Senja
terakhir bersama ‘kiky’
Hope
Mumtaz el-Hikmah
Hhahh..
akhirnya turun juga dari bis. Lega sekali rasanya setelah lamanya duduk di
dalam bis selama dua hari. Paling-paling aku turun jika sedang istirahat.
Akupun melanjutkan perjalanan dengan menyebrang jalan raya memasuki gang
perumahan. Sungguh aku sudah tak sabar ingin segera di rumah. Hati ini begitu
rindu....sekali. dengan mamah, bapak, teh melan kakak kembarku, dan adikku yang
sangat lincah. Tak lupa dengan teman-teman bermain saat SD. Sudah 6 tahun aku
meninggalkan kotaku tercinta untuk menimba ilmu di kota solo nan jauh
sana. Hmm tak kusangka sekarang jalan
rayanya sangat ramai, menyebrangpun aku sangat susah, butuh bantuan para
petugas.
Untung aku tak membawa barang banyak. Setelah memasuki gang, banyak sekali ojek sepeda motor menghampiriku. “neng enggal naik, ayo bade kamana?” ujar salah satu mang ojek sambil menarik koperku. belum sempat kujawab, sepeda motor lainnya mengahampiriku, “neng sok calik bade kamana?” ajak mang ojek yang lain sambil menarik tanganku. “hhehh maneh tong kitu atuh.. apan urang tadi tos tihela...”[1] bentak mang ojek yang pertama. “naon tuh sia!! Si eneng nage can naik tos di bebetot tasna”[2] kuping ku terasa panas mendengar kata-kata kasar. “atos-atosnya mang.. da abi mah bade jalan wae. Caket mang. Hatur nuhun..”[3] ujarku mencari jalan penengah. Hhahh.. sekarang ini tersasa asing bahasa sunda ditelingaku. hmm cukup geli juga sih..Sebenarnya, aku sangat lelah jika berjalan kaki, tapi tak apalah.. hikmahnya aku bisa melihat sekeliling dengan jelas, sehingga perubahan-perubahan yang terjadi dapat kutanyakan langsung pada keluarga, saat sudah sampai di rumah. Hmmm kesal sekali, cara mereka menawarkan sangat memaksa dan kasar. Hhahh.. beginilah zaman sekarang, jika menyangkut uang mereka akan berusaha semaksimal mungkin, tak lagi memedulikan kenyamanan orang lain, ah jangankan itu, etika kesopanan saja sudah mereka lupakan. Prihatinnya...
Untung aku tak membawa barang banyak. Setelah memasuki gang, banyak sekali ojek sepeda motor menghampiriku. “neng enggal naik, ayo bade kamana?” ujar salah satu mang ojek sambil menarik koperku. belum sempat kujawab, sepeda motor lainnya mengahampiriku, “neng sok calik bade kamana?” ajak mang ojek yang lain sambil menarik tanganku. “hhehh maneh tong kitu atuh.. apan urang tadi tos tihela...”[1] bentak mang ojek yang pertama. “naon tuh sia!! Si eneng nage can naik tos di bebetot tasna”[2] kuping ku terasa panas mendengar kata-kata kasar. “atos-atosnya mang.. da abi mah bade jalan wae. Caket mang. Hatur nuhun..”[3] ujarku mencari jalan penengah. Hhahh.. sekarang ini tersasa asing bahasa sunda ditelingaku. hmm cukup geli juga sih..Sebenarnya, aku sangat lelah jika berjalan kaki, tapi tak apalah.. hikmahnya aku bisa melihat sekeliling dengan jelas, sehingga perubahan-perubahan yang terjadi dapat kutanyakan langsung pada keluarga, saat sudah sampai di rumah. Hmmm kesal sekali, cara mereka menawarkan sangat memaksa dan kasar. Hhahh.. beginilah zaman sekarang, jika menyangkut uang mereka akan berusaha semaksimal mungkin, tak lagi memedulikan kenyamanan orang lain, ah jangankan itu, etika kesopanan saja sudah mereka lupakan. Prihatinnya...
Wah...
ternyata banyak sekali yang berubah. Kulihat ke samping kanan dan kiri sudah
tak ada lagi kebun-kebun buah mangga. Tempatku berteduh dan bermain dengan ayah
dan teh melan. Sementara ruko-ruko berdiri tegak di sepanjang jalan yang
kulalui. Kebun-kebun benar-benar sudah dibabat habis mungkin hanya tersisa
sekitar empat atau lima pohon yang tumbuh dengan berjarak jauh antara satu dengan
yang lain. Aku benar-benar dibuat miris sekaligus takjub dengannya. Apapun yang
kubutuhkan tak perlu pergi jauh-jauh ke pasar, toh semuanya sudah ada. Dari
mulai toko baju, makanan ringan, sepetu, buah-buahan, sembako, parfume dan tak sanggup
kusebutkan semua karena saking banyak. Tapi bayangkan betapa gersang dan
panasnya perumahan citra. Tidakkah kalian berfikir, bahwa kita sangat tega pada
flora, memang pertumbuhan mansia saat ini sangat pesat, tapi menurutku alasan
utama bukan karena itu, tapi karena manusia semakin haus harta sehingga tanpa
fikir panjang mereka membabat habis kebun-kebun. Jika terjadi banjir besar
barulah mereka menyesal, inilah tabiat orang rakus yang selalu menyesal di
akhir. Akupun terus menelusuri jalanan. Hmm ternyata ada yang tidak pernah
berubah hingga sekarang, yaitu jembatan besar yang tegak diatas irigasi yang
cukup besar. Akupun terhenyak ketika tiba di taman bermain saung indah. Taman
itu adalah tempatku bermain saat SD ketika pulang les bahasa Inggris, dan tempat
finishku dengan teman-teman ketika lari pagi di hari libur. Hhahh... sungguh
dada ini sangat sesak. Aku rindu itu semua.
Sejenak hatiku merasa sejuk melihat taman itu. Bagaimana tidak? Taman
itu semakin indah dan teduh, dikelilingi
banyak pohon dan semakin banyak wahana permainan, para pedagangpun semakin
ramai. dari mulai anak kecil hingga dewasa turut menikmati taman itu. Taman itu
romantis sekali suasananya, pantas saja para remajapun ikut bermain dengan
kekasihnya. Hhhahh syukurlah ternyata masih ada pepohonan yang lumayan cukup
banyak di taman.
Akupun
melanjutkan langkahku. Kini mulai memasuki perumahan. Sungguh aku sangat
pusing. Rupanya semakin terdapat banyak gang. Tidak seperti dulu, hanya ada
sekitar 12 gang, sedangkan sekarang ada lebih dari seratus gang.
Lapangan-lapangan besar sudah disulap menjadi gang yang sangat banyak. Saat
berada di depan salah satu rumah aku terdiam kaku. tiba-tiba kaki ini terasa
lumpuh, rasanya mata ini ingin terus memandangi rumah itu. Rumah yang sempat
memberiku berjuta warna. Rumah yang sempat memberikan luka pada banyak orang.
Pandanganku terasa buyar. seolah-olah aku dipaksa masuk ke lorong waktu, dan memaksaku
terjun pada kisah silam yang telah tergilas masa. Memoar-memoar itupun bergerak
seperti film...
### ### ### ### ### ### ###
Sore
itu, langit nampak cerah. Burung-burung terbang dengan bebas ke angkasa,
membuat farmasi yang sangat indah di atas langit. sebagian burung bertengger
pada kubah sebuah masjid yang bernama masjid An-Nur. Hari ini masjid sangat
ramai karena merupakan hari pengajian mingguan ibu-ibu yang tinggal di
perumahan Citra. Tak hanya ibu-ibu yang datang ke masjid, tetapi juga
anak-anaknya diajak. Para ibu mengaji barjanji dengan khusyu’ di dalam masjid,
sementara anak-anak bermain di halaman masjid. anak-anak yang bermain tersebut
adalah aku, meilan kakak kembarku, fia, kiky, sofi dan ana, serta hanum. Saat
itu aku berumur 6 tahun, sama seperti fia, dan meilan tentunya. Sofi, ana dan
hanum berumur 7 tahun, sedangkan kiky adalah temanku yang paling muda berumur 5
tahun. Kami semua satu pengajian di TPA Al-Barkah, sehingga biasa bermain
bersama, namun yang satu sekolah denganku adalah meilan dan fia. Sedangkan
sofi, ana dan hanum sekolah di Anggadita yang cukup jauh dari rumah sehingga
harus menaiki angkot. Kami semua duduk di kelas 1 SD kecuali kiky yang belum
sekolah. Aku dengan kiky sangat dekat, ia sering main ke rumahku bahkan meskipun
sudah di jemput ayahnya ia sering nangis tetap ingin bermain di rumahku. Sering
kali, agar kiki menurut untuk pulang akupun ikut ke rumahnya. Jadilah aku
dengan kiki tetap bermain bersama hanya tukeran tempat. Sejujurnya aku kurang
nyaman bila bermain ke rumahnya, karena bau bensin, maklum kiky memang jualan
bensin di rumah. Aku sangat senang padanya, karena anaknya lucu sekali..
badannya berisi dan pipinya sangat gembil, aku sering menyubitnya. Selain itu,
ia juga tidak mudah marah jika bermain bersama dan selalu menurut jika di suruh
apapun. Hmm terkadang aku tega sekali pada dia untuk menjadikannya sebagai
seekor kuda dan aku menaiki punggungnya. Jika mengingatnya aku sangat menyesal
sekali... yah.. tapi mau bagaimanalagi, toh semua sudah terjadi. Semoga saja
kiky memang ikhlas dan bahagia dulu.
Sore
itu kiky menggunakan baju muslim putih. Kuperhatikan agak lama, ternyata kiky
sangat cantik. Aku baru menyadarinya saat itu. Kamipun bermain bersama.
Kebetulan aku, meilan dan fia mempunyai suntikkan air yang dibeli saat tadi
sekolah. Kamipun sepakat bermain kejar-kejaran dan berkelompok saling
menyemprot dengan suntikkan. Satu kelompok memiliki satu suntikkan. Bermain
kali ini terasa sangat mengasyikan. Bagaimana tidak? Ini adalah permainan baru
yang kami mainkan dengan suntikkan baru pula. Tak terasa baju kami mulai basah.
Setelah lamanya saling berkejaran, kamipun lelah dan bersepakat untuk istirahat
sejenak. Hanya meilan yang merasa kesal masih ingin bermain. Kamipun beristirahat
duduk di teras masjid, kecuali meilan yang masih berdiri.
“ih...
kenapa berhenti sih.. ayo main lagi..!!!” ajak meilan dengan kesal.
“meilan
memang tidak cape ? kita istirahat dulu sebentar, lihat meilan, hampir semuanya
kelelahan" ujar fia dengan bijak. Dia memang paling dewasa sifatnya
diantara kami semua. meilanpun memanyunkan bibirnya kesal.
“tau
tuh.. emang teteh gak liat apa kita-kita pada cape. Apalagi kiky pucat sekali
wajahnya, liat tuh..!!!” ujarku dengan kasar. Meilanpun semakin manyun.
“meisin...
yang sopan dong.. diakan kakakmu.” Ujar
fia menasehatiku.
“iya
deh.. teh meilan maaf ya...” pintaku dengan tulus dan tersenyum.
“iya...
tapi... kita main lagi... hhhahha...”
jawabnya.
“engga
ah.. kasian kiky kayanya kecapean banget.. ya kan ki?” tanyaku.
Semuanyapun
menatap kiky, termasuk aku. Ya dia memang pucat sekali. Apa dia sedang sakit!!
Kutatap wajahnya agak lama, hmm kok tiba-tiba aku merasa ada yang janggal.
Sementara yang ditatap malah tersenyum lebar seakan tak lelah, hmm membuatku semakin
gemas, kucubit pipinya keras-keras.
“argh..
argh.. sakit meisin, udah ah...” protes kiky, sambil terus mengaduh.
“hhhahha....”
tertawaku puas.
“gimana
kalo sekarang mainannya jangan kejar-kejaran lagi..” ujar hanum memberikan
idenya.
“terus
main apa dong...??” tanya meilan yang sebenarnya masih ingin bermain
kejar-kejaran.
“gimana
kalo kita main dokter-dokteran, terus nanti ada yang sakit, kita suntik deh...”
usul sofi.
“setuju-setuju...”
jawab kami semua dengan kompak.
“ya
kayanya rame tuh...” ujar ana.
“tapi
siapa ya kira-kira yang jadi pasien nya..?”
“aku
usul kiky yang jadi pasiennya, dan aku dokternya, sedangkan kalian semua suster
dan perawat. Gimana?” tanyaku.
“iya
sipp.. kayanya rame tuh” jawab fia dengan semangat mewakili semuanya.
Kami
semuapun tertawa melihat kiky yang berpura-pura sakit perut hendak melahirkan.
Aku terus menyuntiknya dengan suntikan air. Aku menyuntik pantatnya dengan sok
gaya layaknya bidan asli. Tapi jangan salah!! Aku memang mengikuti gaya Bu bidan Wiwin yang selalu menyuntik mamah
sebulan sekali. Bila Bu Wiwin mengusapnya dengan kapas maka aku mengusapnya
dengan daun. Celana muslim putihnya pun basah. Teman-teman yang lain tertawa
melihatku. Begitupun kiki tertawa, tetapi kiki tertawa karena kegelian.
“wahhh
meisin berbakat jadi bidan..” ujar fia mengagumiku.
“
iya.. iyya..” gumam teman-temanku yang lain.
“meisin
udah ah.. kiky cape nih.. aduh mulut kiky kok panas banget ya..?”
“yah...
kok udahan sih ky??” tanyaku tak setuju.
“aduh...
iya mulut kiky panas banget nih...” ujarnya sambil mengipas-ngipas mulutnya.
“emang
panas kenapa? Kiky habis makan pedes ya...?”
“engga
kok.. kan dari tadi kiky main.. meisin anter kiky ke mamah yu..!!” ajaknya.
“
ya udah deh.. yu.. teman-teman aku ke dalam dulu ya.. nganter kiky, gak tau nih
aneh mulutnya tiba-tiba panas katanya.” pamitku pada teman-teman.
“iya
sok.. anterin sin.. kasian kiky, kayanya cape banget kiky..” jawab teman-teman.
Akupun
dengan kiky masuk ke dalam masjid, menghampiri mamahnya. Wah.. ternyata
pengajiannya memang sudah selesai dan
sedang berdo’a. Mamah kiky rupanya menggunakan pakaian yang sama dengan kiky,
muslim putih.
“kenapa
ky??” tanya mamahnya.
“ini
mulut kiky panas banget mah. Aduh perih banget tenggorokannya.” Ucapnya sambil
mengipas-ngipas mulutnya.
“loh
emang habis makan apa? Hayo... kiky habis makan pedesya..?” tanya mamahnya.
“engga
kok, tanya aja sama meisin. Orang dari tadituh kiky main sama teman-teman..”
“benar
tidak meisin kiky gak makan pedes?” tanya mamahnya padaku.
“engga
bu, meisin juga aneh padahal tadi engga jajan apa-apa” jawabku sesuai dengan
fakta.
“oh
gtu.. kok bisa ya..!! hmm aneh kiky” ujar mamahnya dengan iba, sambil membantu
kiky mengipas-ngipas mulutnya.
“kenapa
bu??” tanya bu RT, namanya ustadzah inayah, beliau adalah guru di TPA.
“ini
loh bu.. kiky katanya tiba-tiba panas mulutnya, padahal gak makan apa-apa?”
“oooh
gitu.. ni saya ada air putih, sok coba
minum baca bismillah dulu..”
Kikypun
minum air putih dengan terlebih dulu membaca Al-Fatihah. Ia meneguk air
sebanyak-banyaknya, hingga airnya habis. Seolah-olah mulutnya benar-benar
panas, aku sebenarnya sangat aneh, kok bisa mulutnya tiba-tiba panas.
“bagaimana
ki..!! masih panas tidak..??” tanya mamahnya.
“hhhahhh
alhamdulillah... akhirnya gak panas lagi mulut kiky mah...” ujarnya senang.
“alhamdulillah...
iya atuh syukur. Ah kiky ada-ada saja..”
“udah
gak panas lagi ya... alhamdulillah....” ujar bu RT.
“kiky
kita main lagi yu..!” ajakku.
“ayo
main kerumah kamu yu...!” ajaknya.
“boleh,
ibu.. kiky mau main ke rumah meisin, boleh ya...?”ujarku meminta izin.
“oh
iya sok.. kiky jangan nakalya.. nanti mamah jemput ke rumah meisin, meisin
jangan main ngumpet kemana-mana lagi ya.. biar ibu gak susah nyari kaya dulu.
Kiky juga kalau waktunya pulang harus pulang..” ujar mamahnya kiky. hhhahha aku
jadi ingin tertawa, teringat saat dulu kiky main ke rumah. Kiky sudah di jemput
ayahnya, tapi kiky masih ingin bermain, akhirnya ide gilaku muncul untuk
mengajaknya ngumpet ke kolong kasur.
“
ayo ki.. masuk ke kolong kasur..!!” ajakku.
“ih..
tapi gelap. Gak akan ada hantu kan..??” tanyanya dengan wajah pucat karena
takut. Aku dan kikipun masuk ke kolong kasur. Saat itu mamah dan bapak sangat
bingung dengan keberadaanku, karena sebelumnya kami sedang bermain boneka di
dalam kamar. Mamah dan bapak terus memanggil kami “kiki....?? meisin...??”. aku
tersenyum geli. Ingin sekali rasanya tertawa, sebaliknya dengan kiki yang terus
berbisik ingin segera keluar karena takut. Beberapa detik kemudian Aku dan
kikipun terperangah. Didepan kami muncul sosok monster kecil. “aaa....” sontak
kami berdua teriak sambil segera keluar dari hutan kolong kasur. Kiki sudah
menangis, ia yang tadi paling dekat dengan monster kecil. Mamah dan bapak
segera menghampiri kami. “loh ada apa teriak-teriak? Ternyata ada di kamar.
Barusan kemana pas mamah cari? meisin, kiki kenapa nangis?” serbu mamah dengan
beribu pertanyaan. Ayah kiki ikut masuk ke kamar.
“maaf
mah tadi ngumpet di kolong kasur, habisnya masih pengen main. Eh ada monster.”
Ujarku dengan mengiba.
“loh
emang monster apaan bu?” tanya ayah kiki pada mamah.
“maksudnya
tikus pak, biasa meisin emang nyebut tikus monster. yaudah, nanti jangan
diulangin lagi. Tuh mangkanya gak boleh ngerjain orang tua. Kan dapat
akibatnya..”.
### #### ###
Setelah
sampai dirumah aku dan kiki menonton TV bersama, sambil bermain boneka. Sore
itu kiki terlihat sangat gelisah. Selalu menanyakan jam.
“meisin
sudah jam berapa sekarang?” itu pertanyaannya yang ke empat kali.
“jam
setengah 6, pasti sebentar lagi mamah kiki menjemput.” Ujarku dengan sedih,
kiki hanya tersenyum.
“ki
kita ngumpet aja ya biar kiki gak pulang. Gimana!!”
“maaf
mei.. kiki harus pulang, kasian mamah nanti sendirian” jawabnya mengecewakan.
“yah..
kiki padahal kiki kan bisa nginep dulu, besok pulang.”
“maaf
ya sin, kikikan udah sering main dan nginep ini. Nah.. Sekarang waktunya kiki
harus pulang”. Jawabnya tegas. Akupun pasrah tak bisa memaksa. Beberapa detik
kemudian mamah kiki datang. Sore itu aku benar-benar sangat berat melepas kiki
pergi.
####
#### ####
Samar-samar kudengar suara mamah memaksaku bangun,
menggoyang-goyang tubuhku. Kesal sekali rasanya. Akupun terbangun, namun sangat
sulit untuk bangun. Mamah dengan kasar menarikku dan meilan keluar rumah. Mamah
benar-benar tak peduli dengan mataku yang sangat lengket seolah telah dioles
lem yang permanen. Namun saat aku benar-benar sudah sadar, sontak aku sangat
kaget. Sekeliling rumahku sangat gelap. Begitupun diluar rumah, semuanya gelap,
seolah-olah semuanya telah lenyap. Namun orang-orang sangat ramai keluar dari
rumahnya masing-masing. Suara pukulan bambu terdengar keras dan seolah saling
bersahutan. teriakan-teriakan warga tak kalah kencang memekkikan telinga,
menyuruh semua orang yang masih di dalam rumah agar segera keluar. Semua orang
terlihat panik. Suasana malam itu dapat membuat siapa saja merinding. Bagaimana
tidak?? Dimana-mana terdengar teriakan-teriakan histeris dalam keadaan gelap. “kebakaran...
kebakaran... ayo keluar-keluar cepat keluar”. Pekik salah seorang warga sambil
memuku-mukul bambu. Mamah merangkulku
dan meilan erat-erat. “semuanya matikan lampu... ada yang kebakaran nanti takut
menyambar melalui listrik”. Pekik warga lain tak kalah kencang. Aku, meilan,
dan mamah bergabung dengan warga lain. Bu RT datang menghampiri kami semua
sambil menangis dan wajahnya pucat. Sebenarnya aku masih tak mengerti apa yang
terjadi. Tapi, badanku terasa sangat gemetar dan dadakupun begitu berdebar.
Mamah bertanya pada Bu RT “ada apa bu?? Rumah siapa yang kebakaran?” tanya
mamah sambil mengusap-usap punggung Bu RT berusaha menenangkan. “rummahnya
kiky.. omnya kiky main dan merokok di dekat kumpulan bensin, puntung rokoknya
kena bensin yang tumpah ya langsung meledak bu.. kiky dan mamah nya kekurung di
kamar, badannya sudah hangus bu..” jawab Bu RT sambil mengusap air matanya.
Kupingku terasa panas. Kakiku terasa lumpuh. Lidahku begitu kelu. Masih
teringat saat sore main bersama dengannya. Tiba-tiba kepalaku begitu pening,
hatiku mendidih, sanubariku seperti terkoyak-terkoyak. Kakiku lemas..
‘crott..
crott..’
semprotan suntikkan air
mengenaiku. Aku tersontak kaget. Seorang anak kecil menyemprotku dan tertawa.
“hhahha.. hhahha maaf ya mba.. mba kok menangis?” ujarnya. Akupun mengusap air
mataku. Tak terasa aku sampai meneteskan air mata mengingat kenangan itu. Hmm..
aku jadi malu. “tidak apa-apa kok de, kakak duluan ya..” jawabku dengan senyum.
Akupun kembali meneruskan perjalananku menuju rumah.
By: Santi Nurul Hikmah
AS
2
hidup adalah pertemuan dan perpisahan
BalasHapussemoga dapat bermanfaat... :-)
BalasHapus