Blogger Widgets

Jumat, 06 Maret 2015

makalah perempuan dalam perspektif gender

PEREMPUAN DALAM PERSPEKTIF SEJARAH
Makalah Ini Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Tugas
Mata Kuliah : Kesetaraan Gender
Dosen Pengampu : Dr. Sumadi, M.Ag









Disusun Oleh :
Santi Nurul Hikmah
Yulisna Nuraliah Aziz
Semester IV
Program Studi Ahwal Al-Syakhsiyah


FAKULTAS SYARI’AH
INSTITUT AGAMA ISLAM DARUSSALAM(IAID)
CIAMIS-JAWA BARAT
2015




 KATA PENGANTAR
Puji syukur saya panjatkan kehadirat Allah swt. karena atas rahmat dan petunjuknya, saya dapat menyelesaikan penulisan makalah ini dengan lancar. Makalalah ini saya tulis untuk memenuhi tugas mata kuliah Kesetaraan Gender dengan judul “Perempuan Dalam Perspektif Sejarah”.
Namun demikian, saya menyadari bahwa dalam penulisan makalah ini masih jauh dari kesempurnaan. Dengan segala kerendahan hati, kritik dan saran dari berbagai pihak sangat saya harapkan untuk penyempurnaan makalah berikutnya.
Akhirnya saya mengucapkan terimahkasih kepada semua pihak yang telah membantu dalam penulisan makalah ini, terutama kepada dosen pengampu mata kuliah Kesetaraan Gender.  Semoga makalah ini dapat bermanfaat. Amin.

Ciamis, 05  Februari 2015

Penulis












DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR...................................................................................      i
DAFTAR.......................................................................................................      ii
BAB I PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang............................................................................      1
1.2. Rumusan Masalah........................................................................      2
1.3. Tujuan..........................................................................................      2
BAB II PEMBAHASAN
2.1 Perempuan dalam Tradisi Dunia...................................................      3
2.2. Perempuan dalam Agama-agama di Dunia.................................      6
BAB III PENUTUP
3.1. Kesimpulan..................................................................................      9
3.2. Saran............................................................................................      9
DAFTAR PUSTAKA....................................................................................      10


 BAB I
PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang
Proses pemarjinalan masyarakat  di dalam struktur sosial ekonomi maupun politik lambat laun menyebabkan komunitas tersebut terjebak dalam suatu kondisi yang dinamakan sebagai perangkap kemiskinan. Kemiskinan yang dialami bukan hanya dalam arti tingkat kesejahteraan ekonomi yang rendah melainkan juga kemiskinan dalam arti terkekangnya hak ataupun kemerdekaan individu dalam mengekspresikan dinamika hidupnya. (Nugroho, 2008:40)
Fenomena pemarjinalan tadi mungkin dapat kita analogkan dengan wacana yang berkaitan dengan perempuan. Wacana yang berkembang selama ini menganggap bahwa kaum perempuan cenderung dilihat sebagai “korban” dari berbagai proses sosial yang terjadi dalam masyarakat selama ini. Perlakuan terhadap perempuan yang tidak apresiatif dalam interaksi sosialnya dengan suatu komunitas telah menjadi tren diskusi dan perbincangan diantara para pengamat dan pemerhati sosial. (Nugroho, 2008:40)
Fenomena bias gender dalam konteks hubungan antara perempuan dan laki-laki akhirnya direspons dengan memunculkan suatu opini yang mengatakan bahwaa dunia yang kita huni ini adalah dunia laki-laki, yang dibentuk dan ditata sedemikian rupa dengan norma atau nilai laki-laki. Perempuan seakan-akan hanya “diskenariokan” sebagai artis panggung teater yang diarahkan oleh sutradara laki-laki, dengan skenario yang dibuat laki-laki serta ditampilkan untuk memuaskan selera penonton yang juga laki-laki. (Nugroho, 2008:41)
Benar atau tidaknya anggapan diatas memang relatif dan belum tentu menjadi suatu realitas dalam kehidupan kita. Akan tetapi, dalam cuilan sejarah peradaban manusia gambaran perlakuan terhadap perempuan memang tidaklah menggembirakan atau bahkan dapat dikatakan ‘buram’. (Nugroho, 2008:40)
Maka pada kesempatan ini, kami akan mengupas sejarah perempuan di dunia.

1.2. Rumusan Masalah
Adapun rumusan  masalah yang terdapat dalam makalah ini adalah sebagai berikut:
a.     Bagaimana perempuan dalam tradisi dunia?
b.    Bagaimana perempuan dalam agama-agama di dunia?

1.3. Tujuan
Berdasarkan rumusan masalah diatas, maka tujuan dari penulisan makalah ini adalah sebagai berikut:
a.  Untuk mengetahui perempuan dalam tradisi dunia.
b.  Untuk mengetahui perempuan dalam agama-agama di dunia.


















BAB  II
PEMBAHASAN

2.1. Perempuan Dalam Tradisi Dunia
     Bentuk-bentuk peradaban manusia yang menjustifikasi fenomena ketertindasan perempuan itu tergambar dalam fragmentasi sejarah di berbagai belahan dunia, pada peradaban yunani, misalnya, perempuan merupakan alat pemenuhan naluri seks laki-laki. Mereka diberi kebebasan sedemikian rupa untuk memnuhi kebutuhan dan selera tersebut dan para perempuan dipuja untuk itu. Patung-patung telanjang yang terlihat sampai sekarang di Eropa adalah bukti dan sisa pandangan itu. (Nugroho, 2008 : 41)
     Sedangkan dalam  sejarah peradaban Romawi, kultur sosial yang ada memfetakompli bahwa perempuan sepenuhnya berada di bawah kekuasaan ayahnya. Setelah kawin kekuasaan pindah ketangan suami, kekuasaan itu mencakup menjual, mengusir, menganiaya dan membunuh. Realita itu ber langsung hingga aba 5M. Segala hasil usaha perempuan akan menjadi milik keluarganya yang laki-laki. Pada zaman kaisar konstantin terjadi sedikit perubahan dengan diundangkannya hak pemilikan terbatas bagi perempuan dengan catatan bahwa setiap transaksi harus disetujui oleh keluarga (suami atau ayah). (Nugroho, 2008 : 41)
     Peradaban Cina tidak lebih baik dari yang lain. Hak hidup bagi seorang perempuan yang bersuami harus berakhir pada kematian suaminya, istri harus dibakar hidup-hidup pada saat suaminya dibakar. Tradisi ini baru berakhir pada abad ke 17 M. (Nugroho, 2008 : 42)
     Di negri Paman Sam yang sekarang dikenal sebagai negara yang mengagungkan demokrasi dan keegaliteran, dalam proses peradabannya juga pernah mengalami sejarah kelam dalam konteks perilaku sosial terhadap kaum hawanya. Ketika Elizabeth Blackwill (dokter perempuan pertama) menyelesaikan studinya di Geneva University pada tahun 1849, teman-teman yang bertempat tinggal dengannya memboikot dengan dalih bahwa perempuan dianggap tidak wajar untuk memperoleh pelajaran (pengetahuan).
Bahkan, ketika sementara dokter Blackwill bermaksud mendirikan institut kedokteran untuk perempuan di Piladelphia, Amerika Serikat, ikatan dokter setempat mengancam untuk memboikot semua dokter yang bersedia mengajar disana. (Nugroho, 2008 : 42)
     Begitupun di Indonesia, adat istiadat diwaktu itu tiada membolehkan perempuan berpelajaran dan tidak boleh bekerja diluar rumah, menduduki jabatan didalam masyarakat. Perempuan itu haruslah takluk semata-mata, tiada boleh mempunyai kemauan. Perempuan itu hendaklah bersedia-sedia untuk dikawinkan dengan pilihan orang tuanya. Perkawinan, Cuma itulah cita-cita yang boleh diangan-angankan oleh anak gadis. Cuma itulah pelabuhan yang boleh ditujunya. “ selama ini hanya satu jalan terbuka bagi gadis bumi putera akan menempuh hidup ialah kawin “. (Surat kepada Nona Zeehandelaar, 23 Agustus 1900). ( Pane, 2008 : 15)
     Perempuan itu Cuma wajib mengurus rumah tangga dan mendidik anak-anaknya. Anak gadis itu di didik supaya menjadi budak orang laki-laki. Pengajaran dan kecerdasan dijauhkan daripadanya. Kebebasan tiada padanya. Jika sudah berumur 12 tahun ditutup dalam rumah. Dengan ringkas, banyak kewajibannya tetapi haknya tidak satu juga. Tetapi apa yang dikatakan itu Cuma sah bagi perempuan dan anak gadis priyayi saja, karena didalam kalangan rakyat mereka itu lebih bebas. Sikap terhadap anak gadis dan perempuan seperti yang kita uraikan diatas itu, berdahan dan bercabang menjadi adat beristri banyak, kawin paksa, dan kawin semasih anak-anak. ( Pane, 2008 : 16)  
Dalam masyarakat kerajaan (kekaisaran) seperti yang pernah terjadi di India, Persia, Cina dan masyarakat maju pada abad Yunani dan Romawi, dimana tatanan kehidupan mereka berdasarkan aturan dan undang-undang, kendati nasib perempuan lebih baik, akan tetapi mereka belum mendapatkan hak-hak sepenuhnya. Diera puncak peradaban Yunani, dimana masa itu merupakan masa keemasan dan kemajuan bagi masyarakat Barat, keberadaan perempuan tidak dihormati dan tidak mempunyai hak untuk belajar kecuali wanita bangsawan saja. Singkat kata, dalam pandangan mereka perempuan tidak mempunyai hak-hak individu maupun sosial.
Dalam peradaban Persia pun terhina dan tertindas serta tidak mendapatkan hak-hak sebagaimana halnya manusia. Dimata mereka, perempuan hanyalah sebagai budak dan tawanan dimana dapat diperlakukan dan diperjualbelikan sesuka hati. Jual beli wanita sudah menjadi kebiasaan masyarakat Persia dan India waktu itu. Setiap tahunnya, kurang lebih dua belas ribu wanita yang diperjual belikan. Disebutkan dalam sejarah bahwa Hosrou Parwiz, raja dinasti Sasanian ke-23, mempunyai dua puluh tiga ribu istri di istana pribadinya, belum lagi simpanan penyanyi dan penari khusus. (http://www.alhassanain.com/indonesian/articles/articles/family_and_community_library/woman/wanita_satu/001.html).
Begitupula pada beberapa masa sebelum kedatangan Islam tatkala tatanan masyarakat Persian berdasarkan struktur sosial  yang membagi masyarakat pada beberapa golongan yaitu golongan bangsawan dan masyarakat biasa. Meski begitu perempuan dari golongan bangsawan belum mendapatkan hak-hak yang semestinya. Misalkan, mereka tidak mempunyai hak pilih dan hak berpendapat kalaupun perempuan itu dari golongan bangsawan, tapi jika dibandingkan dengan laki-laki dari golongan bangsawan juga, tetap saja kedudukannya lebih rendah dan hina. (http://www.alhassanain.com/indonesian/articles/articles/family_and_community_library/woman/wanita_satu/001.html).    
Dalam kehidupan masyarakat primitif yang berasaskan kesukuan, dimana tatanan kehidupan hanya berlandaskan adat serta kebiasaan perempuan tidak dianggap sebagai manusia, apalagi anggota masyarakat. Bagi mereka, ia diperlakukan sebagai hewan piaraan yang berfungsi sekedar untuk memenuhi desakan biologis lelaki. Lebih dari itu, ketika pada musim sulit seperti musim kemarau, daging perempuan malah dijadikan santapan. Keadaan seperti ini berlangsung ketika mereka hidup bersama ayahnya sampai mereka berumah tangga. Pemilik rumah dapat menjual perempuan ataupun memberikannya kepada orang lain sekedar untuk pesta pora. Kalau perempuan tersebut tidak mematuhi perintahnya, maka dia berhak menyiksanya atau membunuhnya. (http://www.alhassanain.com/indonesian/articles/articles/family_and_community_library/woman/wanita_satu/001.html).    
Pada zaman Arab Jahiliyah sebelum Islam lahir, martabat wanita dipersamakan dengan budak dan sangat dihinakan. Mereka merasa terhina jika mempunyai anak perempuan, karena perempuan merupakan sumber kelemahan dan kehinaan bagi kaumnya sehingga sudah biasa jika lahir bayi perempuan maka langsung dikubur hidup-hidup. Hal ini diterangkan dalam surat An-Nahl ayat 58-59
وَاِذابشّراحد هم بالاُنثي ظلّ وجهه مسودًا وّهو كظيم (58) يتو راى من القوم من سوْءِمابشر به, اَيمسكه على هون ام يد سّه في التّراب, الا ساء ما يحكمون (59)
58: “Padahal apabila seseorang dari mereka diberi kabar dengan (kelahiran)  anak perempuan, maka wajahnya menjadi hitam (merah padam), dan dia sangat marah”.
59: “Dan bersembunyi dari orang banyak, disebabkan kabar buruk yang disampaikan kepadanya. Apakah dia akan memeliharanya dengan (menanggung) kehinaan atau membenamkannya ke dalam tanah (hidup-hidup)? Ingatlah alangkah buruknya (putusan) yang mereka tetapkan aitu”. (Ibrahim, 2014:59).
2.2. Perempuan Menurut Agama di Dunia
     Dalam pandangan yahudi, martabat perempuan sama dengan pembantu. Mereka menganggap perempuan adalah sumber laknat karena dialah yang menyebabkan Adam diusir dari surga, pandangan masyarakat kristen, masa lalu, tidak lebih dari yang disebut di atas. Sepanjang abad pertengahan, nasib perempuan tetap sangat memprihatinkan bahkan sampai tahun 1882 perempuan inggris belum lagi memiliki hak pemilihan harta benda secara penuh dan menuntut ke pengadilan. (Nugroho, 2008 : 42)
     Dalam agama Islam perempuan Islam mempunyai kedudukan yang setara dengan laki-laki beragama Islam (muslim), sebagaimana dalam surat Al-Hujurat ayat 13 yang  artinya “Wahai manusia! Sungguh, kami telah menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan, kemudian kami jadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar kamu saling mengenal. Sungguh! Yang paling mulia diantara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa. Sungguh, Allah maha mengetahui, maha teliti”. Dalam ayat itu ditegaskan bahwa ukuran kemuliaan atau kelebihan seseorang dibanding lainnya adalah ketakwaannya pada Allah.  Perempuan mempunyai kewajiban Iman sebagaimana laki-laki. Seorang muslimah berkewajiban pulan menjalankan kelima rukun Islam agar mempunyai kualitas sebagai orang Islam yang baik. Dalam hal menjalankan ibadah, kaum muslimah memiliki kewajiban yang sama dengan laki-laki, yang membedakan dalam batas menutup aurat sewaktu beribadah, dan dalam keadaan haid atau nifas, kewajiban shalat bagi muslimah gugur sampai mereka suci, dan tidak perlu mengqadha shalat. Sedangkan dalam hal puasa, mereka harus mengganti dihari lain sebanyak hari yang ditinggalkan sewaktu mereka haid atau nifas. (Sukri, 2009:253).
     Seorang Muslimah yang beriman dan mengerjakan amal shaleh akan mendapatkan balasan yang sama dengan laki-laki yang beriman dan beramal shaleh, diantaranya syurga. (Sukri, 2009:253).
Pandangan kristen, yang merupakan agama besar yang membentuk pemikiran barat menampilkan perempuan lebih rendah dari lelaki. Menurut keterangan injil, kaum pria pemilik perempuan sebagaimana hewan yang dimiliki. Keluaran surat 20 ayat 17 yang menyatakan sepuluh perintah terkenal, mengumpulkan seorang istri dengan para budak, hewan piaraan dan rumahnya. Ketundukkan perempuan kepadaa kaum lelaki ini ada pada injil yang membentuk pemikiran barat tentang isu tersebut, dijelaskan dalam letivicus 12:1-18 bahwa setelah kelahiran anak lelaki, secara ritual perempuan tersebut dalam keadaan kotor selama empat belas hari menurut hukum injil. Selain itu dalam surat Timotius 2:11-14 dari perjanjian baru injil menyatakan: “seharusnya perempuan berdiam diri dan menerima ajaran dengan patuh. Aku tidak mengizinkan seorang perempuan mengajar juga tidak mengizinkannya memerintah laki-laki; hendaklah ia berdiam diri. Karena Adam yang pertama dijadikan, barulah Hawa lagipula bukan adam yang tergoda melainkan perempuan itulah yang tergoda”.
Pandangan Hinduisme, Dalam litelatur agama Hindu, senjata paling efektif yang digunakan oleh para dewa untuk menyelewengkan kebaikan adalah seorang perempuan. Biasanya terkadang sosok peri angkasa atau perempuan yang tidak senonoh merupakan sumber segala kejahatan dalam pandangan Hindu Ortodoks. (Baldick, Radice, dan jones:36). Dalam Kitab Mahabrata disebutkan: Aku akan mengatakan kepadamu, anakku, bagaimana Dewa Brahma menciptakan perempuan amoral, tiada yang jahat ketimbang perempuan. Tuhan kakek yang mengajarkan apa yang ada di hati para dewa, menciptakan perempuan jahat melalui ritual magis untuk memperdayai manusia. Praktek Sati merupakan gambaran ketundukan para istri kepada suami dalam adat Hindu, dimana istri membakar tubuh mereka sendiri hidup-hidup diatas tumpukan kayu yang membakar jasad suaminya. Pada tahun 1780 ketika raja Mawar mangkat di India, 64 istri membakar tubuh mereka di atas tumpukan kayu yang membakar jasad suami mereka. Meskipun pemerintah melarangnya, namun mereka tetap melakukannya dengan cara ilegal dengan dalih agama.







    



BAB III
KESIMPULAN

3.1. Kesimpulan
     Bentuk-bentuk peradaban manusia yang menjustifikasi fenomena ketertindasan perempuan itu tergambar dalam fragmentasi sejarah di berbagai belahan dunia, hampir diseluruh dunia dan seluruh peradaban perempuan dianggap rendah, dikucilkan, dan bahkan hanya dimanfaatkan untuk kepuasan laki-laki, begitupun dengan agama-agama yang ada di dunia, semua agama mendiskriminasikan perempuan , kecuali islam yang memang salah satu agama yang tetap mengajarkan untuk mengangkat harkat derajat perempuan .
3.2. Saran
   Setelah kita mempelajari dan mengetahui tentang Perempuan dalam Perspektif Sejarah diharapkan kita mampu memahaminya dengan baik.  Amin..
   Demikianlah yang dapat saya paparkan mengenai materi yang menjadi pokok bahasan dalam makalah ini, tentunya masih banyak kekurangan dikarenakan terbatasnya pengetahuan dan kurangnya referensi. Semoga makalah ini berguna bagi penulis dan para pembaca. Amin..













DAFTAR PUSTAKA

Ibrahim, T dan Darsono. 2014. Tonggak Sejarah Kebudayaan Islam 1. PT. Tiga Serangkai Pustaka Mandiri.
Pane, armijn. 2008. Habis gelap terbitlah terang. Jakarta : Balai Pustaka.
Sukri, Sri Suhandjati. 2009. Ensiklopedi Islam dan Perempuan dari Aborsi Hingga Misogini. Bandung: Nuansa.


makalah bolehnya lafadz niat dikaitkan dengan ibadah

A.    Melafadzkan Niat Dikaitkan dengan Ibadah

Islam mengajarkan kepada umatnya bahwa niat dalam setiap amal ibadah itu penting, mengingat semua amal yang dilakukan seseorang bakal sia-sia jika tidak disertai niat. Bahwa kedudukan niat itu dalam hati sanubari, adalah sesuatu yang tidak perlu diperdebatkan lagi. Hanya saja, keyakinan dalam melafadzkannya secara lisan seringkali diperdebatkan (syafi’iy, 2007: 12).
Kalangan nahdliyin meyakini bahwa melafadzkan niat adalah sunnah, karena merujuk hadis Imam Bukhari yang menuturkan peristiwa ketika Rasulullah saw hendak shalat di lembah Aqiq. Adapun bunyi hadis tampak seperti ini :
و في ا لبخاري من حد يث عمر سمعت رسو ل الله صلي الله عليه وسلّم يقو ل و هوفي وادي العقيق أ تا ني الّليلة ا ت من ر بي فقا ل : صلّ في هذا تصريح
 با للفظ والحكم كما يثبت با النص يثبت با القياس.
“Dalam salah satu hadis yang diriwayatkan Imam Bukhor dari Umar ia ia berkata: saya mendengar Rasulullah, ketika itu berada di sekitar lembah Aqiq bersabda: pada suatu malam telah datang utusan Tuhanku seraya berkata: shalatlah di lembah yang penuh berkah ini, dan ucapkanlah niat umroh dalam haji secara terang dan jelas dan hukumnya sebagaimana telah ditetapkan dalam teks dan qiyash” (syafi’iy, 2007: 13).
Keyakinan bahwa pengucapan niat secara lisan menjadi bagian integral (dalam arti hukumnya adalah sunnah) dari sebuah aktivitas juga disandarkan dari adanya salah satu sabda Rasulullah SAW. sebagaimana yang termaktub dalam kitab Al-Asybah wa an-Nazhar:
من عزم علي المعصىة ولم يفعلها أولم يتلفظ بها لايأ ثم لقوله صلي الله عليه وسلّم: "انّ الله تجاوز للًمّتي ما حدثت به نفوسهاماتتكلّم اوتعمل به.
“ siapa berniat berbuat maksiat tapi belum mengerjakannya atau belum mengucapkannya, maka ia tidak berdosa. Sebab Rasul bersabda: Allah memaafkan umatku selagi hatinya baru berniat, belum diucapkan, atau belum dikerjakan.”   
Hadis diatas menjadi pijakan bagi munculnya beberapa pendapat para fuqaha terutama dalam soal kapan niat itu diucapkan (syafi’iy, 2007: 13).
Selain itu, orang yang berpendapat bahwa niat dapat dikaitkan dengan ibadah karena merujuk pada kitab safinatunnaja bahwasannya niat itu ialah:
النية قصد الشئ مقترنا بفعله ومحّلها القلب وااتلفظ بها سنّة (سفينة النجاء)
“ Niat itu adalah bermaksud melakukan sesuatu yang disertai dengan melakukannya dan tempat niat itu di dalam hati, sedang mengucapkannya adalah sunnat”. Selain itu dalam ayat Al-Qur’an surat Al-Maidah ayat 2.
........وتعاونواعلي البرّوالتّقوى....... (المائدة)
“.....dan tolong menolonglah kamu atas kebaikan dan taqwa...”(Al-Maidah ayat 2).
Ayat tersebut memerintahkan untuk tolong-menolong dalam kebaikan dan taqwa, sedangkan melafadzkan niat adalah usaha lisan membantu hati dalam mengucapkan niat shalat, ini berarti talafudh bi al-Niat itu termasuk yang diperintahkan dalam ayat tersebut.



















B.  Melafadzkan Niat Tidak Boleh Dikaitkan dengan Ibadah

Sebagian orang berpendapat bahwa melafadzkan niat tidak bisa dikaitkann dengan ibadah, karena jika alasannya lisan dapat membantu hati, maka apa yang membantu lisan? Yang benar adalah hati yang membantu / menggerakan lisan, bukan lisan membantu hati, mengingat sabda Nabi:
ألآ إنّ في الجسدمضغة إذا صلحت صلح الجسد كلّه وإذا فسدت فسد سا ئرها, ألآ وهى القلب.
“Ingatlah! Sesungguhnya dalam jasad ini terdapat mudghah yang apabila mudghah itu beres, akan beres seluruh jasadnya, dan jika mudghah itu rusak maka akan rusak seluruh jasadnya., ketahuilah itu adalah hati”.
Oleh karena itu, salah sekali orang yang berpendapat bahwa lisan dapat membantu hati, yang benar justru hati yang dapat membantu lisan dan hatilah yang menjadi penggerak seluruh kegiatan.
Ibnu Qayyim berkata: “Adalah Nabi SAW apabila berdiri untuk shalat, beliau mengucapkan, ALLAHU AKBAR, dan tidak mengucapkan apa-apa sebelumnya dan tidak melafadzkan niat sama sekali, juga tidak mengucapkan, USHALLI LILLAHI....(Aku shalat karena Allah, shalat ini dengan menghadap qiblat, empat raka’at sebagai imam atau sebagai ma’mum, dan juga tidak mengucapkan Fardhan al-Waqti. Ini adalah sepuluh bid’ah yang tidak diriwayatkan oleh siapapun dengan sanad yang shahih, tidak dengan sanad yang bersambung atau mursal, satu katapun sama sekali, bahkan tidak diriwayatkan dari seorang sahabat dan tidak ada yang menganggap baik seorangpun dari kalangan tabi’in atau para imam mazhab yang empat. (Zadu al-Ma’ad, 1:51). Dengan dasar itulah, maka sesungguhnya melafadzkan niat itu tidak pernah dicontohkan oleh Nabi dan para sahabatnya bahkan tidak juga oleh para imam mazhab yang empat. Niat itu memang wajib karena niat itu yang menentukan nilai suatu amal, tetapi dalam pelaksanaannya tidak usah diucapkan dengan lisan cukup oleh hati saja.



C.  Masalah Melafadzkan Niat Diqiyaskan dengan Ibadah

Sebagian orang terutama golongan kaum Nahdliyin meyakini bahwassannya melafadzkan niat ialah sunnah karena diqiyaskan pada haji dan umroh. Hal ini diperselisihkan oleh sebagian ulama karena tidak ada qiyas dalam beribadah, apalagi diqiyaskan pada ibadah haji yang telah jelas bahwa shalat telah diperintahkan Allah lebih dahulu sebelum haji dan umroh. Dalam ibadah tidak boleh sembarang mengistimbath hukum, mengingat hadis Rosul yang berbunyi:      
من عمل عملا لىس عليه أمرنا فهو ردّ.
“Siapa yang mengamalkan apa yang tidak diperintahkan oleh kami pasti ditolak”. Karena dasar inilah tidak diperbolehkan adanya qiyas dalam ibadah.





















D.  Opini

Menurut saya, melafadzkan niat dalam shalat hukumnya tidak jelas dan masih mengambang karena dasar-dasarnya tidak ada yang tsiqot dan qot’i. Sudah jelas dalam beribadah kita tidak boleh gegabah dan sembarangan, apalagi ibadah shalat yang merupakan tiangnya agama. Oleh karena itu, lebih baik tidak perlu melafadzkan niat dalam shalat. Jika kita menambah-nambah apa yang tidak dilakukan Rosul, maka jelas ibadah kita tidak akan sesuai dengan apa yang diperintahkan Rosul. Jika sudah demikian bagaimana ibadah kita hendak diterima! Mengingat syarat ibadah ialah ikhlas dan shidqul ‘adzimah(sesuai dengan apa yang diperintahkan Allah dan Rasul) dan juga Rosul pernah bersabda yang artinya “Shalatlah kalian sebagaimana melihat aku shalat”. Nabi pernah bersabda yang diriwayatkan oleh Abu Hurairoh yang artinya:
“Dari Abu Hurairoh r.a. sesungguhnya Nabi SAW. bersabda “jika engkau hendak shalat sempurnakanlah wudhumu, kemudian menghadap kiblat, lalu bertakbirlah” (H.R. Bukhari).
Dari hadis tersebut dapat disimpulkan bahwa niat dengan dilisankan tidak pernah dilakukan oleh Nabi SAW dan beliau tidak pernah memerintahkannya.