A.
Melafadzkan Niat Dikaitkan dengan Ibadah
Islam mengajarkan kepada umatnya bahwa niat dalam setiap
amal ibadah itu penting, mengingat semua amal yang dilakukan seseorang bakal
sia-sia jika tidak disertai niat. Bahwa kedudukan niat itu dalam hati sanubari,
adalah sesuatu yang tidak perlu diperdebatkan lagi. Hanya saja, keyakinan dalam
melafadzkannya secara lisan seringkali diperdebatkan (syafi’iy, 2007: 12).
Kalangan nahdliyin meyakini bahwa melafadzkan niat adalah
sunnah, karena merujuk hadis Imam Bukhari yang menuturkan peristiwa ketika
Rasulullah saw hendak shalat di lembah Aqiq. Adapun bunyi hadis tampak seperti
ini :
و
في ا لبخاري من حد يث عمر سمعت رسو ل الله صلي الله عليه وسلّم يقو ل و هوفي وادي
العقيق أ تا ني الّليلة ا ت من ر بي فقا ل : صلّ في هذا تصريح
با للفظ والحكم كما يثبت
با النص يثبت با القياس.
“Dalam salah satu hadis yang
diriwayatkan Imam Bukhor dari Umar ia ia berkata: saya mendengar Rasulullah,
ketika itu berada di sekitar lembah Aqiq bersabda: pada suatu malam telah
datang utusan Tuhanku seraya berkata: shalatlah di lembah yang penuh berkah
ini, dan ucapkanlah niat umroh dalam haji secara terang dan jelas dan hukumnya
sebagaimana telah ditetapkan dalam teks dan qiyash” (syafi’iy, 2007: 13).
Keyakinan bahwa pengucapan niat secara lisan menjadi
bagian integral (dalam arti hukumnya adalah sunnah) dari sebuah aktivitas juga
disandarkan dari adanya salah satu sabda Rasulullah SAW. sebagaimana yang
termaktub dalam kitab Al-Asybah wa an-Nazhar:
من
عزم علي المعصىة ولم يفعلها أولم يتلفظ بها لايأ ثم لقوله صلي الله عليه وسلّم:
"انّ الله تجاوز للًمّتي ما حدثت به نفوسهاماتتكلّم اوتعمل به.
“ siapa berniat berbuat maksiat tapi belum mengerjakannya atau belum
mengucapkannya, maka ia tidak berdosa. Sebab Rasul bersabda: Allah memaafkan
umatku selagi hatinya baru berniat, belum diucapkan, atau belum
dikerjakan.”
Hadis diatas menjadi pijakan bagi munculnya beberapa
pendapat para fuqaha terutama dalam
soal kapan niat itu diucapkan (syafi’iy, 2007: 13).
Selain itu, orang yang berpendapat bahwa niat dapat dikaitkan
dengan ibadah karena merujuk pada kitab safinatunnaja bahwasannya niat itu
ialah:
النية
قصد الشئ مقترنا بفعله ومحّلها القلب وااتلفظ بها سنّة (سفينة النجاء)
“
Niat itu adalah bermaksud melakukan sesuatu yang disertai dengan melakukannya
dan tempat niat itu di dalam hati, sedang mengucapkannya adalah sunnat”. Selain
itu dalam ayat Al-Qur’an surat Al-Maidah ayat 2.
........وتعاونواعلي البرّوالتّقوى....... (المائدة)
“.....dan tolong menolonglah kamu atas
kebaikan dan taqwa...”(Al-Maidah ayat 2).
Ayat tersebut memerintahkan untuk tolong-menolong dalam
kebaikan dan taqwa, sedangkan melafadzkan niat adalah usaha lisan membantu hati
dalam mengucapkan niat shalat, ini berarti talafudh
bi al-Niat itu termasuk yang diperintahkan dalam ayat tersebut.
B. Melafadzkan Niat Tidak Boleh Dikaitkan dengan Ibadah
Sebagian orang berpendapat bahwa melafadzkan niat tidak
bisa dikaitkann dengan ibadah, karena jika alasannya lisan dapat membantu hati,
maka apa yang membantu lisan? Yang benar adalah hati yang membantu /
menggerakan lisan, bukan lisan membantu hati, mengingat sabda Nabi:
ألآ
إنّ في الجسدمضغة إذا صلحت صلح الجسد كلّه وإذا فسدت فسد سا ئرها, ألآ وهى القلب.
“Ingatlah! Sesungguhnya dalam jasad ini terdapat mudghah yang apabila mudghah itu beres, akan beres seluruh
jasadnya, dan jika mudghah itu rusak
maka akan rusak seluruh jasadnya., ketahuilah itu adalah hati”.
Oleh karena itu, salah sekali orang yang berpendapat
bahwa lisan dapat membantu hati, yang benar justru hati yang dapat membantu
lisan dan hatilah yang menjadi penggerak seluruh kegiatan.
Ibnu Qayyim berkata: “Adalah Nabi SAW apabila berdiri
untuk shalat, beliau mengucapkan, ALLAHU AKBAR, dan tidak mengucapkan apa-apa
sebelumnya dan tidak melafadzkan niat sama sekali, juga tidak mengucapkan,
USHALLI LILLAHI....(Aku shalat karena Allah, shalat ini dengan menghadap qiblat,
empat raka’at sebagai imam atau sebagai ma’mum, dan juga tidak mengucapkan
Fardhan al-Waqti. Ini adalah sepuluh bid’ah yang tidak diriwayatkan oleh
siapapun dengan sanad yang shahih, tidak dengan sanad yang bersambung atau
mursal, satu katapun sama sekali, bahkan tidak diriwayatkan dari seorang
sahabat dan tidak ada yang menganggap baik seorangpun dari kalangan tabi’in
atau para imam mazhab yang empat. (Zadu al-Ma’ad, 1:51). Dengan dasar itulah,
maka sesungguhnya melafadzkan niat itu tidak pernah dicontohkan oleh Nabi dan
para sahabatnya bahkan tidak juga oleh para imam mazhab yang empat. Niat itu
memang wajib karena niat itu yang menentukan nilai suatu amal, tetapi dalam
pelaksanaannya tidak usah diucapkan dengan lisan cukup oleh hati saja.
C. Masalah Melafadzkan Niat Diqiyaskan dengan Ibadah
Sebagian orang terutama golongan kaum Nahdliyin meyakini
bahwassannya melafadzkan niat ialah sunnah karena diqiyaskan pada haji dan
umroh. Hal ini diperselisihkan oleh sebagian ulama karena tidak ada qiyas dalam
beribadah, apalagi diqiyaskan pada ibadah haji yang telah jelas bahwa shalat
telah diperintahkan Allah lebih dahulu sebelum haji dan umroh. Dalam ibadah
tidak boleh sembarang mengistimbath hukum, mengingat hadis Rosul yang berbunyi:
من
عمل عملا لىس عليه أمرنا فهو ردّ.
“Siapa yang mengamalkan apa yang tidak diperintahkan oleh
kami pasti ditolak”. Karena dasar inilah tidak diperbolehkan adanya qiyas dalam
ibadah.
D. Opini
Menurut
saya, melafadzkan niat dalam shalat hukumnya tidak jelas dan masih mengambang
karena dasar-dasarnya tidak ada yang tsiqot dan qot’i. Sudah jelas dalam
beribadah kita tidak boleh gegabah dan sembarangan, apalagi ibadah shalat yang
merupakan tiangnya agama. Oleh karena itu, lebih baik tidak perlu melafadzkan
niat dalam shalat. Jika kita menambah-nambah apa yang tidak dilakukan Rosul,
maka jelas ibadah kita tidak akan sesuai dengan apa yang diperintahkan Rosul.
Jika sudah demikian bagaimana ibadah kita hendak diterima! Mengingat syarat
ibadah ialah ikhlas dan shidqul ‘adzimah(sesuai dengan apa yang diperintahkan
Allah dan Rasul) dan juga Rosul pernah bersabda yang artinya “Shalatlah kalian
sebagaimana melihat aku shalat”. Nabi pernah bersabda yang diriwayatkan oleh
Abu Hurairoh yang artinya:
“Dari Abu Hurairoh
r.a. sesungguhnya Nabi SAW. bersabda “jika engkau hendak shalat sempurnakanlah
wudhumu, kemudian menghadap kiblat, lalu bertakbirlah” (H.R. Bukhari).
Dari
hadis tersebut dapat disimpulkan bahwa niat dengan dilisankan tidak pernah
dilakukan oleh Nabi SAW dan beliau tidak pernah memerintahkannya.
buat yang butuh silahkan di cop. moga bermanfaat..
BalasHapus