjutnya bergulir menjadi bahan perbincangan dalam setiap diskursus aliran-aliran teologi Islam yang tumbuh kemudian termasuk aliran Murji’ah, Mu’tazilah, Asy’ariyah, dan Maturidiyah.
Menurut hasan Hanafi, ada empat istilah kunci yang biasanya dipergunakan oleh para teolog muslim dalam membicarakan konsep iman, yaitu:
a.       Marifah bil aql (mengetahui dengan akal)
b.      Amal, perbuatan baik atau patuh
c.       Iqrar, pengakuan secara lisan
d.      Tashdiq, membenarkan dengan hati.
1.2 Rumusan Masalah
1.      Iman dan Kufur menurut Khawarij
2.      Iman dan Kufur Menurut Murji’ah
3.      Iman dan Kufur Menurut Mu’tazilah
4.      Iman dan kufur Menurut Asy’ariyah
5.      Iman dan Kufur Menurut Maturidiyah
6.      Analisis dan Kesimpulan
1.3 Tujuan
            Tujuan pembuatan makalah ini untuk mengetahui konsep iman dan kufur menurut aliran Khawarij, Murji’ah, Mu’tazilah, Asy’ariyah, Maturidiyah, dan mengetahui analisis dan kesimpulan dari semua aliran teologi.


BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Iman dan Kufur Menurut Aliran Khawarij
            Iman dalam pandangan Khawarij, tidak semata-mata percaya kepada Allah, mengerjakan segala perintah kewajiban agama juga merupakan bagian dari keimanan. Segala perbuatan yang berbau religious, termasuk di dalamnya masalah kekuasaan adalah bagian dari keimanan (al-‘amal juz’un minal iman). Menurut Khawarij, orang yang tidak mengerjakan shalat, puasa, zakat dan lain-lainnya maka orang itu kafir.[2]
            Tegasnya orang mu’min yang berbuat dosa, baik besar maupun kecil, maka orang itu kafir, wajib diperangi dan dibunuh, boleh dirampas hartanya. Pengikut Khawarij berpegang pada semboyan laa hukma illa lillaah asas bagi mereka dalam mengukur apakah seseorang masih mu’min atau sudah kafir,[3] karena tidak sesuai dengan hukum yang ditetapkan Allah.
Aliran Khawarij terbagi menjadi 3 subsekte, pertama, subsekte Nadjat yang memberikan predikat musyrik kepada umat Islam yang berkesinambungan mengerjakan dosa kecil, tetapi yang melakukan dosa besar dengan tidak berkesinambungan tidak dianggap musyrik melainkan kafir. Kedua, sebsekte ekstrim, yaitu golongan azariqoh, mereka memberikan predikat musyrik kepada siapa yang tidak mau bergabung kedalam barisan mereka, sedang orang yang melakukan dosa besar dipandang kafir millah. Ketiga, subsekte moderat, yaitu golongan ibadiyah mempunyai pandangan setiap pelaku dosa besar tetap sebagai muwwahid (yang mengesakan Tuhan), tetapi ia disebut kafir nikmat.
2.2 Iman dan Kufur Menurut Murji’ah
            Aliran Murji’ah berpendapat bahwa orang yang melakukan dosa besar tetap mukmin. Adapun soal dosa besar yang mereka lakukan ditunda penyelesaianya di hari kiamat. Mereka berpendapat bahwa iman hanya pengakuan dalam hati sehingga orang tidak menjadi kafir karena melakukan dosa besar.
Berdasarkan pandangan mereka tentang iman, Abu Hasan Al-Asy’ari mengklasifikasikan aliran teologi murji’ah menjadi 12 sebsekte yaitu: al-Jahmiyyah, Ash_Shalihiyyah, Al-Yunusiah, Asy-Syimiriya, As-Saubaniyah, An-Najjariyah, Al-Kaelaniyah Ibn Syabib dan pengikutnya, Abu Hanifah dan pengikutnya At-Tumaniyah, Al-Masiriyah dan Al-Karimah. Sementara itu, Harun Nasution dan Abu Zahdah membedakan Murji’ah menjadi 2 kelompok utama, yaitu Murji’ah moderat (murji’ah sunnah) dan Murji’ah ekstrim (murjia’ah bid’ah).
            Untuk memilah mana sebsekte yang yang ekstrim atau moderat, Harun Nasution menyebutkan bahwa subskte Murji’ah yang ekstrim adalah mereka yang berpandangan bahwa keimanan terletak dalam kalbu. Adapun ucapan dan perbuatan tidak selamanya menggambarkan apa yang ada didalam kalbu. Oleh karena itu, segala ucapan dan perbuatan seseorang menyimpang dari kaidah agama tidak bearti menggeser atau merusak keimanannya, bahkan keimanannya masih sempurna dalam pandangan Tuhan.[4]
            Di antara kalangan Murji’ah yang berpendapat senada adalah subsekte Al-Jahmiyah, As-Salihiyah, dan Al-Yunusiah. Mereka berpendapat bahwa iman adalah tashdiq secara kalbu saja, atau ma’rifah (mengetahui) Allah dengan kalbu, baik dalam ucapan maupun tindakan.[5]
            Sementara yang dimaksud Murji’ah moderat ialah mereka yang berpendapat bahwa pelaku dosa besartidaklah kafir. Meskipun disiksa di neraka, ia tidak kekal didalamnya, bergantung pada dosa yang dilakukannya. Kendatipun demikian, masih terbuka kemungkinan bahwa Tuhan akan mengampuni dosanya sehingga bebas dari siksaan neraka. Ciri khas mereka lainya adalah dimasukannya iqrar sebagai sebagian penting dari iman, di samping tashdiq (ma’rifah).[6]
            Diantara subsekte Murji’ah yang dimasukkan Harun Nasution dan Ahmad Amin dalam kategori ini adalah Abu Hanifah dan pengikutnya. Pertimbangannya, pendapat Abu Hanifah tentang pelaku dosa besar dan konsep iman tidak jauh berbeda dengan kelompok Murji’ah moderat lainnya. Disamping itu, iman menurut Abu Hanifah adalah iqrar dan tashdiq. Ditambahkannya pula bahwa iman tidak bertambah dan berkurang. Agaknya hal ini merupakan sikap umum yang ditujukkan oleh Murji’ah, baik ekstrim maupun moderat seperti Al-Jahmiyah, As-Syimriyah, dan Al-Gailaniyah.[7] Selanjutnya Abu Hanifah berpendapat bahwa seluruh umat Islam adalah sama kedudukannya dalam tauhid dan keimanan. Mereka hanya berbeda dari segi intensitas amal perbuatannya.[8]
2.3 Iman dan Kufur menurut Mu’tazilah
            Menurut Mu’tazilah, iman adalah pelaksanaan kewajiban-kewajiban kepada Tuhan. Jadi, orang yang membenarkan (tashdiq) tidak ada Tuhan selain Allah dan Muhammad utusan-Nya, tetapi jika tidak melaksanakan kewajiban-kewajiban itu maka ia tidak dikatakan mukmin. Tegasnya iman adalah amal, iman tidak bearti pasif, menerima apa yang dikatakan orang lain, tetapi iman mesti aktif karena akal mampu mengetahui kewajiban-kewajiban kepada Tuhan.
            Kaum Mu’tazilah berpendapat bahwa orang mukmin yang mengerjakan dosa besar dan mati sebelum bertaubat, maka ia tidak lagi mukmin dan tidak pula kafir, tetapi dihukumi orang fasiq. Di akhirat ia dimasukkan kedalam neraka untuk selama-lamanya, meskipun neraka orang mukmin tidak sama dengan neraka orang kafir.
            Seluruh pemikir Mu’tazilah sepakat bahwa amal perbuatan merupakan salah satu unsur terpenting dalam konsep iman,[9] bahkan hampir mengidentikkannya dengan iman. Ini mudah dimengerti karena konsep mereka tentang amal-sebagai bagian penting keimanan- memiliki keterkaitan langsung dengan masalah al-wa’d wa al-wa’id (janji dan ancaman) yang merupakan salah satu dari “pancasila” Mu’tazilah.
            Masalah fluktuasi iman, yang merupakan persoalan teologi yang diwariskan aliran Murji’ah, disinggung pula oleh Mu’tazilah. Aliran ini berpendapat bahwa manakala seseorang meningkatkan amal kebaikannya, imannya semakin bertambah. Setiap kali ia berbuat maksiat, imannya semakin berkurang.[10]
2.4 Iman dan Kufur Menurut Asy’ariyah
            Agak pelik untuk memahami makna iman yang diberikan oleh Abu Al-Hasan Al-Asy’ari, sebab didalam karya-karyanya seperti Maqalat, Al-Ibanah, dan Al-Luma, ia mendefinisikan iman secara berbeda-beda. Dalam Maqalat dan Al-Ibanah disebutkan bahwa, iman adalah qawl dan amal dan dapat bertambah dan berkurang.[11] Dalam Al-Luma, iman diartikannya sebagai tashdiq bi Allah. Argumentasinya, bahwa kata mukmin seperti disebutkan dalam Al-Qur’an surat Yusuf ayat 7 memiliki hubungan makna dengan kata sadiqin dalam ayat itu juga. Dengan demikian, menurut Asy’ari, iman adalah tashdiq bil qalb (membenarkan dengan hati).[12]
            Di antara definisi iman yang diinginkan Al-Asy’ari dijelaskan oleh Asy-Syahrastani, salah seorang teolog Asy’ariyah. Asy-Syahrastani menulis:
“ Al-Asy’ari berkata....Iman (secara esensial) adalah tashdiq bi al-janan (membenarkan dengan kalbu). Sedangkan ‘mengatakan’(qawl) dengan lisan dan melakukan berbagaikewajiban utama (amal bil arkan) hanyalah merupakan furu’ (cabang-cabang) iman. Oleh sebab itu, siapapun yang membenarkan keesaan Tuhan dengan kalbunya dan juga membenarkan utusan-utusan-Nya beserta apa yang mereka bawa darinya, iman orang semacam itu merupakan iman yang shahih... dan keimanan seorang tidak akan hilang kecualijika ia mengingkari salah satu dari hal-hal tersebut.”[13]
            Keterangan Asy-Syahrastani di atas, disamping mengonvergensikan kedua definisi yang berbeda yang diberikan Al-Asy’ari dalam Maqalat, Al-Ibanah, dan Al-Luma kepada satu titik pertemuan, juga menempatkan ketiga unsur iman itu (tashdiq, qawl, dan amal) pada posisinya masing-masing.
2.5 Iman dan Kufur Menurut Maturidiyah
            Dalam masalah iman, aliran Maturidiyah Samarkand bependapat bahwa iman adalah tashdiq bil qalb, bukan semata-mata iqrar bil lisan.[14] Pengertian ini dikemukakan oleh Al-Maturidi sebagai bantahan terhadap Al-Karamiyah, salah satu sebsekte Murji’ah. Ia beragumentasi dengan ayat Al-Qur’an surat Al-Hujurat: 14
            Ayat tersebut dipahami Al-Maturidi sebagai suatu penegasan bahwa keimanan itu tidak cukup hanya dengan perkataan semata, tanpa diimani pula dengan kalbu. Apa yang diucapkan oleh lidah dalam bentuk pernyataan iman, menjadi batal bila hati tidak mengakui ucapan lidah.[15] Al-Maturidi tidak berhenti sampai disitu. Menurutnya, tashdiq seperti yang sudah dipahami di atas, harus diperoleh dari ma’rifah. Tashdiq hasil dari ma’rifah ini didapatkan melalui penalaran akal, bukan sekedar berdasarkan wahyu. Lebih lanjut, Al-Maturidi mendasari pandanagnnya pada dalil naqli surat Al-Baqarah: 260. Pada ayat tersebut dijelaskan bahwa Nabi Ibrahim meminta kepada Tuhan untuk memperlihatkan bukti dengan menghidupkan orang yang sudah mati. Permintaan Ibrahim tersebut, tidaklah berarti bahwa Ibrahim belum beriman. Akan tetapi Ibrahim mengharapkan agar iman yang telah dimilikinya dapat meningkat menjadi iman hasil ma’rifah. Meskipun demikian, ma’rifah menurutnya sama sekali bukan esensi iman, melainkan faktor penyebab kehadiran iman. Adapun pengertian iman menurut Maturidiyah Bukhara, seperti yang dijelaskan oleh Al-Bazdawi, adalah tashdiq bil qalb dan tashdiq bil lisan. Lebih lanjut dijelaskan bahwa tashdiq bil qalb adalah menyakini dan membenarkan dalam hati tentang keeseaan Allah dan rasul-rasul-Nya beserta risalah yang dibawanya. Adapun yang dimaksud denga tashdiq bil lisan adalah mengakui kebenaran seluruh pokok ajaran Islam secara verbal.[16] Pendapat ini tampaknya tidak banyak berbeda dengan Asy’ariah, yaitu sama-sama menempatkan tashdiq sebagai unsur esensial dari keimanan walaupun dengan pengungkapan yang berbeda.
2.6 Analisis dan Kesimpulan
            Berdasarkan paparan di atas, jelaslah bahwa dalam konsep iman dan kufur terdapat perbedaan pendapat di antara aliran-aliran teologi Islam. Perbedaan itu, menurut Hasan Nasution, sedikit banyak dipengaruhi oleh teori kekuatan akal dan fungsi wahyu. Bagi aliran-aliran yang berpendapat bahwa akalmencapai kewajiban mengetahui Tuhan (KMT), iman melibatkan ma’rifah di dalamnya. Dengan demikian, kita melihat, Mu’tazilah dan Maturidiyah Samarkand tergolong dalam kelompok ini karena menyebutkan ma’rifah dalam konsep iman dan mereka berpendapat bahwa akal dapat mencapai KMT. Adapun Murji’ah tidak dapat dikategorikan dalam kelompok ini sebab meskipun merekamenyebut ma’rifah yang dimaksudnya bukanlah ma’rifah bil qalb.
            Sebaliknya, aliran-aliran yang tidak berpendapat bahwa akal dapat mencapai KMT, iman dalam konsep mereka tidak melibatkan ma’rifah di dalamnya. Hal ini dapat kita temukan dalam aliran Asy’ari, Maturidiyah Bukhara. Aliran Khawarij, karena corak pemikiran kalam mereka lebih bertendensi politik ketimbang intelektual, termasuk dalam kategori ini.
            Aliran-aliran yang mengintegrasikan amal sebagai salah satu unsur keimanan, yakni Mu’tazilah dan Khawarij, memandang bahwa iman dapat bertambah atau berkurang. Sementara aliran-aliran yang tidak memasukan unsur dari iman seperti Murji’ah dan Asy’ariyah, Maturidiyah Samarkand, dan Maturidiyah Bukhara, berpendapat bahwa iman  tidak dapat bertambah atau berkurang. Kalaupun iman dapat dikatakan bertambah atau berkurang, hal itu terjadi pada segi sifatnya.
            Konsekuensi penting lainnya dari pernyataan bahwa amal merupakan unsur penting dari iman adalah pandangan tegas terhadap kewajiban menegakkan amar ma’ruf dan nahy mungkar dengan segala kemampuan yang dimiliki. Berdasarkan hadits Rasulullah SAW tentang amar ma’ruf nahy mungkar, jelaslah bahwa aliran teologi-teologi Islam yang memasukkan empat unsur pokok kedalam konsep iman memiliki keimanan yang paling kokoh. Sebaliknya, aliran-aliran yang hanya mengakui satu unsur pokok di dalam konsep iman menghasilkan iman yang paling lemah.






BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Ø  Iman dalam pandangan Khawarij, tidak semata-mata percaya kepada Allah, mengerjakan segala perintah kewajiban agama juga merupakan bagian dari keimanan. Segala perbuatan yang berbau religious, termasuk di dalamnya masalah kekuasaan adalah bagian dari keimanan (al-‘amal juz’un minal iman). Menurut Khawarij, orang yang tidak mengerjakan shalat, puasa, zakat dan lain-lainnya maka orang itu kafir.
Ø  Aliran Murji’ah berpendapat bahwa orang yang melakukan dosa besar tetap mukmin. Adapun soal dosa besar yang mereka lakukan ditunda penyelesaianya di hari kiamat. Mereka berpendapat bahwa iman hanya pengakuan dalam hati sehingga orang tidak menjadi kafir karena melakukan dosa besar.
Ø  Menurut Mu’tazilah, iman adalah pelaksanaan kewajiban-kewajiban kepada Tuhan. Jadi, orang yang membenarkan (tashdiq) tidak ada Tuhan selain Allah dan Muhammad utusan-Nya, tetapi jika tidak melaksanakan kewajiban-kewajiban itu maka ia tidak dikatakan mukmin. Tegasnya iman adalah amal, iman tidak bearti pasif, menerima apa yang dikatakan orang lain, tetapi iman mesti aktif karena akal mampu mengetahui kewajiban-kewajiban kepada Tuhan.
Ø  Menurut Asy’ari, iman adalah tashdiq bil qalb (membenarkan dengan hati).
Ø  Aliran Maturidiyah Samarkand bependapat bahwa iman adalah tashdiq bil qalb, bukan semata-mata iqrar bil lisan. Sedangkan  menurut Maturidiyah Bukhara, seperti yang dijelaskan oleh Al-Bazdawi, adalah tashdiq bil qalb dan tashdiq bil lisan.
3.2 Saran
Demikianlah yang dapat kami paparkan mengenai materi yang menjadi pokok bahasan dalam makalah ini, tentunya masih banyak kekurangan dikarenakan terbatasnya pengetahuan dan kurangnya referensi. Semoga makalah ini berguna bagi penulis dan para pembaca.





[1] Hasan Hanafi, Min Al-Aqidah ila As-Saurah, Maktabah Madbula,ttp.,t.t,. hlm.11 dalam ilmu kalam, hlm 141
[2] Muhammad bin Abdul Karim As Syahrastani, (dalam buku DR. Abdul Rozak, M. Ag. hlm:143)
[3] Al-Syahrastani (dalam buku Drs. Mustopa, M. Ag. hlm: 82
[4] Nasution (dalam buku DR. Abdul Rozak, M. Ag. hlm: 144)
[5] Al-Asy’ari (dalam buku DR. Abdul Rozak, M. Ag. hlm:144)
[6] Al-Asy’ari (dalam buku DR. Abdul Rozak, M. Ag. hlm: 145)
[7] Al-Asy’ari (dalam buku DR. Abdul Rozak, M. Ag. hlm:146)
[8] Hanifah (dalam buku DR, Abdul Rozak, M. Ag. hlm:146)
[9] Wensinck (dalam buku DR. Abdul Rozak, M. Ag. hlm: 147)
[10] Ibn Hazm (dalam buku DR. Abdul Rozak, M.Ag. hlm: 148)
[11] Al-Asy’ari (dalam buku DR. Abdul Rozak, M. Ag. hlm: 148
[12] Abu Hasan Al-Asy’ari (dalam buku DR. Abdul Rozak, M. Ag. hlm: 148)
[13] Asy Syahrastani (dalam buku DR. Abdul Rozak, M. Ag. hlm: 149)
[14] Abu Mansur Al-Maturidi (dalam buku DR. Abdul Rozak, M. Ag. hlm: 149)
[15] Ibad (dalam buku DR. Abdul Rozak, M. Ag. hlm: 149)
[16] Abu Al-Yusr Muhammad Al-Bazdawi (dalam buku DR. Abdul Rozak, M. Ag. hlm: 150)



1 komentar: