PEREMPUAN
DALAM PERSPEKTIF SEJARAH
Makalah Ini Diajukan Untuk Memenuhi
Salah Satu Tugas
Mata Kuliah : Kesetaraan Gender
Dosen Pengampu : Dr. Sumadi, M.Ag

Disusun
Oleh :
Santi
Nurul Hikmah
Yulisna
Nuraliah Aziz
Semester
IV
Program
Studi Ahwal Al-Syakhsiyah
INSTITUT
AGAMA ISLAM DARUSSALAM(IAID)
CIAMIS-JAWA
BARAT
2015
Puji syukur saya panjatkan
kehadirat Allah swt. karena atas rahmat dan petunjuknya, saya dapat menyelesaikan penulisan makalah ini dengan lancar. Makalalah ini saya tulis untuk memenuhi tugas mata
kuliah Kesetaraan
Gender dengan judul “Perempuan Dalam Perspektif
Sejarah”.
Namun demikian, saya menyadari bahwa
dalam penulisan makalah ini masih jauh dari kesempurnaan. Dengan segala
kerendahan hati, kritik dan saran dari berbagai pihak sangat saya harapkan untuk penyempurnaan makalah berikutnya.
Akhirnya saya mengucapkan terimahkasih kepada semua pihak yang
telah membantu dalam penulisan makalah ini, terutama kepada dosen pengampu mata
kuliah Kesetaraan Gender. Semoga
makalah ini dapat bermanfaat. Amin.
Ciamis, 05 Februari 2015
Penulis
DAFTAR
ISI
KATA PENGANTAR................................................................................... i
DAFTAR....................................................................................................... ii
BAB I PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang............................................................................ 1
1.2. Rumusan
Masalah........................................................................ 2
1.3. Tujuan.......................................................................................... 2
BAB II PEMBAHASAN
2.1 Perempuan dalam Tradisi Dunia................................................... 3
2.2. Perempuan dalam Agama-agama di Dunia................................. 6
BAB III PENUTUP
3.1. Kesimpulan.................................................................................. 9
3.2. Saran............................................................................................ 9
DAFTAR PUSTAKA.................................................................................... 10
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar
Belakang
Proses pemarjinalan masyarakat di dalam struktur sosial ekonomi maupun
politik lambat laun menyebabkan komunitas tersebut terjebak dalam suatu kondisi
yang dinamakan sebagai perangkap kemiskinan. Kemiskinan yang
dialami bukan hanya dalam arti tingkat kesejahteraan ekonomi yang rendah
melainkan juga kemiskinan dalam arti terkekangnya hak ataupun kemerdekaan
individu dalam mengekspresikan dinamika hidupnya. (Nugroho, 2008:40)
Fenomena pemarjinalan tadi mungkin dapat kita analogkan
dengan wacana yang berkaitan dengan perempuan. Wacana yang berkembang selama
ini menganggap bahwa kaum perempuan cenderung dilihat sebagai “korban” dari
berbagai proses sosial yang terjadi dalam masyarakat selama ini. Perlakuan
terhadap perempuan yang tidak apresiatif dalam interaksi sosialnya dengan suatu
komunitas telah menjadi tren diskusi dan perbincangan diantara para pengamat
dan pemerhati sosial. (Nugroho, 2008:40)
Fenomena bias gender dalam konteks hubungan antara
perempuan dan laki-laki akhirnya direspons dengan memunculkan suatu opini yang
mengatakan bahwaa dunia yang kita huni ini adalah dunia laki-laki, yang
dibentuk dan ditata sedemikian rupa dengan norma atau nilai laki-laki.
Perempuan seakan-akan hanya “diskenariokan” sebagai artis panggung teater yang diarahkan
oleh sutradara laki-laki, dengan skenario yang dibuat laki-laki serta
ditampilkan untuk memuaskan selera penonton yang juga laki-laki. (Nugroho,
2008:41)
Benar atau tidaknya anggapan diatas memang relatif dan
belum tentu menjadi suatu realitas dalam kehidupan kita. Akan tetapi, dalam
cuilan sejarah peradaban manusia gambaran perlakuan terhadap perempuan memang
tidaklah menggembirakan atau bahkan dapat dikatakan ‘buram’. (Nugroho, 2008:40)
Maka pada kesempatan ini, kami akan mengupas sejarah
perempuan di dunia.
1.2. Rumusan Masalah
Adapun rumusan
masalah yang terdapat dalam makalah ini adalah sebagai berikut:
a.
Bagaimana
perempuan dalam tradisi dunia?
b.
Bagaimana
perempuan dalam agama-agama di dunia?
1.3. Tujuan
Berdasarkan rumusan masalah diatas, maka tujuan dari
penulisan makalah ini adalah sebagai berikut:
a. Untuk mengetahui perempuan dalam tradisi dunia.
b. Untuk mengetahui perempuan dalam agama-agama di dunia.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1. Perempuan Dalam Tradisi Dunia
Bentuk-bentuk peradaban manusia yang menjustifikasi fenomena ketertindasan
perempuan itu tergambar dalam fragmentasi sejarah di berbagai belahan dunia, pada
peradaban yunani, misalnya, perempuan merupakan alat pemenuhan naluri seks
laki-laki. Mereka diberi kebebasan sedemikian rupa untuk memnuhi kebutuhan dan
selera tersebut dan para perempuan dipuja untuk itu. Patung-patung telanjang
yang terlihat sampai sekarang di Eropa adalah bukti dan sisa pandangan itu.
(Nugroho, 2008 : 41)
Sedangkan dalam sejarah peradaban
Romawi, kultur sosial yang ada memfetakompli bahwa perempuan sepenuhnya berada
di bawah kekuasaan ayahnya. Setelah kawin kekuasaan pindah ketangan suami,
kekuasaan itu mencakup menjual, mengusir, menganiaya dan membunuh. Realita itu
ber langsung hingga aba 5M. Segala hasil usaha perempuan akan menjadi milik
keluarganya yang laki-laki. Pada zaman kaisar konstantin terjadi sedikit
perubahan dengan diundangkannya hak pemilikan terbatas bagi perempuan dengan
catatan bahwa setiap transaksi harus disetujui oleh keluarga (suami atau ayah).
(Nugroho, 2008 : 41)
Peradaban Cina tidak lebih baik
dari yang lain. Hak hidup bagi seorang perempuan yang bersuami harus berakhir
pada kematian suaminya, istri harus dibakar hidup-hidup pada saat suaminya
dibakar. Tradisi ini baru berakhir pada abad ke 17 M. (Nugroho, 2008 : 42)
Di negri Paman Sam yang sekarang
dikenal sebagai negara yang mengagungkan demokrasi dan keegaliteran, dalam
proses peradabannya juga pernah mengalami sejarah kelam dalam konteks perilaku
sosial terhadap kaum hawanya. Ketika Elizabeth Blackwill (dokter perempuan
pertama) menyelesaikan studinya di Geneva University pada tahun 1849,
teman-teman yang bertempat tinggal dengannya memboikot dengan dalih bahwa
perempuan dianggap tidak wajar untuk memperoleh pelajaran (pengetahuan).
Bahkan, ketika sementara dokter Blackwill bermaksud mendirikan institut
kedokteran untuk perempuan di Piladelphia, Amerika Serikat, ikatan dokter
setempat mengancam untuk memboikot semua dokter yang bersedia mengajar disana. (Nugroho,
2008 : 42)
Begitupun di Indonesia, adat
istiadat diwaktu itu tiada membolehkan perempuan berpelajaran dan tidak boleh
bekerja diluar rumah, menduduki jabatan didalam masyarakat. Perempuan itu
haruslah takluk semata-mata, tiada boleh mempunyai kemauan. Perempuan itu
hendaklah bersedia-sedia untuk dikawinkan dengan pilihan orang tuanya.
Perkawinan, Cuma itulah cita-cita yang boleh diangan-angankan oleh anak gadis.
Cuma itulah pelabuhan yang boleh ditujunya. “ selama ini hanya satu jalan
terbuka bagi gadis bumi putera akan menempuh hidup ialah kawin “. (Surat kepada
Nona Zeehandelaar, 23 Agustus 1900). ( Pane, 2008 : 15)
Perempuan itu Cuma wajib mengurus
rumah tangga dan mendidik anak-anaknya. Anak gadis itu di didik supaya menjadi
budak orang laki-laki. Pengajaran dan kecerdasan dijauhkan daripadanya.
Kebebasan tiada padanya. Jika sudah berumur 12 tahun ditutup dalam rumah.
Dengan ringkas, banyak kewajibannya tetapi haknya tidak satu juga. Tetapi apa
yang dikatakan itu Cuma sah bagi perempuan dan anak gadis priyayi saja, karena
didalam kalangan rakyat mereka itu lebih bebas. Sikap terhadap anak gadis dan
perempuan seperti yang kita uraikan diatas itu, berdahan dan bercabang menjadi
adat beristri banyak, kawin paksa, dan kawin semasih anak-anak. ( Pane, 2008 :
16)
Dalam masyarakat kerajaan (kekaisaran) seperti yang
pernah terjadi di India, Persia, Cina dan masyarakat maju pada abad Yunani dan
Romawi, dimana tatanan kehidupan mereka berdasarkan aturan dan undang-undang,
kendati nasib perempuan lebih baik, akan tetapi mereka belum mendapatkan
hak-hak sepenuhnya. Diera
puncak peradaban Yunani, dimana masa itu merupakan masa keemasan dan kemajuan
bagi masyarakat Barat, keberadaan perempuan tidak dihormati dan tidak mempunyai
hak untuk belajar kecuali wanita bangsawan saja. Singkat kata, dalam pandangan
mereka perempuan tidak mempunyai hak-hak individu maupun sosial.
Dalam peradaban Persia pun terhina dan tertindas
serta tidak mendapatkan hak-hak sebagaimana halnya manusia. Dimata mereka,
perempuan hanyalah sebagai budak dan tawanan dimana dapat diperlakukan dan
diperjualbelikan sesuka hati. Jual beli wanita sudah menjadi kebiasaan
masyarakat Persia dan India waktu itu. Setiap tahunnya, kurang lebih dua belas
ribu wanita yang diperjual belikan. Disebutkan dalam sejarah bahwa Hosrou
Parwiz, raja dinasti Sasanian ke-23, mempunyai dua puluh tiga ribu istri di
istana pribadinya, belum lagi simpanan penyanyi dan penari khusus. (http://www.alhassanain.com/indonesian/articles/articles/family_and_community_library/woman/wanita_satu/001.html).
Begitupula pada beberapa masa
sebelum kedatangan Islam tatkala tatanan masyarakat Persian berdasarkan
struktur sosial yang membagi masyarakat
pada beberapa golongan yaitu golongan bangsawan dan masyarakat biasa. Meski
begitu perempuan dari golongan bangsawan belum mendapatkan hak-hak yang
semestinya. Misalkan, mereka tidak mempunyai hak pilih dan hak berpendapat
kalaupun perempuan itu dari golongan bangsawan, tapi jika dibandingkan dengan
laki-laki dari golongan bangsawan juga, tetap saja kedudukannya lebih rendah
dan hina. (http://www.alhassanain.com/indonesian/articles/articles/family_and_community_library/woman/wanita_satu/001.html).
Dalam kehidupan masyarakat primitif yang berasaskan
kesukuan, dimana tatanan kehidupan hanya berlandaskan adat serta kebiasaan
perempuan tidak dianggap sebagai manusia, apalagi anggota masyarakat. Bagi
mereka, ia diperlakukan sebagai hewan piaraan yang berfungsi sekedar untuk
memenuhi desakan biologis lelaki. Lebih dari itu, ketika pada musim sulit
seperti musim kemarau, daging perempuan malah dijadikan santapan. Keadaan
seperti ini berlangsung ketika mereka hidup bersama ayahnya sampai mereka
berumah tangga. Pemilik rumah dapat menjual perempuan ataupun memberikannya
kepada orang lain sekedar untuk pesta pora. Kalau perempuan tersebut tidak
mematuhi perintahnya, maka dia berhak menyiksanya atau membunuhnya. (http://www.alhassanain.com/indonesian/articles/articles/family_and_community_library/woman/wanita_satu/001.html).
Pada zaman Arab Jahiliyah sebelum Islam lahir,
martabat wanita dipersamakan dengan budak dan sangat dihinakan. Mereka merasa
terhina jika mempunyai anak perempuan, karena perempuan merupakan sumber
kelemahan dan kehinaan bagi kaumnya sehingga sudah biasa jika lahir bayi
perempuan maka langsung dikubur hidup-hidup. Hal ini diterangkan dalam surat
An-Nahl ayat 58-59
وَاِذابشّراحد هم بالاُنثي ظلّ وجهه مسودًا وّهو كظيم (58) يتو راى من القوم من سوْءِمابشر به, اَيمسكه على هون ام يد سّه في التّراب,
الا ساء ما يحكمون (59)
58: “Padahal apabila seseorang dari mereka diberi kabar dengan (kelahiran) anak perempuan, maka wajahnya menjadi hitam
(merah padam), dan dia sangat marah”.
59: “Dan bersembunyi dari orang banyak, disebabkan kabar buruk yang
disampaikan kepadanya. Apakah dia akan memeliharanya dengan (menanggung)
kehinaan atau membenamkannya ke dalam tanah (hidup-hidup)? Ingatlah alangkah
buruknya (putusan) yang mereka tetapkan aitu”. (Ibrahim, 2014:59).
2.2. Perempuan
Menurut Agama di Dunia
Dalam pandangan yahudi, martabat perempuan sama dengan pembantu. Mereka
menganggap perempuan adalah sumber laknat karena dialah yang menyebabkan Adam
diusir dari surga, pandangan masyarakat kristen, masa lalu, tidak lebih dari
yang disebut di atas. Sepanjang abad pertengahan, nasib perempuan tetap sangat
memprihatinkan bahkan sampai tahun 1882 perempuan inggris belum lagi memiliki
hak pemilihan harta benda secara penuh dan menuntut ke pengadilan. (Nugroho,
2008 : 42)
Dalam agama Islam perempuan Islam
mempunyai kedudukan yang setara dengan laki-laki beragama Islam (muslim),
sebagaimana dalam surat Al-Hujurat ayat 13 yang
artinya “Wahai manusia! Sungguh, kami telah menciptakan kamu dari
seorang laki-laki dan seorang perempuan, kemudian kami jadikan kamu berbangsa-bangsa
dan bersuku-suku agar kamu saling mengenal. Sungguh! Yang paling mulia diantara
kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa. Sungguh, Allah maha
mengetahui, maha teliti”. Dalam ayat itu ditegaskan bahwa ukuran kemuliaan atau
kelebihan seseorang dibanding lainnya adalah ketakwaannya pada Allah. Perempuan mempunyai kewajiban Iman
sebagaimana laki-laki. Seorang muslimah berkewajiban pulan menjalankan kelima
rukun Islam agar mempunyai kualitas sebagai orang Islam yang baik. Dalam hal
menjalankan ibadah, kaum muslimah memiliki kewajiban yang sama dengan
laki-laki, yang membedakan dalam batas menutup aurat sewaktu beribadah, dan
dalam keadaan haid atau nifas, kewajiban shalat bagi muslimah gugur sampai
mereka suci, dan tidak perlu mengqadha shalat. Sedangkan dalam hal puasa,
mereka harus mengganti dihari lain sebanyak hari yang ditinggalkan sewaktu
mereka haid atau nifas. (Sukri, 2009:253).
Seorang Muslimah yang beriman dan
mengerjakan amal shaleh akan mendapatkan balasan yang sama dengan laki-laki
yang beriman dan beramal shaleh, diantaranya syurga. (Sukri, 2009:253).
Pandangan kristen, yang merupakan agama besar yang
membentuk pemikiran barat menampilkan perempuan lebih rendah dari lelaki.
Menurut keterangan injil, kaum pria pemilik perempuan sebagaimana hewan yang
dimiliki. Keluaran surat 20 ayat 17 yang menyatakan sepuluh perintah terkenal,
mengumpulkan seorang istri dengan para budak, hewan piaraan dan rumahnya.
Ketundukkan perempuan kepadaa kaum lelaki ini ada pada injil yang membentuk
pemikiran barat tentang isu tersebut, dijelaskan dalam letivicus 12:1-18 bahwa
setelah kelahiran anak lelaki, secara ritual perempuan tersebut dalam keadaan
kotor selama empat belas hari menurut hukum injil. Selain itu dalam surat
Timotius 2:11-14 dari perjanjian baru injil menyatakan: “seharusnya perempuan
berdiam diri dan menerima ajaran dengan patuh. Aku tidak mengizinkan seorang
perempuan mengajar juga tidak mengizinkannya memerintah laki-laki; hendaklah ia
berdiam diri. Karena Adam yang pertama dijadikan, barulah Hawa lagipula bukan
adam yang tergoda melainkan perempuan itulah yang tergoda”.
Pandangan Hinduisme, Dalam litelatur agama
Hindu, senjata paling efektif yang digunakan oleh para dewa untuk
menyelewengkan kebaikan adalah seorang perempuan. Biasanya terkadang sosok peri
angkasa atau perempuan yang tidak senonoh merupakan sumber segala kejahatan
dalam pandangan Hindu Ortodoks. (Baldick, Radice, dan jones:36). Dalam Kitab
Mahabrata disebutkan: “Aku akan mengatakan kepadamu, anakku, bagaimana Dewa Brahma menciptakan
perempuan amoral, tiada yang jahat ketimbang perempuan.
Tuhan kakek yang mengajarkan apa yang ada di hati para
dewa, menciptakan perempuan jahat melalui ritual magis untuk memperdayai
manusia.” Praktek Sati merupakan
gambaran ketundukan para istri kepada suami dalam adat Hindu, dimana istri
membakar tubuh mereka sendiri hidup-hidup diatas tumpukan kayu yang membakar
jasad suaminya. Pada tahun 1780 ketika raja Mawar mangkat di India, 64 istri
membakar tubuh mereka di atas tumpukan kayu yang membakar jasad suami mereka.
Meskipun pemerintah melarangnya, namun mereka tetap melakukannya dengan cara ilegal dengan dalih agama.
BAB III
KESIMPULAN
3.1. Kesimpulan
Bentuk-bentuk
peradaban manusia yang menjustifikasi fenomena ketertindasan perempuan itu tergambar
dalam fragmentasi sejarah di berbagai belahan dunia, hampir diseluruh dunia dan
seluruh peradaban perempuan dianggap rendah, dikucilkan, dan bahkan hanya
dimanfaatkan untuk kepuasan laki-laki, begitupun dengan agama-agama yang ada di
dunia, semua agama mendiskriminasikan perempuan , kecuali islam yang memang
salah satu agama yang tetap mengajarkan untuk mengangkat harkat derajat
perempuan .
3.2. Saran
Setelah kita
mempelajari dan mengetahui tentang Perempuan dalam Perspektif Sejarah
diharapkan kita mampu memahaminya dengan baik.
Amin..
Demikianlah yang
dapat saya paparkan mengenai materi yang menjadi pokok bahasan dalam makalah
ini, tentunya masih banyak kekurangan dikarenakan terbatasnya pengetahuan dan
kurangnya referensi. Semoga
makalah ini berguna bagi penulis dan para pembaca. Amin..
DAFTAR PUSTAKA
Ibrahim, T dan Darsono. 2014. Tonggak Sejarah Kebudayaan Islam 1. PT.
Tiga Serangkai Pustaka Mandiri.
Pane, armijn. 2008. Habis gelap terbitlah terang. Jakarta : Balai
Pustaka.
Sukri, Sri Suhandjati. 2009. Ensiklopedi Islam dan Perempuan dari Aborsi
Hingga Misogini. Bandung: Nuansa.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar