Blogger Widgets

Kamis, 01 Oktober 2015

tak ada yang sempurna

Kepada perempuan2 diluarsana
Yang selalu kesepian dan tertekan
Ketahuilah seudari
Memang tak ada kisah yang sempurna
Tapi allah selalu memberi kasih yang sempurna pada setiap kisah kita
Dan ketika kita melihat betapa indahnya kisah org lain

Sesungguhnya kita mampu membuat kisah kita lebih indah dari siapapun

jatuh hati

Kata2nya adalah penawar
Yang kalau disentuh kaca menjadi permata
Biarpun dia diam, nafasnya berbicara

Bgimna mgkin perempuan tidak tertawan

Detik-setik terakhir rasulullah

Langit madinah hening, bening
Seluruh madinah menjadi sepi
Para sahabat bertanya, ‘siapakah yang nabi maksudkan itu? siapakah mereka imannya yang  mempesona itu?’ .
para sahabat terdiam, menahan nafas, bagai terhenti detak jantung mereka, menanti sabda junjungan mulia nabi muhammadurrasulullah shalaullah alaihi wasalam. 
Nabi berkata, ‘merekalah saudaraku, mereka tiba saat aku telah pergi, membenarkan dan mempercayai walaupun tidak pernah menemuiku, mereka beriman pada yang ghaib, mendirikan shalat, dan menginfakan sebagian rezeki mereka karunia dari Allah’
Saudara.. saat itu, anak mata baginda rasulullah sudah bergenang, suaranya parau, tapi tetap tabah menutup sabda. ‘alangkah bahagianya jika aku menemui mereka, rindunya.. aku pada mereka’
Para sahabat bertanya, “engkau menangis ya rasulullah, engkau rindukan umatmu ya nabiyullah..”
“engkau merindukan kami? ya rasulullah.. tapi kenapa kami tidak pernah mengingatimu, melupakanmu, sedangkan dihujung nafasmu, dirimu masih mengingati kami, engkau melirih... umatku.. ummatku.. ummatku... malunya kami padamu ya rasulullah..  



puisi rindu

Rindu
Rindu itu anugrah
Karunia dari tuhan
Setiap insan yang berhati nurani punya rasa rindu
Cinta dan rindu itu bermula dari adam dan hawa
Dikisah yusuf dan zulaikha
Diabadikan shah jehan dan mumtaz shah
Diberikan pula romeo dan juliet
Diceritakan rama dan sinta
Dilakonkan oleh laila majnun
Dan kini kita pula meneruskannya

Sungguh bahagia orang yang telah menemukan cinta

makalah perempuan dalam perspektif Sejarah

PEREMPUAN DALAM PERSPEKTIF SEJARAH
Makalah Ini Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Tugas
Mata Kuliah : Kesetaraan Gender
Dosen Pengampu : Dr. Sumadi, M.Ag









Disusun Oleh :
Santi Nurul Hikmah
Yulisna Nuraliah Aziz
Semester IV
Program Studi Ahwal Al-Syakhsiyah


FAKULTAS SYARI’AH
INSTITUT AGAMA ISLAM DARUSSALAM(IAID)
CIAMIS-JAWA BARAT
2015





resume qowaidul fikhiyah

MATERI  1
Konsep Qowaidul Fikhiyah

1.    Pengertian Qowaidul Fikhiyah
Menurut Imam Tajjudin As-Subki :
الأمـرُ الكلّيُّ الـذى يـنـطـبقُ عـليـهِ جـزئـياتٌ كـثيرةٌ يـفـهـمُ أحـكامُهـا مـنـها
“Suatu perkara yang kully yang bersesuaian dengan juz’iyah yang banyak yang dari padanya diketahui hukum hukum juziyah itu” .
2.    Ruang lingkup Qowaidul Fikhiyah
·         Qawaid Asasiyyah Qubra
-          الأمور بمـقاصـدها
-          الـيـقـين لايزال بالـشّـكّ
-          الـمشـقّة تـجـلب الـتيـسـير
-          الـضّـرارُ يـزال
-          الـعادة مـحكمة
·         Qawaid al Kuliyyah
       Qawaid yang menyeluruh tetapi cabang dan caku-pannya lebih sedikit dari pada yang asasiyyah diantaranya :
-          الخـرجُ بـِالـضَـمَـن
“Hak mendapatkan hasil disebabkan oleh keharusan menanggung kerugian”.
-           الـضـررُ أشـدُّ يُـدْفَع بالـضـررِ الأَخْـلَـفِ
“Bahaya yang lebih besar dihadapi dengan bahaya yang lebih ringan”.
·         Qawaid al Madzhabiyyah (kaidah madzhab)
  Yaitu kaidah-kaidah yang menyeluruh pada sebagian madzhab. Kaidah ini dibagi dua :
a. Kaidah yang disepakati.
b. Kaidah yang diperselisikan.
·         Qawaidul Mukhtalaf Fil Madzhab
Yaitu kaidah yang diperselisihkan dalam madz-hab tertentu.
3.    Tujuan Qawaidul Fikhiyah
       Tujuan mempelajari Qawaidul Fikhiyah ialah untuk mendapatkan manfaat dari ilmu Qawaidul Fikhiyah. Diantara manfaat dari ilmu Qawaidul Fikhiyah ialah:
·         Mengetahui prinsip-prinsip umum fiqh dan akan mengetahui pokok masalah yang mewarnai fiqh dan kemudian menjadi titik temu dari masalah-masalah fiqh.
·         Akan lebih mudah menetapkan hukum bagi masalah-masalah yang dihadapi.
·         Akan lebih arif dalam menerapkan materi-materi dalam waktu dan tempat yang berbeda, untuk keadaan dan adat yang berbeda.
·         Meskipun kaidah-kaidah fiqh merupakan teori-teori fiqh yang diciptakan oleh Ulama, pada dasarnya kaidah fiqh yang sudah mapan sebenarnya mengikuti al-Qur’an dan al-Sunnah, meskipun dengan cara yang tidak langsung.
·         Akan mempermudah dalam menguasai materi hukum.
·         Kaidah Fiqhiyah membantu menjaga dan menguasai persoalan-persoalan yang banyak diperdebatkan.
·         Kaidah Fiqhiyah mendidik orang yang berbakat fiqh dalam melakukan analogi (ilhaq) dan takhrij untuk memahami permasalahan-permasalahan baru.
·         Akan mempermudah orang yang berbakat pada ilmu fiqh dalam mengikuti (memahami) bagian-bagian hukum dengan mengeluarkannya dari tema yang berbeda-beda serta meringkasnya dalam satu topik.
4.    Urgensi Qawaidul Fikhiyah
Kaidah fiqih dikatakan penting dilihat dari 2 sudut  :
1. Dari Segi Sumber
Kaidah fiqih merupakan media bagi peminat fiqih islam untuk memahami dan menguasai  maqashid al-syari’Ah.
2. Dari segi istinbath ahkam
kaidah fiqih mencakup beberapa persoalan yang sudah dan belum terjadi. Oleh karena itu, kaidah fiqh dapat dijadikan sebagai salah satu alat dalam menyelesaikan persoalan yang terjadi yang belum ada ketentuan atau kepastian hukumnya.
5.    Kaidah Fikih Yang Disepakati Imam Madzhab
-          اَلأمُوْرُ بِمَـقَاصِـدِهَا
Segala sesuatu tergantung pada tujuannya.
-          الـيَـقِـيْـنُ لاَيَـزَالُ بِالـشَـكِّ
Yakin itu tidak dapat dihilangkan dg keraguan.
-          الـمَـشَـقَةُ تَـجْـلِـبُ الـتَـيْـسِـيْـر
 Kesulitan itu dapat menarik kemudahan.
-          الـضـرَارُ يُـزَالُ
Kemadaratan itu harus dihilangkan.
-          الـعـادة مـحـكـمة
Kemadaratan itu harus dihilangkan.
6.    Kedudukan Kaidah Fikih
1.        Kaidah fiqh sebagai pelengkap.
Kaidah fiqh digunakan sebagai dalil setelah menggunakan dua dalil pokok, yaitu al-qur’an dan sunnah.
Kaidah fiqh yang dijadikan sebagai dalil pelengkap tidak ada ulama yang memperdebatkannya, artinya ulama “sepakat” tentang menjadikan kaidah fiqh sebagai dalil pelengkap.
2.      Kaidah fiqh sebagai dalil mandiri.
Kaidah fiqh digunakan sebagai dalil hukum yang berdiri sendiri, tanpa menggunakan dua dalil pokok.























MATERI  2
Sejarah Qowaidul Fikhiyah

v Sejarah dan Perkembangan Qawaidul Fikhiyah
1.    Pembinaan Asas (Zaman Rasulullah saw =Akhir Kurun Ke-3)
Hadis dan athar para sahabat, para tabi‟in dan tabi‟t-tabi‟in yang berbentuk kaedah.
2.    Penulisan dan Perkembangan (Kurun Ke-4 hinggaKurun Ke-9)
-            Pada awalnya, tidak mempunyai penyusan tertentu mengikut bab sehinggalah pertengahan kurun ke-8
-            Ulama‟ 4 mazhab.
3.    Pengukuhan (Kurun ke-10 hingga penubuhan al-Majallah)
-            Perbahasan lebih khusus.
-            Perbezaan istilah diwujudkan.
-            Syarah bagi kitab-kitab utama.
4.    Kebangkitan Ilmiah (Akhir kurun ke-13 sehingga sekarang)
-            Perundangan dan gazet.
-            Tahqiq kitab turath.
-            Pengeluaran dari kitab-kitab fiqih utama.
-            Penyusunan yang lebih terperinci.
-            Penyelidikan.
-            Penulisan “muqaddimah”.













MATERI 3
Fungsi Qawaidul Fikhiyah
1.    Pengertian Qowa’idul Fikhiyah
Qawaid merupakan bentuk jamak dari qaidah, yang kemudian dalam bahasa Indonesia disebut dengan istilah kaidah yang berarti aturan atau patokan. Ahmad warson menembahkan bahwa, kaidah bisa berarti al-asas (dasar atau pondasi), al-Qanun (peraturan dan kaidah dasar), al-Mabda’ (prinsip), dan al-nasaq (metode atau cara). Hal ini sesuai dengan firman Allah dalam surat An-Nahl ayat 26 yang artinya:
Allah akan menghancurkan rumah-rumah mereka dari pondasinya”. (Q.S. An-Nahl : 26)
 Sedangkan  dalam  tinjauan   terminologi kaidah  punya  beberapa   arti,   menurut Dr. Ahmad asy-syafi’i dalam buku Usul Fiqh Islami, mengatakan bahwa kaidah itu adalah :
“Kaum yang bersifat universal (kulli) yang diakui oleh satuan-satuan hukum juz’i yang banyak”
Sedangkan mayoritas Ulama Ushul mendefinisikan kaidah dengan :
“Hukum   yang   biasa   berlaku    yang   bersesuaian   dengan   sebagian   besar bagiannya”.
Sedangkan arti fiqh secara etimologi lebih dekat dengan ilmu, sebagaimana yang banyak dipahami, yaitu : “Untuk memperdalam pengetahuan mereka tentang agama
    (Q.S. At-Taubat : 122)
Dan juga Sabda Nabi SAW, yaitu :
Barang siapa yang dikehendaki baik oleh Allah niscaya diberikan kepadanya kepahaman dalam agama.”
Sedangkan menurut istilah Fiqh adalah ilmu yang menerangkan hukum-hukum syara’ yang bersifat amaliyah (praktis) yang diambilkan dari dalil-dalil yang tafsili (terperinci).
Jadi, dari semua uraian di atas dapat disimpulkan, bahwa Qawaidul fiqhiyah adalah “Suatu perkara kulli (kaidah-kaidah umum) yang berlaku pada semua bagian-bagian atau cabang-cabangnya yang banyak yang dengannya diketahui hukum-hukum cabang itu”.
Dari pengertian di atas dapat diketahui bahwa setiap kaidah fiqhiyah telah mengatur beberapa masalah fiqh dari berbagai bab.
2.    Fungsi Qawaidul Fikhiyah dalam Penetapan Hukum Islam
       Secara global manfa‟at yang diperoleh pelajar yang mempelajari qawaid al-fiqhiyyah antara lain:
·         Dapat menyesuaikan persoalan yang masih rinci dengan menggunakan qawid fiqhiyyah.
·         Mempeermudah untuk memahami permasalahan yang ada pada setiap mazhab.
·         Membantu ahli fiqih untuk mengistinbathkan suatu hukum. 
·         Bisa membantu untuk mengetahui maqhaasid as-syari’ah dan rahasia-rahasianya.
·         Ahli Fiqih bisa memcahkan suatu permasalahan yang kontradiktf.
·         Mempermudah seorang pelajar untuk bisa membandingkan antara mazhab dengan mazhab yang lain.
Dari beberapa fungsi qawaid fiqhiyyah diatas, dapat di beri contoh bahwasannya ketika seorang faqih (ahli fiqih) dan pelajar pada umumnya sudah menguasai qawaid fiqhiyyah secara keseluruhan, maka telah sempurnalah kemampuan dalam memahami syariat agama atau bisa disebut ahli fiqih yang telah sempurna keilmuannya. Qawaid Fiqhiyah adalah salah satu cabang dari ilmu syariat, dimana ia memiliki fungsi yang sangat penting bagi pembinaan hukum Islam.
 Fungsi Qawaid Fiqhiyah itu sendiri adalah :
·         Untuk menghadirkan berbagai macam hukum.
·         Untuk menunjukkan bahwa hukum-hukum yang sama illatnya meskipun berbeda- beda merupakan satu jenis illat dan maslahat.
·         Untuk memudahkan dalam mengetahui hukum perbuatan seorang mukallaf. Dari fungsi-fungsi diatas dapat disimpulkan bahwa dengan adanya qawaid fiqhiyyah kita bisa mengetahui segala bentuk hukum secara lebih mendalam tidak hanya melihat secara tekstual, dan dengan qawaid fiqhiyyah ini kita bisa menggali berbagai macam hukum furuiyyah secara lebih mendalam.










MATERI 4
Karakteristik Qawaidul Fikhiyah
Menurut Ali al-Nadawi, Imam Syihab al-Din al-Qarafi merupakan ulama yang pertama kali membedakan antara kaidah ushuliyyah dan kaidah fiqhiyah. Al-Qarafi menegaskan bahwa syariah yang agung diberikan Allah kemuliaan dan ketinggian melalui ushul dan furu’. Adapun ushul dari syariah tersebut ada dua macam. Pertama, ushul fiqh. Ushul fiqh memuat kaidah-kaidah istinbath hukum yang diambil dari lafal-lafal berbahasa Arab. Diantara yang dirumuskan dari lafal bahasa Arab itu kaidah tentang nasakh, tarjih, kehendak lafal amar untuk wajib dan kehendak lafal nahi untuk menunjukkan haram, dan sighat khusus untuk maksud umum. Kedua, al-qawaid fiqhiyyah yang bersifat kulli (umum). Jumlah kaidah tersebut cukup banyak dan lapangannya luas yang mengandung rahasia-rahasia dan hikmah syariat. Setiap kaidah diambil dari furu’ yang terdapat dalam syariah yang tidak terbatas jumlahnya. Hal itu tidak disebutkan dalam kajian ushul fiqh, meskipun secara umum mempunyai isyarat yang sama, tetapi berbeda secara perinciannya.
Dalam penilaian Ibn Taimiyyah, ada perbedaan mendasar antara qawaid ushuliyyah dengan qawaid fiqhiyah. Qawaid ushuliyyah membahas tentang dalil-dalil umum. Sementara qawaid fiqhiyah merupakan kaidah-kaidah yang membahas tentang hukum yang bersifat umum. Jadi, qawaid ushuliyah membicarakan tentang dalil-dalil yang bersifat umum, sedangkan qawaid fiqhiyah membicarakan tentang hukum-hukum yang bersifat umum.                                                                               
       Perbedaan al-qawaid fiqhiyah dan kaidah ushul fiqh secara lebih rinci dan jelas dapat diamati dalam uraian di bawah ini:
1.  Qawaid ushuliyyah adalah kaidah-kaidah bersifat kulli (umum) yang dapat diterapkan pada semua bagian-bagian dan objeknya. Sementara qawaid fiqhiyah adalah himpunan hukum-hukum yang biasanya dapat diterapkan pada mayoritas bagian-bagiannya. Namun, kadangkala ada pengecualian dari kebiasaan yang berlaku umum tersebut.
2.    Qawaid ushuliyyah atau ushul fiqh merupakan metode untuk mengistinbathkan hukum secara benar dan terhindar dari kesalahan. Kedudukannya persis sama dengan ilmu nahwu yang berfungsi melahirkan pembicaraan dan tulisan yang benar. Qawaid ushuliyyah sebagai metode melahirkan hukum dari dalil-dalil terperinci sehingga objek kajiannya selalu berkisar tentang dalil dan hukum. Misalnya, setiap amar atau perintah menunjukkan wajib dan setiap larangan menunjukkan untuk hukum haram. Sementara qawaid fiqhiyah adalah ketentuan (hukum) yang bersifat kulli (umum) atau kebanyakan yang bagian-bagiannya meliputi sebagian masalah fiqh. Objek kajian qawaid fiqhiyah selalu menyangkut perbuatan mukallaf.
3.    Qawaid ushuliyyah sebagai pintu untuk mengistinbathkan hukum syara’ yang bersifat amaliyah. Sementara qawaid fiqhiyah merupakan himpunan sejumlah hukum-hukum fiqh yang serupa dengan ada satu illat (sifat) untuk menghimpunnya secara bersamaan. Tujuan adanya qawaid fiqhiyah untuk menghimpun dan memudahkan memahami fiqh.
4.    Qawaid ushuliyah ada sebelum ada furu’ (fiqh). Sebab, qawaid ushuliyyah digunakan ahli fiqh untuk melahirkan hukum (furu’). Sedangkan qawaid fiqhiyah muncul dan ada setelah ada furu’ (fiqh). Sebab, qawaid fiqhiyah berasal dari kumpulan sejumlah masalah fiqh yang serupa, ada hubungan dan sama substansinya.
5.    Dari satu sisi qawaid fiqhiyah memiliki persamaan dengan qawaid ushuliyyah. Namun, dari sisi lain ada perbedaan antara keduanya. Adapun segi persamaannya, keduanya sama-sama memiliki bagian-bagian yang berada di bawahnya. Sementara perbedaannya, qawaid ushuliyyah adalah himpunan sejumlah persoalan yang meliputi tentang dalil-dalil yang dapat dipakai untuk menetapkan hukum. Sedangkan qawaid fiqhiyah merupakan himpunan sejumlah masalah yang meliputi hukum-hukum fiqh yang berada di bawah cakupannya semata.













MATERI 5
Kaidah Fikhiyah Pertama
1.    Pengertian Qaidah
الأمور بمقاصدها
“Setiap Perkara Dinilai Berdasarkan Niat.”
Kaidah pertama daripada kaidah asas yang lima ini menentukan bagaimana sesuatu perkara itu dilakukan. Ini bermaksud tiap-tiap perkara itu menurut tujuannya atau berdasarkan niatnya. Oleh itu, amalan-amalan yang dilakukan oleh mukallaf ditentukan oleh niatnya.
Al Umur (الأمور) : Yaitu lafadz  umum yang merangkumi semua tindakan yang terhasil dari seorang manusia sama dengan melakukankan  atau meninggalkan. Ia juga meliputi  perbuatan, kata-kata atau pun niat. Oleh itu setiap tindakan atau sesuatu yang keluar dari seseorang manusia adalah terikat dengan apa yang diniatkan untuk diberi pahala atau dosa
2.    Dalil Dan Sumber Pembentukan
Asal kaidah ini diambil daripada Firman Allah SWT:  
وَمَا اُمِرُوُ اِلَّا لِيَعْبُدُ اللّٰهَ مُخْلِصِيْنَ لَهُ الدِّيْنَ
Artinya : “Dan mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama yang lurus (jauh dari syirik dan jauh dari kesesatan)”. (QS. Al bayyinah:5).
Dan dalam surat Al-imran :145
وَمَنْ يُرِدْ ثَوَابَ الدُّنْيَا نُؤْتِهِ مِنْهَا وَمَنْ يُرِدْ ثَوَابَ الاٰخِرَةِ نُؤْتِهِ مِنهَا
Artinya: “Barang siapa menghendaki pahala dunia, niscaya kami berikan kepadanya pahala dunia itu, dan barang siapa menghendaki pahala akhirat, kami berikan (pula) kepadanya pahala akhirat itu”.
sabda Nabi, antaranya :
عن أمير المؤمنين أبي حفص عمر بن الخطاب رضي الله تعالى عنه قال : سمعت رسول الله صلى الله تعالى عليه وعلى آله وسلم يقول:  إِنَّمَا الأَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ ، وَإِنَّمَا لِكُلِّ امْرِئٍ مَا نَوَى ، فَمَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ إِلَى دُنْيَا يُصِيبُهَا أَوْ إِلَى امْرَأَةٍ يَنْكِحُهَا فَهِجْرَتُهُ إِلَى مَا هَاجَرَ إِلَيْهِ
Sesungguhnya setiap perbuatan itu berdasaran niat, dan sesungguhnya bagi setiap orang apa yang diniatkannya. Barang siapa yang berhijrah karena Allah dan Rasul-Nya maka hijrahnya itu karena Allah dan Rasul-Nya. Barang siapa yang berhijrah karena dunia yang ingin diperolehnya, atau siapa yang berhijrah karena wanita yang ingin dikawininya. Maka hijrahnya itu berdasarkan apa yang ia hijrahkannya. (HR Muslim)
إِنَّهُ لاَ عَمَلَ لِمَنْ لاَ نِيَّةَ لَهُ
“Sesungguhnya tidak beramalan siapa yang tidak berniat”. (HR al-Baihaqi).
عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- : « إِنَّمَا يُبْعَثُ النَّاسُ عَلَى نِيَّاتِهِمْ
 “Sesungguhnya manusia akan dibangkitkan berdasarkan niatnya.” (HR Ibn Majah).
  Oleh karena itu, niat menjadi syarat utama sah atau batal sesuatu perkara itu atau diberi pahala atau dosa. Untuk itu, amalan yang tidak disertai niat tidak mendatang kesan apa-apa.
3.    Tujuan Niat
Tujuan  utama disyariatkan niat ialah untuk membedakan perbuatan yang dilakukan sama adanya karena ibadah ataupun  adat. Contohnya:
a.     Seseorang yang megambil wudlu’ atau meratakan air keseluruh tubuhnya. Perbuatan tersebut kemungkinan untuk membersihkan tubuhnya yang kotor  atau menyejukkan tubuhnya dihari yang terik atau kemungkinan  juga karena karena tujuan  ibadah.
b.    Seseorang yang tidak menjamah makanan sejak dari pagi kemungkinan karena untuk diet, atau untuk menjaga kesehatannya atau kemungkinan dia sedang berpuasa.
c.   Seseorang yang sedang berada dalam  masjid kemungkinan ia masuk untuk merehatkan tubuhnya atau kemungkinan juga untuk beribadah.
d.  Seseorang yang menyerahkan sesuatu kepada seseorang berbentuk uang atau berupa makanan sama halnya dia memberikan sedekah atau hibah atau zakat.
e.  Seseorang yang  menyembelih binatang kemungkinan untuk menikmati dagingnya memakan daging binatang tersebut atau kemungkinan juga untuk tujuan lain.
4.    Qaidah – Qaidah Furu
Berdasarkan kepada kaidah pertama diatas dapat dipecahkan kepada beberapa kaidah lain yang lebih kecil.  Antaranya:
a.       ( عدم اشتراط النية فى عبادة لا تكون عادة أو لا تلتبس
      Tidak disyaratkan niat dalam mana-mana jenis ibadat yang ia bukan jenis adat, atau ia tidak akan kesamaran dengan yang lain. Contohnya seperti beriman kepada Allah, takut dan mengharap kepada-Nya, membaca al-Qur’an, dzikir. Hal ini karena bentuk amalan itu pun sudah berbeda dengan yang lain, tetapi diwajibkan niat pada membaca al-Qur’an apabila dinazarkannya bagi membedakan fardhu dengan yang lainnya. 
b.      ( اشتراط التعيين فيما يلتبس دون غيره
       Disyaratkan menentukan dalam mana-mana amalan yang mempunyai persamaan, tetapi tidak disyaratkan ta’yin pada amalan yang tidak mempunyai kesamaan dengan yang lain. Contohnya yang disyaratkan ta’yin ialah seperti shalat,  dan yang tidak diperlukan ta’yin adalah seperti taharah, haji dan umrah. 
c.       ( مالا يشترط التعرض له جماة وتفصيلا اذا عينه وأخطأ لم يضر
       “Sesungguhnya (perbuatan) yang tidak disyaratkan untuk dijelaskan, baik secara keseluruhan, maupun secara terperinci tidak disyaratkan untuk mengemukakan niat, maka bila dinyatakannya dan ternyata keliru, maka kekeliruannya itu tidak membahayakan (tidak membatalkan)”. Contohnya, Apabila seseorang imam yang sholat dengan niatnya sebagai imam dari Muhammad, padahal ma’mum di belakangnya adalah Mahmud. Maka sholatnya tidak batal sebab imam itu tidak harus menyatakan niatnya tentang siapa orang yang berma’mum di belakangnya.
d.      ( ما يشترط فيها التعيين فالخطأ فيه مبطل
      “Dalam amal yang disyaratkan menyatakan niat, maka kekeliruan pernyataan membatalkan amalnya”. Perbuatan yang apabila salah dalam niatnya, maka perbuatan itu menjadi batal. Contohnya, salah niat puasa kepada niat shalat atau sebaliknya, dan dari shalat zhuhur kepada ashar.
e.       (ما يجب التعرض له جملة ولا يشترط تعيينه تفصيلا اذا عينه وأخطأ ضر)
        Amalan-amalan yang wajib dita’arrudh baginya secara ringkas dan tidak disyaratkan ta’yinnya secara terperinci apabila dita’yinkan dan tersalah maka ia menjadi mudarat (batal). Contohnya, seseorang yang sembahyang jenazah dengan berniat si Zaid, kemudian ternyata  yang disembahyangkan itu Umar, atau ditentukan lelaki yang sebenarnya perempuan, maka terbatal sembahyang jenazah itu jika tidak disebutkan mayat itu.
f.       النية فى اليمين تخصص اللفظ العام ولا تعم الخاص)
       “Niat dalam sumpah mengkhususkan lafadz yang umum, dan tidak pula menjadikan umumnya lafadz yang khusus”. Apabila seseorang bersumpah bahwa ia tidak akan berbicara dengan seseorang, tetapi yang dimaksud orang tertentu yaitu Hambali, maka sumpah ini hanya berlaku pada Hambali saja, dan yang lain tidak.
g.      (مقاصد اللفظ على نية اللافظ الا فى موضع واحد وهو اليمين عندالقاضى
        Tujuan dan makna lafadz adalah dirujuk kepada  niat orang yang berlafadz kecuali satu masalah saja yaitu sumpah dihadapan hakim. Apabila ucapan seseorang itu dianggap sah atau tidak, itu tergantung dari maksud orang itu sendiri, yaitu apa maksudnya. Ini karena sumpah dihadapan hakim adalah berdasarkan kepada niat hakim bukan karena mengikut niat orang yang bersumpah.
h.      (العبرة فى العقود للمقا صد والمعاني لا للالفاظ والمعاني
       “Yang dianggap dalam aqad adalah maksud-maksud, bukan lafadz-lafadz dan bentuk-bentuk perkataan”. Tidak sahnya berpegang kepada harfiyah lafadz apabila terbukti bahwa maksud dan niat bukan sebagai yang dilafadzkan itu. Contohnya, apabila seseorang berkata “aku beli dari engkau sehelai baju yang sifatnya sekian-sekian dengan harga ini”. Lalu dijawab oleh penjual, “ya, aku jualkannya kepada engkau”.














MATERI 6
Kaidah Fikhiyah Kedua
1.    Pengertian Qaidah
الْيَقِينُ لَا يُزَالُ بِالشَّكِّ
            “ Keyakinan tidak bisa hilang dengan adanya keraguan “
     Kaidah fikih yang kedua adalah kaidah tentang keyakinan dan keraguan.  اليَقِيْنُ secara bahasa adalah kemantapan hati atas sesuatu. Al-Yaqin juga bisa dikatakan pengetahuan dan tidak ada kearguan didalamnya. Ulama sepakat dalam mengartikan Al-Yaqin yang artinya pengetahuan dan merupakan antonym dari Asy-Syakk. Sedangkan menurut istilah:
1.     Menurut Imam Al-Jurjani Al-Yaqin adalah ”meyakini sesuatu bahwasanya ”begini” dengan berkeyakinan bahwa tidak mungkin ada kecuali dengan ”begini” cocok dengan realita yang ada, tanpa ada kemungkinan untuk menghilangkannya”.
2.       Imam Abu Al-Baqa’ Al-Yaqin adalah ”pengetahuan yang bersifat tetap dan pasti dan dibenarkan oleh hati dengan menyebutkan sebab-sebab tertentu dan tidak menerima sesuatu yang tidak bersifat pasti”.
3.      As-Suyuthi menyatakan Al-Yaqin adalah ”sesuatu yang tetap dan pasti yang dapat dibuktikan melalui penelitian dan menyertakan bukti-bukti yang mendukungnya”.
     Adapun الشَكُّ secara bahasa artinya adalah keraguan. juga bisa diartikan dengan sesuatu yang membingungkan. Sedangkan menurut istilah:
1.      Menurut Imam Al-Maqarri Asy-Syakk adalah ”sesuatu yang tidak menentu (meragukan) antara ada atau tidak ada”.
2.       Menurut Imam Al-Jurjani Asy-Syakk adalah ”sesuatu yang tidak menentu (meragukan) antara sesuatu yang saling berlawanan, tanpa dapat dimenangkan salah satunya”.
     Maksudnya adalah apabila terjadi sebuah kebimbangan antara dua hal yang mana tidak bisa memilih dan menguatkan salah satunya, namun apabila bisa menguatkan salah satunya maka hal itu tidak dinamakan dengan الشَكُّ.
     Kaidah ini sama dengan asas praduga tak bersalah (presumption of innocent) dalam hukum Barat. Selain  itu, secara moral, seorang muslim harus memiliki husnu zhan (berprasangka baik) sebelum ada bukti yang meyakinkan bahwa dia tidak baik.
Adapun yang yang dimaksud dengan ( yakin ) ialah:
اليقين هو ما كان ثابتا بالنظر والدليل
“Sesuatu yang menjadi tetap dengan karena penglihatan atau dengan adanya dalil”
Sedangkan yang dimaksud ( syak ) ialah:
الشك هو ما كان مترددا بين الثبوت وعد مه مع تساوي طرفي الصواب والخطإ دون ترجيح أحدهما على الأخر
“Sesungguhnya pertentangan antara tetap dan tidaknya, di mana pertentangan tersebut sama antara batas kebenaran dan kesalahan, tanpa ditarjihkan salah satunya”.
     Jadi maksud kaidah ini ialah: apabila seseorang telah meyakini terhadap suatu perkara, maka yang telah diyakini ini tidak dapat dihilangkan dengan keragu-raguan (hal-hal yang masih ragu-ragu). Mengenai keragu-raguan ini, menurut asy-Syaikh al-Imam Abu Hamid al-Asfirayniy, itu ada tiga macam, yaitu:
1.      Keragu-raguan yang berasal dari haram.
2.      Keragu-raguan yang berasal dari mubah.
3.      Keragu-raguan yang tidak diketahui pangkal asalnya atau syubhat.
     Dari uraian diatas maka dapat diperoleh pengertian secara jelas bahwa sesuatu yang bersifat tetap dan pasti tidak dapat dihapus kedudukannya oleh keraguan. Sebagai penjelasan lebih lanjut الأصل براءة الذمة (hukum asal sesuatu itu adalah terbebas seseorang dari beban tanggung jawab) sehingga al-yaqin bukan termasuk sesuatu yang terbebankan.
2.    Dalil Dan Sumber Pembentukan
     Adapun dasar-dasar pengambilan kaidah asasiyyah yang kedua ini mengenai keyakinan dean keraguan, antara lain sebagai berikut:
     Sebagaimana yang dikutip oleh Muchlis Usman, bahwa Nabi Muhammad SAW bersabda, yang diriwayatkan oleh Imam Muslim yang artinya: “ Dari Abu Hurairah berkata : Rosululloh bersabda : “Apabila salah seorang diantara kalian merasakan sesuatu dalam perutnya, lalu dia kesulitan menetukan apakah sudah keluar sesuatu (kentut) ataukah belum, maka jangan membatalkan sholatnya sampai dia mendengar suara atau mencium bau.” (HR. Muslim).
3.    Qaidah – Qaidah Furu
Kaidah asasiyyah tentang keyakinan dan keraguan ada 11 (sebelas) yang merupakan sub-sub dari kaidah tersebut, yaitu:
·      “ Apa yang yakin bisa hilang karena adanya bukti lain yang meyakinkan pula” Maksudnya apabila telah meyakini sesuatu kemudian ada bukti yang lebih meyakinkan tentang hal tersebut, maka keyakinan kedua lah yang dianggap benar. Contoh: Seseorang yang berkendaraan pada waktu hujan, kemudian dia terkena percikan air hujan yang sudah tercampur dengan air di jalan yang kemungkinan bahwa air itu najis, maka dia tidak wajib mencuci kaki atau baju yang terkena air tersebut, karena pada dasarnya air adalah suci, kecuali kalau ada bukti kuat bahwa air itu najis.
·      “ Apa yang ditetapkan atas dasar keyakinan tidak bisa hilang kecuali dengan keyakinan lagi” Dalam kaidah ini berhubungan dengan jumlah bilangan, apabila seseorang ragu, maka bilangan yang terkecil itulah yang meyakinkan. Contoh: Seseorang makan gorengan sambil berkumpul dengan teman-temannya, kemudian dia ragu sudah memakan 3 atau 4 gorengan, maka bilangan yang 4 lah yang meyakinkan,karena ini berhubungan dengan mualamalah atau hubungan sesama manusia, sebab jika kita memilih bilangan sedikit, dikhawatirkan akan termakan hak orang lain, tetapi jika keraguan dalam masalah ibadah kepada Allah SWT seperti bilangan shalat, apakah sudah 3 rakaat atau 4 rakaat, maka bilangan terkecillah yang kita ambil sebab ini adalah masalah pelaksanaan kewajiban kita sebagai hamba-Nya dan untuk kehati-hatian kita .
·       “ Hukum asal adalah bebasnya seseorang dari tanggung jawab” makna tersebut pada dasarnya manusia dilahirkan dalam keadaan bebas dari tuntutan, baik yang berhubungan dengan hak Allah maupun dengan hak Adami. Jadi sesuatu bebas dari tanggungan sampai ada yang mengubahnya. Contoh: Seseorang bebas dari tanggung jawabnya sebagai mahasiswa, sampai dia benar-benar masuk sebuah universitas dan terdaftar sebagai mahasiswa.           
·       “ Hukum asal itu tetap dalam keadaan tersebut selama tidak ada hal lain yang mengubahnya” Keadaan dalam contoh sebelumnya bisa terjadi perubahan lagi, manakala ada unsur lain yang mengubahnya. Mislanya, mahasiswa bebas lagi dari tugas dan kewajibannya sebagai mahasiswa ketika dia telah lulus atau menyelesaikan sekolahnya. Contoh lainnya, seseorang yang telah berwudhu, akan tetap dalam keadaan berwudhu, sampai adanya bukti bahwa ia telah batal. Dengan adanya bukti batal tersebut, maka berubahlah hukum masihnya ia dalam keadaan berwudhu.
·       “ Hukum asal adalah ketiadaan” Contoh: Andi membeli play station, kemudian dia berselisih dengan penjual bahwa play station yang dibelinya ternyata rusak, maka dalam masalah ini yang menang adalah penjual, karena waktu pembeliaan play station ini sudah dicoba terlebih dahulu dan dalam keadaan baik.
·       “ Hukum asal adalah penyandaran suatu peristiwa kepada waktu yang lebih dekat kejadiannya” Kaidah tersebut terdapat dalam kitab-kitab mazhab Hanafi. Sedangkan dalam kitab-kitab mazhab Syafi’I, meskipun substansinya sama tetapi ungkapannya berbeda, yaitu: “ Hukum asal dalam segala peristiwa adalah terjadi pada waktu yang paling dekat kepadanya” Apabila terjadi keraguan karena perbedaan waktu dalam suatu peristiwa, maka hukum yang ditetapkan adalah menurut waktu yang paling dekat kepada peristiwa tersebut, karena waktu yang paling dekat yang menjadikan peristiwa itu terjadi. Contoh: Seseorang menjalani operasi ginjal, setelah itu dia sehat dan dapat menjalani aktifitas sehari-harinya seperti biasa, kemudian selang beberapa bulan dia meninggal dunia, maka meninggalnya orang tersebut bukan karena terjadi operasi, tetapi dikarenakan suatu hal dan sebagainya.
·       “ Hukum asal segala sesuatu itu adalah boleh sampai ada dalil yang menunjukkan keharamannya” Maksudnya selama belum adanya dalil yang menjadikan sesuatu itu haram, maka hukumnya adalah boleh. Di kalangan mazhab Hanafi ada pula kaidah:  “ Hukum asal segala sesuatu adalah larangan (haram)”. Kemudian oleh para ulama, kaidah tersebut dikompromikan menjadi dua kaidah dalam bidang hukum yang berbeda, yaitu kaidah: “ Hukum asal segala sesuatu itu adalah kebolehan sampai ada dalil yang menunjukkan keharamannya”. Contoh: Tentang binatang cacing, misalnya seseorang memakan atau memperjualbelikan cacing. Karena pada dasarnya semua hukum itu adalah mubah, maka dalam hal ini pun diperbolehkan untuk melaksanakan kegiatan tersebut sampai adanya dalil yang menyatakan keharamannya. Kaidah ini hanya berlaku untuk bidang fiqih muamalah, sedangkan untuk fikih ibadah digunakan kaidah: “ Hukum asal dalam ibadah mahdah adalah batal sampai ada dalil yang memerintahkannya” Contoh: Kita telah mengetahui bahwa tiap-tiap shalat memiliki jumlah rakaat masing-masing. Maka tidak boleh kita merubahnya, misalkan shalat isya yang 4 rakaat menjadi 3 rakaat saja, karena masalah ibadah itu sudah ada ketetapannya dari Allah SWT. Imam Syafi’I berpendapat : “ Allah itu Maha Bijaksana, jadi mustahil Allah menciptakan sesuatu, lau mengharamkan atas hamba-Nya”. Sedangkan Imam Abu Hanifah berkata bahwa: “ Memang Allah Maha Bijaksana, tetapi bagaimanapun segala sesuatu itu adalah milik Allah Ta’ala sendiri. Jadi kita tidak boleh menggunakannya sebelum ada izin dari Allah.
·        “ Hukum asal dari suatu kalimat adalah arti yang sebenarnya”. Kaidah ini memberI maksud bahwa dalam suatu kalimat, harus diartikan kepada arti yang hakikat atau arti yang sebenarnya. Yakni sebagaimana yang dimaksudkan oleh pengertian yang hakiki.  Jadi, makna dari sebuah kata yang diungkapkan haruslah arti yang sebenarnya. Contoh: Seorang pengusaha kaya akan menghibahkan sebuah rumah dan kendaraan kepada bapak si Jodi yang telah berjasa dalam mengelola usahannya. Jadi bapak dalam kalimat itu adalah ayah kandung dari Jodi, bukan ayah angkat ataupun ayah tirinya Jodi.
·        “ Tidak dianggap (diakui), persangkaan yang jelas salahnya” Contoh: Apabila seorang anak yang berhutang sudah melunasi semua hutangnya, lalu si ayah dari penghutang juga membayarkan hutang anaknya tadi, karena si ayah menyangka belum dibayar. Maka si ayah boleh meminta uangnya kembali, karena ada persangkaan yang salah.
·        “ Tidak diakui adanya waham (kira-kira)”. Maksudnya adalah dalam suatu hal, kita tidak menggunakan perkiraan. Contoh: Seseorang yang meninggal dunia dan memiliki harta warisan yang banyak, kemudian harta tersebut dibagi kepada ahli warisnya. Tentang harta lain yang dikira-kira ada barangnya, tidak diakui karena hanya berupa perkiraan saja.
·        “ Apa yang ditetapkan berdasarkan waktu, maka hukumnya ditetapkan berdasarkan berlakunya waktu tersebut selama tidak ada dalil yang bertentangan dengannya”. Contoh: Seseorang yang pergi ke luar negeri sebagai Tenaga Kerja Indonesia (TKI), kemudian lama tidak terdengar kabar beritanya, maka dia tetap dinyatakan masih hidup. Karena berdasarkan pada keadaan saat dia berangkat, yakni dalam keadaan masih hidup.











MATERI 7
Kaidah Fikhiyah Ketiga
1.    Pengertian Qaidah
اَلضُّرَرُيُزَالُ
Kemudharatan harus dihilangkan.” 
      Maksudnya ialah jika sesuatu itu dianggap sedang atau akan bahkan memang menimbulkan kemadharatan, maka keberadaanya wajib dihilangkan.
Yang dimaksud “darurat” ialah suatu keadaan yang bisa berakibat fatal jika tidak diatasi dengan cara yang luar biasa dan bahkan terkadang dengan cara melanggar hukum. Sedangkan yang dimaksud “hajat” ialah suatu keadaan biasa tidak diperkenankan menanganinya secara khusus, bisa timbul kesukaran dan kerepotan. Dan faktor inilah inilah, maka kaidah ketiga dipakai, yaitu:
اَلْمَشَقَّةُ تَجْلِيبُ التَّيسِيْر
“Kesukaran itu melahirkan kemudahan.”
2.    Dalil Dan Sumber Pembentukan
Dalam surat Al-Baqarah ayat 231 yang artinya: janganlah kamu rujuki mereka untuk memberi kemudharatan.”(al-Baqarah: 231)
Hadits Nabi SAW yang artinya “Tidak boleh membuat kerusakan pada diri sendiri serta kerusakan pada orang lain. (HR. Ahmad dan Ibnu Majah dari Ibnu Abbas).
3. Qaidah – Qaidah Furu
Kaidah Asasiyyah terdapat 10 (sepuluh) kaidah yang merupakan sub-sub kaidah tersebut, yaitu:
1.        Teori Pertama
“Kemadharatan itu membolehkan yang dilarang”
     Di kalangan Ulama Ushul, yang dimaksud dengan keadaan darurat yang membolehkan seseorang melakaukan hal-hal yang dilarang adalah kadaan yang memenuhi syarat sebagai berikut:
a)      Kondisi darurat itu mengancam jiwa dan anggota badan.
 b)      Keadaa darurat hanya dilakukan sekedarnya dalam arti tidak melampaui batas.
c)      Tidak ada jalan lain yang halal kecuali dengan melakukan yang dilarang.
Adapun dasar pijakannya adalah firman Allah dalam surat Al-Baqarah ayat 173 yang artinya:
“Tetapi Barangsiapa dalam Keadaan terpaksa (memakannya) sedang Dia tidak menginginkannya dan tidak (pula) melampaui batas, Maka tidak ada dosa baginya. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (al-Baqarah: 173)
Dengan adanya dasar al-Qur’an tersebut, maka dalam keadaan terpaksa, seseorang boleh diperbolehkan melakukan suatu perbuatan yang dalam kebiasaannya melakukannya, kemungkinan besar sekali menimbulkan kemadhatratan pada dirinya. Oleh sebab itu, maka kaidah-fiqih tersebut merupakan pengecualian syariah yang bersifat umum (general law), artinya orang haram hukum melakukan hal-hal yang telah diharamkan atau dilarang oleh agama.
Contohnya: Diibaratkan disuatu desa ada seorang ibu-ibu yang akan melahirkan namun, sudah dalam keadaan kondisi yang sangat kritis sedangkan di desa tersebut tidak ada seorang bidan dan hanya seorang dokter laki-laki. Maka hal seperti itu yang dibolehkan bagi dokter laki-laki tersebut melihat kemaluan dari pada pasien tersebut.
2.   Teori Kedua
“Sesuatu yang diperbolehkan karena darurat, harus diperkirakan menurut batasan ukuran kebutuhan minimal.”
   Kaidah diatas sesungguhnya membatasi manusia dalam melakukan yang dilarang karena kondisi darurat. Seperti telah dijelaskan melakukan yang haram karena darurat tidak boleh melampaui batas, tetapi hanya sekedarnya.
  Oleh sebab itu, jika kemudharatan atau keadaan yang memaksa tersebut sudah hilang, maka hukum kebolehan yang berdasarkan kemudharatan menjadi hilang juga, artinya perbuatan boleh kembali keasal semula, yaitu terlarang.
Dari adanya kaedah tersebut, maka muncul kaedah sebagai berikut: “Apa saja kebolehannya karena ada alasan kuat (uzur), maka hilangnya kebolehan itu disebabkan oleh hilangnya alasan.” Contoh: Diibaratkan seorang dokter laki-laki yang sedang memeriksa pasien perempuan. Maka bagi dokter tersebut hanya boleh memriksa (melihat) bagian yang sakitnya saja, dan tidak diperbolehkan (melihat) yang lainnya.
3.     Teori Ketiga
“Kemudharatan itu harus ditinggalkan sedapat mungkin.” Maksud dari kaidah ini ialah, kewajiban menghindarkan terjadinya suatu kemudharatan, atau dengan kata lain, kewajiban melakukan usaha-usaha preventif agar terjadi suatu kemudharatan, dengan segala daya upaya mungkin dapat diusahakan. Contoh: Diibaratkan seseorang dokter yang akan melakukan operasi kepada pasiennya dengan menggunakan obat-obatan terlarang (narkoba) sebagai obat bius. Namun, disitu masih ada obat yang tidak mengandung (narkoba). Maka, dokter tersebut tidak boleh memberikan  obat bius yang mengandung obat-obatan terlarang tersebut.
4.    Teori Keempat
 “Kemudharatan tidak bisa hilang dengan kemudharatan lain.”
   Maksud kaidah itu adalah kemudharatan tidak boleh dihilangkan dengan cara melakukan kemudharatan yang lain yang sebanding keadaannya. Contoh: Diibaratkan seorang pasien yang memiliki penyakit ginjal, sedang si pasien tersebut ingin menyumbangkan salah satu ginjalnya untuk pasien yang lain dengan alasan ingin menolongnya.
5.      Teori Kelima
 “Jika terjadi pertentangan antara dua macam mufsadat, maka harus diperhatikan mana yang lebih besar bahayanya dengna melakukan yang lebih ringan.”
    Maksud kaidah ini, manakala pada suatu ketika datang secara bersamaan dua mufsadat atau lebih, maka harus diseleksi, manakah diantara mufsadat itu yang lebih kecil ata lebih ringan. Setelah diketahui, maka yang mudharatnya lebih besar atau lebih berat harus ditinggalkan dan dikerjakan yang lebih kecil atau yang lebih ringan mudharatnya.
6.   Teori Keenam
 “Kemudharatan yang lebih berat dihilangkan dengan kemudharatan yang lebih ringan.
      Contoh: Diibaratkan ada seorang anak laki-laki remaja yang mempunyai nafsu (seks) yang sangat tinggi dan dia tidak tahan bila mana melihat seorang wanita yang memakai pakaian seksi. Maka dibolehkan bagi anak laki-laki tersebut untuk melakukan onani demi menjaga kehormatannya dari pada dia melakukan suatu perjinahan.
7.   Teori Ketujuh
“Kemudharatan itu tidak dapat dibiarkan karena dianggap telah lama terjadi.”

    Maksud kaidah diatas adalah, kemudharatan itu harus dihilangkan dan tidak boleh dibiarkan terus berlangsung dengan alasan kemudharatan tersebut telah ada sejak dahulu. Contoh: Diibaratkan ada sesorang yang sangat senang berbohong (membohongi orang lain) sampai-sampai dia dianggap sebagai pembohong. Maka, orang tersebut harus dinasehati/ditegur supaya dia sadar akan kesalahannya tersebut.
8.    Teori Kedelapan
     “Kedudukan kebutuhan itu menempati kedudukan darurat baik umum maupun khusus.”
        Menurut kaedah ini, kejahatan yang sangat mendesak, dapat disamakan dengan keadaan darurat. Apalagi kalau kebutuhan itu bersifat umum, niscaya berubah menjadi darurat. Contoh: Diibaratkan Pemerintah yang memiliki rencana akan melakukan pelebaran jalan demi mengurangi kecelakaan lalu lintas karena sudah sangat ramai, maka dari itu pemerintah berencana akan membongkar sebagian rumah warga. Hal tersebut dibolehkan demi kepentingan orang banyak.
9.   Teori Kesembilan
 “Setiap keringanan yang dibolehkan karena darurat atau karena al-hajah, tidak boleh dilaksanakan sebelum terjadinya kondisi darurat atau al-hajah.
      Dhabith di atas ditemukan dalam kitab al-Isyraf karya Qadhi Abd al-Wahab al-Malik. Sedangkan dalam kitab al-Asybah wa al-Nazha’ir, ada dhabith, yaitu:
al-Hajah apabila bersifat umum adalah seperti kondisi darurat.” Contoh: Diibaratkan seseorang yang bekerja dihutan, sedang pesangon (sembako) yang dibawanya telah habis dan pekerja tersebut dalam keadaan sangat kelaparan. Lalu pekerja tersebut mencari-cari makanan dihutan namun tidak menemukan satu pun makanan yang halal (bangkai-bangkai huwan yang masih segar (rusa, kancil)) maka, pekerja tersebut boleh memakannnya karena tidak ada lagi makanan yang halal.
10. Teori Kesepuluh
 “Setiap tindakan hukum yang membawa kemafsadatan atau menolak kemaslahatan adalah dilarang.”
Contoh: Diibaratkan seseorang yang merasa dia orang yang kaya namun, dia sangat senang menghambur-hamburkan uangnya (boros) tanpa ada manfaatnya.