RUJUK
DALAM HUKUM ISLAM
Makalah Ini Diajukan Untuk Memenuhi
Salah Satu Tugas
Mata Kuliah : Fikih Munakahat
Dosen Pengampu : Wawan Suwandi,
Drs. M.Pd.I

Disusun
Oleh :
Santi
Nurul Hikmah
Semester
III
Program
Studi Ahwal Al-Syakhsiyah
INSTITUT
AGAMA ISLAM DARUSSALAM(IAID)
CIAMIS-JAWA
BARAT
2014
KATA
PENGANTAR
Puji syukur saya panjatkan
kehadirat Allah swt. karena atas rahmat dan petunjuknya, saya dapat menyelesaikan penulisan makalah ini dengan lancar. Makalalah ini saya tulis untuk memenuhi tugas mata
kuliah Fikih
Munakahat dengan judul “Rujuk dalam Hukum Islam”.
Namun demikian, saya menyadari bahwa
dalam penulisan makalah ini masih jauh dari kesempurnaan. Dengan segala
kerendahan hati, kritik dan saran dari berbagai pihak sangat saya harapkan untuk penyempurnaan makalah berikutnya.
Akhirnya saya mengucapkan terimahkasih kepada semua pihak yang
telah membantu dalam penulisan makalah ini, terutama kepada dosen pengampu mata
kuliah Fikih Munakahat. Semoga
makalah ini dapat bermanfaat. Amin.
Ciamis, Januari 2014
Penulis
DAFTAR
ISI
KATA PENGANTAR................................................................................... i
DAFTAR....................................................................................................... ii
BAB I PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang............................................................................ 1
1.2. Rumusan
Masalah........................................................................ 1
1.3. Tujuan.......................................................................................... 1
BAB II PEMBAHASAN
2.1. Pengertian Rujuk......................................................................... 2
2.2. Hukum dan Dasar Hukum........................................................... 2
2.3. Syarat dan Rukun Rujuk............................................................. 3
2.4. Tata Cara
Rujuk............................................................................ 4
2.5. Tujuan dan Hikmah Hukum
Rujuk............................................... 4
BAB III PENUTUP
3.1. Kesimpulan.................................................................................. 6
3.2. Saran............................................................................................ 7
DAFTAR PUSTAKA.................................................................................... 8
BAB I
PENDAHULUAN
1.1.Latar Belakang
Zaman sekarang
perceraian semakin meningkat dengan tajam. Penyebabnya bermacam-macam diantaranya
dengan kata talak, li’an, fasakh, khuluk dan lainnya. Setelah jatuh talak maka
perempuan akan mendapatkan masa iddah, dan dimasa iddahlah suami dapat merujuk
kembali istri jika ingin kembali hidup bersama lagi.
Dalam perkara rujuk tidak semua orang sudah dapat
memahami prosedur dalam rujuk. Hal
inilah yang membuat saya tertarik untuk membuat makalah dengan judul Rujuk
dalam Hukum Islam, selain itu untuk memenuhi salah satu tugas mata kuliah Fikih
Munakahat.
1.2. Rumusan
Masalah
Adapun rumusan
masalah yang terdapat dalam makalah ini adalah sebagai berikut:
a.
Apa pengertian
rujuk?
b.
Apa hukum dan
dasar hukum rujuk?
c.
Apa syarat dan
rukun rujuk?
d.
Bagaimana tata cara rujuk?
e.
Apa tujuan dan hikmah hukum rujuk?
1.3. Tujuan
Berdasarkan rumusan masalah diatas, maka tujuan dari
penulisan makalah ini adalah sebagai berikut:
a. Untuk mengetahui pengertian rujuk.
b. Untuk mengetahui hukum dan dasar hukum rujuk.
c. Untuk mengetahui syarat dan rukun rujuk.
d. Untuk mengetahui tata cara rujuk.
e.
Apa tujuan dan hikmah hukum rujuk?
BAB II
PEMBAHASAN
2.1. Pengertian Rujuk
Rujuk atau dalam istilah hukum disebut raj’ah secara arti kata
berarti kembali. Orang yang rujuk kepada istrinya berarti kembali kepada
istrinya. Sedangkan definisinya dalam pengertian fiqih menurut al-Mahally
ialah:
الرّدالى النكا ح
من طلا ق غير با ئن ف العد ة
“Kembali dalam hubungan perkawinan
dari cerai yang bukan ba’in, selama dalam masa iddah”.
Rujuk yang
berasal dari bahasa Arab telah menjadi bahasa Indonesia terpakai yang artinya
menurut KBBI adalah kembalinya suami kepada istrinya yang ditalak, yaitu talak
satu, talak dua, dalam masa iddah. Definisi yang dikemukakan KKBI tersebut
secara esensial bersamaan maksudnya dengan yang dikemukakan dalam kitab fiqh,
meskipun redaksional sedikit berbeda. Dari definisi-definisi tersebut terlihat
beberapa kata kunci yang menunjukkan hakikat dari perbuatan hukum yang bernama
rujuk itu. (Syarifuddin, 2006: 337).
Pertama: kata atau ungkapan
“kembalinya suami kepada istri”. Hal ini mengandung arti bahwa diantara
keduanya sebelumnya telah terikat dalam tali
perkawinan, namun ikatan tersebut telah berakhir dengan perceraian.
Kedua: ungkapan atau
kata “yang telah ditalak dalam bentuk rajiyy”, mengandung arti bahwa
istri yang bercerai dengan suaminya itu dalam bentuk yang belum putus (ba’in).
Hal ini menunjukkan bahwa kembali kepada istri yang belum dicerai atau telah
dicerai tetapi tidak dalam bentuk raj’iyy,
tidak disebut rujuk.
Ketiga: kata atau ungkapan
“masih dalam masa iddah”, mengandung arti bahwa rujuk itu hanya terjadi selama
istri masih berada dalam iddah. (Syarifuddin, 2006: 338).
2.2. Hukum dan
Dasar Hukum Rujuk
Dalam satu sisi rujuk itu adalah membangun kembali kehidupan perkawinan
yang terhenti atau memasuki kembali kehidupan perkawinan. Kalau membangun
kehidupan perkawinan pertama kali disebut perkawinan, maka melanjutkannya
disebut rujuk. Hukum rujuk dengan demikian sama dengan hukum perkawinan, dalam
mendudukkan hukum asal dari rujuk itu ulama berbeda pendapat. Jumhur ulama
mengatakan bahwa rujuk itu adalah sunat. Dalil yang digunakan jumhur ulama itu
ialah firman Allah dalam surat Al-Baqarah ayat 229:
الطّلا ق مرّ تا نِ فاءمسا كٌ بمعر و فٍ اوتسريح باءحسا نٍ
“Thalaq itu ada dua kali sesudah itu tahanlah
dengan baik, atau lepaskanlah dengan baik”.
Demikian pula firman Allah dalam
surat Al-Baqarah ayat 228:
وبعولتهنّ أحقّ بردّ هنّ فى ذلك إن اراد واإصلا حاً
“Suaminya lebih berhak untuk kembali kepadanya
dalam hal itu jika mereka hendak berdamai”. (Syarifuddin, 2006: 339).
Dalil dalam hadis Nabi diantaranya
adalah apa yang disampaikan oleh Ibnu Umar Muttafaq alaih yang bunyinya:
طلقت امرأتى وهى حا ئض فسآل عمر النبيّ الصلى الله على وسلّم فقال مر
فليراجعها
“Ibnu Umar berkata: “saya
menceraikan istri saya sedang dalam haid, maka umar menanya Nabi SAW. tentang
itu”. Nabi bersabda: “suruhlah dia merujuk istrinya”.
Kata
Imsak dalam ayat pertama dan kata rad dalam ayat kedua mengandung maksud yang
sama yaitu kembalinya suami kepada istri yang telah diceraikannya. Tidak ada
perintah yang tegas dalam kedua ayat tersebut untuk rujuk. Adanya perintah Nabi
supaya Ibnu Umar rujuk adalah karena sebelumnya dia menalaknya dalam keadaan
haid. Oleh karena itu hukum rujuk itu adalah sunat. (Syarifuddin, 2006: 340).
2.3. Syarat dan
Rukun Rujuk
Rujuk dapat dilakukan suami apabila memenuhi syarat-syarat berikut:
·
Bekas istri, sudah
pernah dicampuri. Dengan demikian, perceraian yang terjadi antara suami dan
istri yang belum pernah dicampuri tidak memberikan hak rujuk kepada bekas
suami.
·
Talak yang
dijatuhkan suami tanpa pembayaran iwad dari pihak istri. Dengan demikian,
apabila suami menjatuhkan talak atas permintaan istri dengan pembayaran iwad,
baik dengan jalan khuluk atau terpenuhinya ketentuan-ketentuan ta’lik, tidak
berhak merujuk bekas istri.
·
Persetujuan istri
yang akan dirujuk. Syarat ini sejalan dengan prinsip sukarela dalam perkawinan.
(Basyir, 2007: 100)
Sedangkan rukun-rukunnya ialah:
·
Ada suami yang
merujuk atau wakilnya;
·
Ada istri yang
dirujuk dan sudah dicampurinya;
·
Kedua belah pihak
sama-sama suka.
·
Dengan pernyataan
ijab dan kabul. (Abidin & Aminuddin, 1999: 154).
2.4. Tata cara Rujuk
Tata cara Rujuk dalam kompilasi hukum Islam pasal 167:
1.
Suami yang hendak
merujuk istrinya datang bersama-sama istrinya ke Pegawai Pencatat Nikah atau
Pembantu Pegawai Pencatat Nikah yang mewilayahi tempat tinggal suami istri
dengan membawa penetapan tentang terjadinya talak dan surat keterangan lain
yang diperlukan.
2.
Rujuk dilakukan
dengan persetujuan istri dihadapan Pegawai Pencatat Nikah atau Pembantu Pegawai
Pencatat Nikah.
3.
Pegawai Pencatat
Nikah atau Pembantu Pegawai Pencatat Nikah memeriksa dan menyelidiki apakah
suami yang akan merujuk itu memenuhi syarat-syarat merujuk menurut hukum
munakahat, apakah rujuk yang akan dilakukan itu masih dalam iddah talak raj’i,
apakah perempuan yang dirujuk itu adalah istrinya.
4.
Setelah itu suami
mengucapkan rujuknya dan masing-masing yang bersangkutan beserta saksi-saksi
menandatangani Buku Pendaftaran Rujuk.
5.
Setelah rujuk itu
dilaksanakan, pegawai pencatat nikah menasehati suami istri tentang hukum-hukum
dan kewajiban mereka yang berhubungan dengan rujuk. (Kompilasi Hukum Islam,
2007:51)
2.5. Tujuan dan Hikmah Hukum Syara’
Diaturnya rujuk dalam hukum syara’ karena padanya terdapat beberapa
hikmah yang akan mendatangkan kemaslahatan kepada manusia atau menghilangkan
kesulitan dari manusia. Banyak orang yang menceraikan istrinya tidak dengan
pertimbangan yang matang sehingga segera setelah putus perkawinan timbul
penyesalan disatu atau kedua pihak. Dalam keadaan menyesal itu sering timbul
keinginan untuk kembali dalam hidup perkawinan, namun akan memulai perkawinan
baru menghadapi beberapa kendala dan kesulitan. Adanya lembaga rujuk ini
menghilangkan kendala dan kesulitan tersebut.
Seseorang yang berada dalam iddah talak raj’iy
di satu sisi diharuskan tinggal di rumah yang disediakan oleh suaminya,
sedangkan suamipun dalam keadaan tertentu diam di rumah itu juga; disisi lain
dia tidak boleh bergaul dengan suaminya itu. Maka terjadilah kecanggungan
psikologis selama dalam masa iddah itu. Untuk keluar dari kecanggungan itu
Allah memberi pilihan yang mudah diikuti yaitu kembali kepada kehidupan
perkawinan sebagai semula. Kalau tidak mungkin ya, meninggalkan istri sampai
habis masa iddahnya sehingga perkawinan betul-betul menjadi putus atau ba’in.
(Syarifuddin, 2006: 340).
BAB III
KESIMPULAN
3.1. Kesimpulan
·
Rujuk yang berasal dari bahasa Arab telah menjadi bahasa
Indonesia terpakai yang artinya menurut KBBI adalah kembalinya suami kepada
istrinya yang ditalak, yaitu talak satu, talak dua, dalam masa iddah.
·
Hukum rujuk dengan
demikian sama dengan hukum perkawinan, dalam mendudukkan hukum asal dari rujuk
itu ulama berbeda pendapat. Jumhur ulama mengatakan bahwa rujuk itu adalah
sunat. Dalil yang digunakan jumhur ulama itu ialah firman Allah dalam surat
Al-Baqarah ayat 229 yang artinya:
“Thalaq itu ada dua kali sesudah
itu tahanlah dengan baik, atau lepaskanlah dengan baik”.
·
Rujuk dapat
dilakukan suami apabila memenuhi syarat-syarat berikut:
ü Bekas istri, sudah pernah dicampuri.
ü Persetujuan istri yang akan dirujuk.
ü Talak yang dijatuhkan suami tanpa pembayaran iwad dari pihak istri.
Sedangkan rukun-rukunnya ialah:
ü Ada suami yang merujuk atau wakilnya;
ü Ada istri yang dirujuk dan sudah dicampurinya;
ü Kedua belah pihak sama-sama suka.
ü Dengan pernyataan ijab dan kabul.
·
Prosedur rujuk
yaitu:
ü Suami yang hendak merujuk istrinya datang bersama-sama istrinya ke PPN
dengan membawa penetapan tentang terjadinya talak dan surat keterangan lain
yang diperlukan.
ü Rujuk dilakukan dengan persetujuan istri dihadapan PPN .
ü PPN memeriksa dan menyelidiki apakah suami yang akan merujuk itu memenuhi
syarat-syarat merujuk menurut hukum munakahat.
ü Setelah itu suami mengucapkan rujuknya dan masing-masing yang bersangkutan
beserta saksi-saksi menandatangani Buku Pendaftaran Rujuk.
ü Setelah rujuk itu dilaksanakan, pegawai pencatat nikah menasehati suami
istri tentang hukum-hukum dan kewajiban mereka yang berhubungan dengan rujuk.
·
Banyak orang yang
menceraikan istrinya tidak dengan pertimbangan yang matang sehingga segera
setelah putus perkawinan timbul penyesalan disatu atau kedua pihak. Dalam
keadaan menyesal itu sering timbul keinginan untuk kembali dalam hidup
perkawinan, namun akan memulai perkawinan baru menghadapi beberapa kendala dan
kesulitan. Adanya lembaga rujuk ini menghilangkan kendala dan kesulitan
tersebut.
3.2. Saran
Setelah kita
mempelajari dan mengetahui tentang rujuk diharapkan kita mampu memahaminya
dengan baik. Amin..
Demikianlah yang
dapat saya paparkan mengenai materi yang menjadi pokok bahasan dalam makalah
ini, tentunya masih banyak kekurangan dikarenakan terbatasnya pengetahuan dan
kurangnya referensi. Semoga
makalah ini berguna bagi penulis dan para pembaca. Amin..
DAFTAR PUSTAKA
Abidin, Slamet dan Aminuddin. 1999. Fiqih
Munakahat. Bandung: CV Pustaka Setia.
Basyir, Ahmad Azhar. 2007. Hukum Perkawinan
Islam. Yogyakarta: UII Press Yogyakarta.
Kompilasi Hukum Islam pasal 167.
Syarifudin, Amir. 2006. Hukum Perkawinan
Islam Di Indonesia. Jakarta: Kencana.
semoga bermanfaat... ;-)
BalasHapus