BAB
I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Secara defenitif para ahli tafsir pada umumnya
menyebut al-Qur’ân sebagai: “Kalâmullâh (kata-kata Allah) yang diturunkan
melalui Malaikat Jibrîl kepada Nabi Muhammad Saw, yang disampaikan kepada kita
melalui rangkaian yang terpercaya (mutawâtir), tertulis dalam mush-haf.
Membacanya dinilai sebagai ibadah (berpahala). Al-Qur’ân juga sebuah mu’jizat,
yakni sesuatu yang luar biasa,di luar kemampuan manusia dan bahasanya tidak
bisa ditandingi (i’jâz)”.(Q.S. al Baqarah: 23) adalah keyakinan kaum
muslimin bahwa al-Qur’ân adalah wahyu Allah, kitab suci dan sumber paling utama
dan otoritatif bagi aktifitas kehidupan sehari-hari. Di dalamnya terkandung
seluruh aspek yang dibutuhkan bagi kehidupan kaum muslimin yang akan
mengantarkannya pada kesejahteraan hidup di dunia dan kebahagiaan di akhirat.
Al-Qur’ân menjelaskan semua hal hanyalah berarti
kitab suci ini mengemukakan prinsip-prinsip dasar, nilai-nilai moral dan
ketentuan-ketentuan umum. Sebagian besar menyampaikan kisah-kisah atau sejarah
kehidupan masyarakat sebelumnya. Ini semua dimaksudkan sebagai pelajaran,
contoh, bahan pemikiran (‘ibrah) bagi manusia. Ayat-ayat yang terkait dengan
persoalan-persoalan hukum, menurut Imam al-Ghazali, hanya dijelaskan dalam 500
ayat. Sementara persoalan-persoalan dan kasus kasus hukum tentu saja jutaan
bahkan tak terhitung. Imam Haramain mengatakan bahwa ayat-ayat hukum dibandingkan
dengan peristiwa-peristiwa kehidupan bagaikan satu ciduk air di antara air
lautan. Di sinilah maka penjelasan secara detail pertama-tama dilakukan oleh
hadits Nabi Muhammad saw yang biasa disebut as-Sunnah (tradisi Nabi). Al Qur’an
sendiri menyatakan fungsi Nabi ini. “Dan Kami menurunkan kepada engkau
(Muhammad) al Qur’an agar engkau menjelaskannya kepada mereka”.(Q.S. al Nahl,
16 :44). (Haramain, 1997: 162)
1.2 Tujuan
Masalah
1.3 Rumusan
Masalah
BAB II
PEMBAHASAN
2.1
Risalah (misi) Al-Qur’an
Al-Qur’ân memberikan pernyataan yang
sangat eksplisit bahwa ia adalah buku petunjuk, penuntun dan pembimbing bagi
manusia (hudan li an-nas) dan untuk menebarkan kerahmatan universal (rahmatan
li al ‘âlamîn). (Q.S. Al An’am, 6:157). Pernyataan ini menjelaskan kepada
kita bahwa al-Qur’ân adalah kitab (bacaan) yang terbuka bagi setiap akses
manusia untuk mengusahakan terwujudnya sistem kehidupan yang memberi rahmat dan
yang mensejahterakan. Pada umumnya kesejahteraan itu kemudian diartikan sebagai
kebahagiaan di dunia dan di akhirat. Terma kerahmatan mengandung di dalamnya
seluruh makna kebaikan. Dan ini tentu saja meniscayakan berlakunya nilainilai
dan norma-norma kemanusiaan seperti kasih sayang, cinta, keadilan, kesetaraan
dan kemaslahatan sosial. Nilai-nilai dan norma-norma kemanusiaan ini pada
dasarnya adalah wujud dan ekpresi dari keyakinan atau keimanan kepada
kemahaesaan Allah sebagai satu-satunya otoritas tertinggi atas alam semesta.
Al-Qur’ân memberikan respon positif
bahkan pandangan-pandangan yang appresiatif terhadap tradisi dan budaya lokal,
tetapi dalam waktu yang bersamaan ia juga mengemukakan pandangan-pandangan yang
sangat kritis sambil mengarahkannya pada konstruksi kebudayaan baru yang
didasari oleh cita-cita besar kemanusiaan sebagaimana sudah disebutkan. Dalam
bahasa lain teks-teks al-Qur’ân hadir untuk melakukan proses-proses
transformasi terhadap kebudayaan masyarakat Arab tanpa merusaknya secara total
dan revolusioner menuju terwujudnya konstruksi sosial baru yang lebih baik.
Gambaran secara umum kandungan al Qur’an memuat hal-hal atau
persoalan-persoalan yang berkaitan dengan ketauhidan (kemahaesaanTuhan),
kehidupan akhirat (eskatologis) dan hal-hal yang ghaib (metafisika) lainnya,
sejarah sosial bangsa-bangsa sebelumnya, peribadatan (ritus-ritus personal)
yang meliputi shalat, puasa zakat dan haji, hubungan antar manusia baik dalam
lingkup keluarga (hukum keluarga) maupun dalam lingkup sosial-ekonomi-politik,
etika sosial (akhlaq/ moral) dan relasi kemanusiaan lainnya.
Pada umumnya keseluruhan ayat al-Qur’ân
itu kemudian dibagi dalam tiga katagori, yakni keimanan (aqîdah), peribadatan
(ibâdah) dan Mu’âmalah (pergaulan sosial-kemanusiaan). Bidang
ketuhanan, keakhiratan (dimensi eskatologis) dan metafisis masuk dalam
katagori keimanan atau aqidah. Ini merupakan basis spiritualitas. Bidang ritual
personal disebut ibadah. Ini merupakan ekpresi keimanan individual. Dan bidang
hubungan antar manusia; domestik dan publik, disebut mu’amalat. Ini merupakan
ekspresi keimanan dalam relasi antar personal. Terhadap katagorisasi tersebut
adalah menarik untuk mengemukakan pandangan paradigmatik dari Syeikh Muhammad
Madani dalam buku ‘Mawâthin al-Ijtihâd’. Menurutnya, ayat-ayat al-Qur’ân (dan
hadits Nabi) yang membicarakan bidang aqidah disampaikan melalui gaya bahasa ikhbâr
(pemberitaan). Misalnya Tuhan itu Esa atau “Tidak ada Tuhan melainkan
Allah”. Atau “Tuhan telah menyediakan sorga untuk orang-orang yang beriman dan
beramal saleh”. Demikian pula kalimat “Muhammad adalah utusan Tuhan” Ini
merupakan kalimat berita yang kita terima melalui jalan yang meyakinkan. Tuhan
disebut sebagai mukhbir (pembawa berita). Ia menyampaikan segala sesuatu
menurut apa yang sebenarnya. Al-Qur’ân tidak menyuruh kita untuk menyelidiki
keesaan Allah wujud hari akhirat dan seterusnya. Beberapa etika sosial dan
nilai kemanusiaan yang disampaikan Nabi antara lain; ’adam azh-zhulm (tidak
bertidak zalim, menganiaya, tidak adil), ‘adam al-gharar (tidak menipu),
‘adam al-maisir (tidak mengandung perjudian), tidak merusak akal, at-tarâdhi
(saling menerima) atau ittifâq (kesepakatan) dan lain-lain. Terhadap
bidang terakhir ini kita mendapatkan ucapan Nabi saw yang menyatakan: “antum
a’lamu bi umûr dunyâkum” (kalian lebih tahu tentang urusan duniamu). Para ulama
kemudian menetapkan sebuah kaedah atau prinsip dasar; “al ashlu fi
al-mu’âmalah al-Ibâhah illâ in dalla ‘alâ hurmatih” (pada dasarnya dalam
urusan muamalah (pergaulan kemasyarakatan-kemanusiaan) adalah boleh kecuali ada
dalil (ketentuan yang mengharamkannya). Kaedah lain, “Al-Ashl fî al-uqûd
al-ma’âni lâ almabâni (ketentuan dasar dalam transaksi antar manusia adalah
kandungan maknanya bukan bentuk formalnya).
2.2
Makkiyyah dan Madaniyyah
Pengetahuan tentang asbab an-nuzul dengan begitu
menjadi sangat signifikan baik untuk mengetahui peristiwa apa yang terjadi
ketika sebuah ayat diturunkan maupun untuk mengetahui latar belakang
sosio-historis al-Qur’ân. Sebagaimana sudah dikemukakan di atas bahwa al-Qur’ân
diturunkan dalam dua periode, yaitu periode ketika Nabi di Makkah dan periode
ketika Nabi di Madinah. Teori tentang ayat-ayat Makkiyyah dan Madaniyyah dengan
pengertian sebagaimana dikemukakan di awal, memperlihatkan dengan jelas bahwa
teks-teks al-Qur’ân di arahkan pada dua konteks sosial dan audien yang berbeda
pada satu sisi dan pada konteks perkembangan risalah yang sedang terus berjalan
pada sisi yang lain. Sumber-sumber historis Arabia di Makkah menginfomasikan
kepada kita bahwa dari sisi keyakinan keagamaan umum masyarakat di sana
menganut paham politeisme atau musyrik dan pagan (kafir materialistik). Ini
berarti bahwa di samping mereka mengenal adanya Tuhan Allah mereka juga
menyembah benda-benda dan apa saja yang selain Dia. Dalam konteks ini al-Qur’ân
turun untuk membebaskan tradisi keyakinan tersebut dengan mengajak kepada
keyakinan monoteistik, tauhid (menyembah kepada Tuhan yang satu).
Keyakinan ini sesungguhnya pernah diajarkan nenek
moyang mereka Nabi Ibrahim dan Nabi Ismail, pembangun Ka’bah tempat di mana
mereka melakukan ritusritus keagamaan politeistiknya. Keyakinan Tauhid pada
intinya menekankan tentang absolusitas Tuhan sebagai pemegang otoritas atas
alam semesta termasuk manusia pada satu sisi, dan relatifitas manusia pada sisi
yang lain. Konsep ketauhidan dengan begitu tidak hanya berorientasi pada
dimensi transendensi belaka, melainkan lebih dari itu adalah dimensi pandangan
dunia, yakni relasi social-kemanusiaan. Dengan kata lain, Tauhid mengandung di
dalamnya arti pembebasan manusia dari penyembahan, pengagungan dan pengunggulan
manusia atas manusia atau manusia atas kekuasaan lain yang diciptakan manusia.
Ayat pertama al-Qur’ân yang diturunkan memperlihatkan kepada kita bagaimana
al-Qur’ân mengajak manusia, masyarakat Arab Makkah untuk memikirkan tentang
penciptaan manusia sekaligus menyebutkan Tuhan dan seterusnya. Pada titik
inilah manusia seharusnya (Abu Hâmid Al-Ghazâli, Al-Mustashfa min ‘Ilm
al-Ushûl, Maktabah al-Jundi, Mesir, tt, hal. 268) akan (dihapus) dapat meyakini
bahwa Tuhanlah satu-satunya yang harus diagungkan, disembah dan mereka adalah
makhluk Tuhan yang setara di hadapan-Nya. Pada aspek sosial-budaya, sejarah
Arabia dan teks-teks al-Qur’ân menginformasikan kepada kita tentang
praktik-praktik kehidupan yang diliputi oleh kegelapan atau kebodohan (jahiliyah).
Kegelapan dan kebodohan adalah metafora dari makna penindasan, kezaliman dan
ketidakmengertian akan makna kemanusiaan. Peperangan antar suku hampir terjadi
setiap hari. Praktik minum-minuman keras dan mempermainkan perempuan menjadi
kebiasaan. Poligami merupakan fenomena yang lumrah, dan seterusnya. Dalam
kaitannya dengan relasi laki-laki perempuan secara ringkas dapat dikemukakan
bahwa sistem atau struktur sosial Arabia adalah patriarkhis. Di atas sistem ini
segala keputusan dan kebenaran ditentukan oleh lakilaki. Kaum perempuan dalam
sistem ini menjadi tidak berharga, dimarginalkan dan sah untuk diapakan saja
oleh kaum laki-laki. Namun perlu dicatat bahwa apa yang diinformasikan
al-Qur’ân di atas adalah fenomena sosial-budaya mainstream. Dr. Abdullâh Darrâz
menyebutnya sebagai “ath-thâbi’ al-ghâlib” (budaya umum) . Praktik-praktik
kehidupan masyarakat Arabia pra Islam tersebut sesungguhnya warisan dan produk
tradisi dan budaya masyarakat Mesopotamia (Irak). Dalam Kode Hammurabi (sekitar
tahun 1752 S.M) tradisi-tradisi missoginis dan subordinasi perempuan tersebut
tampak terlihat dengan jelas10. Pada periode ini al-Qur’ân tidak secara
langsung dan eksplisit membatalkan praktik-praktik kebudayaan tersebut. Teks-teks
al-Qur’ân yang diturunkan lebih banyak berbicara tentang nilai-nilai
kemanusiaan universal, seperti tentang kesetaraan manusia, kebebasan, keadilan
dan penghargaan atas martabat manusia. Dengan begitu kita dapat menyimpulkan
bahwa Makkiyyah adalah periode peletakan dasar-dasar (fondasi) untuk membangun
struktur masyarakat baru. Pada umumnya teks-teks Makkiyyah menekankan tentang
ketauhidan, nilai-nilai kemanusian universal seperti kesetaraan manusia,
keadilan, kebebasan, pluralitas dan penghargaan martabat manusia. Oleh karena
itu tidaklah mengherankan jika ayat-ayat Makkiyyah juga menyapa manusia dengan
istilah-istilah yang terhormat tanpa membedakan ras, warna kulit, gender bahkan
agama. Para ulama al-Qur’ân mencirikan pesan risalah periode Makkiyyah,
meskipun tidak seluruhnya, dengan misalnya penggunaan kata sapa “ya ayyuha
annâs” (hai manusia) atau ‘Ya Banî Âdam” (hai anak Adam). Ini dapat
dibaca misalnya pada surah al-Hujurât ayat 13. “Wahai manusia, Aku ciptakan
kamu dari laki-laki dan perempuan, dan Aku jadikan kamu berbangsa-bangsa dan
bersukusuku agar kamu saling mengenal. Sesungguhnya yang paling mulia di antara
kamu adalah yang paling bertaqwa”. Ayat ini, walaupun terdapat dalam surah al
Hujurat yang pada umumnya termasuk surah Madaniyyah, akan tetapi ia sendiri
diturunkan di Makkah. (Darraz, 1980: 130) atau: “Kami memuliakan anak-anak
Adam. Kami angkut mereka di daratan dan di lautan. Kami beri mereka rizki yang
baik-baik. Kami unggulkan mereka dengan sepenuhnya atas kebanyakan ciptaan
Kami”. (QS. Al-Isra, 17: 70). Berbeda dengan audien di Makkah, audien
(masyarakat) di Madinah (sesudah hijrah), adalah masyarakat yang pada umumnya
sudah menganut agama langit antara lain Yahudi dan Nasrani di samping mereka
yang mengikuti dan beriman kepada Nabi (muhâjirin). Dalam perjalanannya
kemudian juga terdapat orang-orang munâfiq. Yakni orang-orang yang mengaku
(pura-pura) beriman kepada Nabi tetapi mengingkarinya dalam hati. Di sinilah
maka teks-teks Madaniyyah pada umumnya berisi ayat-ayat yang menyatakan aturan-aturan
yang lebih rinci tentang hukum-hukum personal dan publik atau aturanaturan tentang
kehidupan bersama dalam masyarakat yang telah terbentuk. Selain itu ayat-ayat
ini mengandung pesan dan ketentuan-ketentuan terhadap orang-orang munafik dan
komunitas lain yang ada di Madinah. Tegasnya ayat-ayat Madaniyah berbicara
mengenai aturan-aturan praktis untuk masyarakat Madinah baik yang sudah beriman
maupun yang masih dalam keyakinan agamanya masing-masing. Ciri-ciri yang mudah
kita temukan mengenai ayat-ayat Madaniyah antara lain penyebutan kata sapa “ya
ayyuhallazdîna âmanu” (wahai orang-orang
yang beriman) atau “inna al-munâfiqun” (sesungguhnya orang-orang
munafiq) dan setersunya. Disini kita melihat dengan jelas bahwa pesan-pesan
yang dikemukakan oleh ayat-ayat Madaniyah akan menunjukkan pola-pola yang membedakan
identitasindentitas sosial masyarakat meskipun tidak dalam kerangka
mendiskriminasi. Al- Qur’ân bagaimanapun selalu harus berbicara kepada realitas
kebudayaan masyarakat yang beragam termasuk di dalamnya kebudayaan yang telah
lama mendiskriminasi perempuan. Sebagai contoh ayat Madaniyah adalah yang
dikenal dengan nama surah an-Nisa (perempuan) yang menyatakan: “Kaum laki-laki
adalah pemimpin bagi kaum perempuan, oleh karena Allah telah melebihkan
sebagian mereka (laki-laki) atas sebagian yang lain (perempuan) dan karena
mereka (laki-laki) menafkahkan sebagian dari harta mereka untuk mereka
(perempuan)”. Surat an-Nisa ini membicarakan secara cukup detail tentang
perkawinan, perceraian, waris dan hal-hal yang berkaitan dengan relasi
laki-laki dan perempuan. Demikian juga ayat “Sesungguhnya laki-laki dan perempuan
muslim dst” (Q.S. al Ahzab, 35).
2.3
Nasikh Mansukh
Berkaitan dengan
pembicaraan asbâb nuzûl dan Makkiyah-Madaniyyah di atas, muncul teori
lain yang disebut teori naskh (penghapusan/pembatalan). Ia adalah terminology
yang biasa digunakan oleh para ahli tafsir untuk menunjukkan adanya ayat-ayat
yang membatalkan (nâsikh) dan ayat-ayat yang dibatalkan (mansûkh). Teori
ini dimunculkan oleh mayoritas besar para ulama oleh karena adanya ayat-ayat yang
dianggap saling bertentangan makna literalnya yang tidak mungkin lagi dapat
dikompromikan. Satu satunya ulama yang diketahui menolak teori ini adalah Abu
Muslim al-Ishfahani. Menurut teori ini, ayat-ayat yang menghapus (nâsikh) adalah
ayat-ayat yang diturunkan belakangan. Sementara ayat-ayat yang dihapus (mansûkh)
merupakan ayat-ayat yang diturunkan lebih dahulu. Ini secara tidak langsung
sesungguhnya menunjukkan pengakuan para ulama akan adanya dimensi historisitas
teks-teks al-Qur’ân. Menurut pengertiannya yang lain. Meskipun (dihapus). Kita
sendiri tidak menerima informasi dari Nabi mengenai ayat-ayat yang dihapus dan
yang menghapus, namum teori ini menjadi cara yang secara umum digunakan para
ulama ahli hukum berbagai madzhab. Inilah sebabnya mengapa dalam kajian
mengenai nasikh mansukh tidak terdapat kesepakan para ulama mengenai jumlah
maupun bagian bagiannya. Ini sangat tergantung sejauh mana orang dapat
mengkompromikan antara ayat yang dianggap bertolakbelakang tersebut. Pertanyaan
paling fundamental mengenai nâsikh tersebut adalah apakah ia berarti pembatalan
atau penghapusan yang sifatnya permanen dan final atau hanya penghentian
sementara dan karenanya masih terbuka kemungkinan untuk dipertimbangkan kembali
pemberlakuannya. Sebagai contoh yang biasa dikemukakan misalnya adalah
persoalan ‘iddah (masa menunggu) perempuan yang bercerai dari suaminya
karena meninggal dunia. Salah satu ayat al-Qur’ân menunjukkan bahwa perempuan
tersebut harus menunggu untuk bisa bergerak bebas, termasuk untuk kawin lagi
adalah satu tahun (QS. al-Baqarah,[2]: 240). Sementara ayat yang lain
menyebutkan bahwa masa menunggu (iddah) perempuan tersebut adalah empat bulan
sepuluh hari (QS. al Baqarah, 2: 234). Para ulama memandang bahwa ayat [2]: 234
ini, yang kedua ini (empat bulan sepuluh hari), meskipun secara urutannya dalam
mush-haf disebut lebih dahulu, adalah menghapus (nasikh) terhadap ayat
[2]: 240. yang kedua (yang pertama) (satu tahun). Para ulama menyebut
penghapusan ini sebagai “naskh al-hukm dûna at tilâwah” (menghapus
hukumnya, bukan menghapus bacaan/tulisannya). Contoh lain yang agak sulit
dipahami adalah penghapusan hukuman cambuk terhadap perempuan janda (muhshan)
yang berzina. Dalam al-Qur’ân yang kita baca sampai (dihapus) hari ini
hukuman terhadap pezina adalah cambuk seratus kali. (QS. an-Nur, 1). Akan
tetapi mayoritas ulama berpendapat bahwa perempuan janda yang berzina harus
dihukum rajam, sebagaimana yang kita kenal sampai sekarang. Hal ini karena
menurut mayoritas ulama, ada ayat al-Qur’ân yang pernah diturunkan yang berisi
hukuman rajam (dilempari batu sampai mati) bagi mereka. Ayat tersebut berbunyi:
“Laki-laki tua dan perempuan tua (sudah pernah kawin), apabila mereka berzina,
rajamlah keduanya sebagai hukuman dari Tuhan”. Pernyataan bahwa Tuhan pernah
menurunkan ayat rajam ini diperoleh berdasarkan keterangan Umar bin Khattab.
Khalifah ke dua ini mengatakan: “Andaikata orang-orang tidak mengatakan; ‘Umar
telah menambah ayat dalam Kitabullah’, niscaya aku akan menuliskannya
dengan tanganku”14. Penghapusan model ini disebut “naskh at-tilâwah dûna
al-hukm” (menghapus bacaan/tulisan bukan menghapus hukumnya). Naskh model
ini sesungguhnya dikritik sejumlah ulama. As- Sarakhsi dari madzhab Hanafi
misalnya mengatakan ketidakmungkinan penghapusan model ini karena hukum tidak
bisa ditetapkan tanpa tulisan (tilâwah)15. Teori penghapusan (naskh)
sebagaimana penjelasan di atas belakangan mendapat kritik yang tajam dari
sejumlah tokoh modern seperti Nasr Hamid Abu Zaid dalam bukunya yang terkenal “Mafhum
al Nash Dirasah fi Ulum al Qur’an”. Ia mengatakan bahwa “turunnya ayat-ayat
al Qur’an yang sudah terhimpun secara lengkap di “Lauh Mahfuzh”,
kemudian dihapus dan dihilangkan dari al-Qur’an yang ada berarti menafikan
keabdiannya”.16 Sebelumnya Mahmud Muhammad Toha dari Sudan serta yang lain.
Tokoh yang disebut belakang bahkan secara ekstrim menyatakan bahwa ayatayat
Makkiyyah menasakh ayat-ayat Madaniyah. Ayat-ayat al-Qur’ân sebagaimana sudah
dikemukakan tidak mungkin saling bertolakbelakang dan semuanya harus tetap bermakna
abadi, sehingga seharusnya tidak boleh ada penghapusan satu ayat atas ayat yang
lain. Dalam Pandangan yang lebih moderat berpendirian bahwa apa yang dikesankan
sebagai naskh sebenarnya adalah pengecualian (takhshîsh) atau pembatasan
terhadap ketentuan umum. Pembaasan ini lebih karena tuntutan konteks sosialnya.
Kesan adanya dua ayat yang bertentangan dapat diselesaikan melalui cara pandang
historisitas teks atau pembacaan kontekstual. Hal ini adalah merupakan
pandangan yang wajar dan lebih masuk akal, mengingat bahwa ayat-ayat al-Qur’ân
diturunkan secara bertahap, dalam ruang dan waktu sosial yang berbeda dan
dengan begitu juga audien yang berbeda-beda. Maka untuk setiap ruang dan audien
yang berbeda bisa diberikan keputusan yang berbeda. Dengan demikian, maka
istilah “naskh”, penghapusan atau pembatalan lebih tepat dimaknai
sebagai penghentian sementara, tentatif, disebabkan oleh karena konteks yang
tidak memungkinkan atau tidak memiliki relevansi untuk diimplementasikan.
2.4
Perempuan dalam konteks sosial Arab
Informasi yang kita terima dari al-Qur’ân
menyebutkan bahwa kondisi umum perempuan dalam masyarakat Arab sampai pada masa
al-Qur’ân diturunkan adalahkondisi yang tidak menguntungkan bahkan sangat
buruk. Perempuan bukan hanyadipandang sebagai makhluk Tuhan yang rendah,
melainkan juga dihargai sebagai barang, bisa diwarisi, dan diperlakukan sebagai
layaknya budak. (QS. Al-Nisa, 4:19). Mereka juga dianggap tidak memiliki hak
apa-apa atas kehidupannya sendiri dan dalam relasi-relasi sosial. Peran-peran
mereka dibatasi pada wilayah domestik dan dalam kerangkamelayani kebutuhan
seksual laki-laki. Beberapa ayat al-Qur’ân bahkan menyebutkan adanya tradisi
pembunuhan bayi-bayi perempuan hidup-hidup. (QS. 16: 58-59, QS.81: 8-9).
Alasannya adalah karena kelahiran anak perempuan akan menambah beban ekonomi
dan bisa mencoreng muka atau memalukan keluarga. Keadaan ini biasanya berlaku
pada keluarga miskin dan marginal. Realitas posisi subordinat perempuan juga
diinformasikan oleh ayat 34 surah al-Nisa. Ayat ini menjelaskan bahwa
kepemimpinan atau kekuasaan domestik, apalagi publik, berada di tangan
laki-laki. Al-Qur’ân menyatakan bahwa hal itu karena laki-laki memiliki
kelebihan setingkat lebih tinggi dibanding perempuan dan karena fungsi ekonomi
ada di tangan laki-laki. Yang menarik adalah bahwa teks tersebut tidak
menjelaskan secara eksplisit tentang kelebihan lakilaki atas perempuan. Dan
apakah kelebihan yang diberikan Tuhan kepada laki-laki tersebut bersifat tetap,
tidak berubah-ubah atau sebaliknya. Para ahli tafsirlah yang kemudian
mengelaborasi lebih lanjut ayat ini dengan menyatakan bahwa kelebihan laki-laki
atas perempuan adalah karena kwalitas intelektualnya yang lebih tinggi, di
samping karena fungsi penanggungjawab nafkah. Akibat dari ketimpangan relasi
kuasa dalam dua hal ini; intelektual dan ekonomi, kaum perempuan tidak memiliki
hak untuk dilibatkan sebagai penentu dalam segala urusan penting baik dalam
ruang domestik maupun publik. Umar bin Khattab, seorang tokoh terkemuka dan
teman sebaya Nabi Muhammad Saw juga pernah memberikan kesaksian atas kondisi
umum kaum perempuan Arab pra Islam tersebut. Ia mengatakan: “Kami bangsa Arab
sebelum Islam, tidak menganggap apa-apa terhadap perempuan. Tetapi begitu nama
mereka disebut-sebut Tuhan (dalam al-Qur’ân), kami baru mengetahui bahwa
ternyata mereka mempunyai hak-hak atas kami”17. Beberapa penjelasan tentang
kondisi perempuan di atas, meskipun tidak merupakan kondisi yang menyeluruh,
setidaknya dapat menggambarkan sebuah wajah patriarkhis dalam konstruksi
sosial-budaya masyarakat Arab pra Islam. Di atas landasan konstruksi sosial
inilah al-Qur’ân hadir untuk membangun konstruksi sosial-budaya baru ke arah
yang lebih beradab dan berkeadilan. Dan seperti sudah dikemukakan, konstruksi
sosial baru yang ingin diwujudkan al-Qur’ân ditempuh melalui cara-cara yang
tidak revolusioner, tidak radikal, tidak instan dan anti kekerasan. Meski
demikian pembaca teks-teks al-Qur’ân yang kritis dan cerdas akan menjumpai
bahwa transformasi yang dilancarkan al-Qur’ân sesungguhnya dapat dipandang
progresif dan terlalu modern untuk zamannya. Bayangkan, dalam masa kurang dari
23 tahun al Qur’an diturunkan, perubahan-perubahan besar telah terjadi, baik
dari aspek sosial, budaya, ekonomi maupun politik. Dan seratus tahun sesudah
itu, peradaban baru berskala dunia, muncul. Lebih spektatuler lagi adalah bahwa
Nabi Muhammad telah mencanangkan prinsip-prinsip kemanusiaan universal, melalui
apa yang kemudian populer disebut “Piagam Madinah”. Marshall G.S. Hodgson
menyebut keadaan ini dalam ungkapannya yang menarik: “Pada tingkat literal yang
cerdas dimana suara hati dari orang-orang yang berkembang terlibat, kedatangan
Islam menandai suatu pelanggaran dalam kesinambungan kultural yang tiada
bandingnya di antara peradaban-peradaban besar yang telah kita kenal”.18 Kita
mungkin dapat mengatakan bahwa proses transformasi al-Qur’ân secara umum adalah
transformasi kultural; dari tidak ada menjadi ada dan dalam proses yang terus
menerus untuk menjadi. Cara-cara atau pendekatan demikian bukan hanya
diberlakukan dalam masalah-masalah perempuan tetapi juga dalam masalah-masalah
yang lain. Contoh kasus perubahan gradual yang biasa dikemukakan para ahli
tafsir adalah ayat-ayat tentang khamr (minum-minuman keras) atau riba (bunga,
renten).
2.5
Tafsir al-Qur’ân Perspektif Perempuan
Posisi subordinat perempuan dalam
persoalan-persoalan partikulatif di atas tampaknya merupakan
konsekwensi-konsekwensi logis yang lahir dari pernyataan al-Qur’ân tentang
otoritas laki-laki atas perempuan yang disebutkan dalam QS. an- Nisa, ayat 34 dan
didukung oleh QS al-Baqarah, ayat 228. Membaca ayat-ayat ini secara
literalistik (mengartikannya secara harfiyah) dan tanpa mengaitkannya dengan
ayat lain, keterangan lain atau tanpa memperhatikan konteks sosialnya, maka
mudah membuat kesimpulan bahwa laki-laki menurut Tuhan ditakdirkan sebagai
pemimpin, penguasa, pengendali atau pendidik perempuan, sebaliknya perempuan
diposisikan sebagai yang dipimpin, dikuasai, dikendalikan atau dididik. Dalam
banyak tafsir ayat ini kemudian dijadikan dasar hukum (tasyrî’) yang
tetap dan selama-lamanya. atau bersifat normatif dan bukannya bersifat
fungsional belaka bagi setiap hubungan laki-laki dan perempuan. Jika pendapat
ulama tersebut diyakini sepenuhnya, maka sebenarnya ia akan bertentangan dengan
ayat-ayat kesetaraan dan kesederajatan manusia. Jadi di sini kita melihat
adanya inkonsistensi atau kontradiksi antar ayat; ayat kesetaraan di satu sisi
dan ayat subordinasi di sisi yang lain. Penafian, kontradiksi satu ayat atas
ayat yang lain seharusnya tidak boleh terjadi, kecuali jika diberlakukan teori
naskh (penghapusan) atau takhsîsh (pengecualian atau pembatasan). Dalam kaitan
dengan ayat 34 surah an-Nisa tadi, saya ingin berpendapat bahwa ayat tersebut
merupakan takhshish (pengecualian atau pembatasan) atas ayat kesetaraan dan
kesederajatan manusia sebagaimana sudah dikemukakan. Takhshîsh, pengecualian
atau pembatasan ini dilakukan oleh al-Qur’ân oleh karena adanya konteks
tertentu yang menyertainya. Dalam hal ini adalah tradisi atau konteks
sosiokulturalnya. Yakni takhshish bi al-Urf. Membaca ayat ini dengan
cermat akan terlihat dengan jelas bahwa ia sesungguhnya tengah menginformasikan
kepada pembacanya tentang realitas sosial yang patriarkhis. Kepemimpinan laki-laki
atas perempuan dalam realitas sosial ketika itu sebagaimana disebutkan oleh
ayat itu, didukung oleh dua alasan, yaitu keunggulan dan tanggungjawab enonomi.
Meskipun al-Qur’ân tidak menyebut kriteria keunggulan yang dimiliki laki-laki,
tetapi hampir semua ahli tafsir klasik maupun modern menyatakan bahwa ia adalah
keunggulan akal intelektual dan kekuatan fisiknya. Tetapi mereka menyatakan
bahwa keunggulan akal intetelektual tersebut sebagai sesuatu yang kodrat, yang
diciptakan Tuhan dan melekat secara tetap pada setiap laki-laki. Mereka
mengambil dasar legitimasi pendirian ini dari sumber lain, misalnya tentang
sejarah mitologi kejatuhan Adam dan Hawa dari sorga. Imam Ibnu Jarir al
Thabari, guru para ahli tafsir, dalam kitab Jami’ al-Bayân fî Ta’wîl Âyi al-
Qur’ân, menyatakan bahwa Adam diusir dari sorga gara-gara Hawa. Karena
itu Tuhan menjatuhkan hukuman kepada Hawa dengan menjadikannya menstruasi
setiap bulan, bodoh, dan sakit ketika melahirkan. Pendirian ini juga mengambil
legitimasi dari hadits Nabi yang sahih tentang kekurangan agama dan akal
perempuan. Nabi mengatakan: “Aku tidak melihat orang yang kurang akal dan
agamanya kecuali kalian (perempuan)”. Kekurangan akal perempuan menurut hadits
tersebut disebabkankarena kesaksiannya separoh kesaksian laki-laki. Kekurangan
perempuan dalam agama adalah karena mainstruasinya yang terjadi setiap bulan
mengharuskan dia tidak shalat. Pernyataan Nabi ini oleh para ulama dipandang
sebagai kodrat semua perempuan. Ini sesungguhnya berbeda dengan bahasa al-Qur’ân
sendiri. Al-Qur’ân tidak mengemukakan mengenai hal ini dalam bahasa yang
normatif, yakni melekat pada semua laki-laki, melainkan relatif. Ungkapan yang
digunakan al-Qur’ân adalah ‘sebagian atas sebagian’. Sebagian yang dimaksud di
sini bisa berarti keadaan umum, pada umumnya atau mainstream. Saya kira kita
tidak dapat menolak suatu kenyataan adanya sejumlah perempuan yang memiliki
keunggulan intelektual dan kemampuan ekonomi dan menafkahi keluarga, antara
lain para isteri Nabi, seperti Siti Khadijah dan Siti Aisyah, untuk menyebut
beberapa saja. Al-Qur’ân sendiri tidak pernah menyebutkan bahwa keunggulan atau
keistimewaan seseorang dilihat dari sisi jenis kelamin atau dari sisi
latarbelakang kultural atau lainnya. QS. Al-Hujurât, ayat 13 secara jelas menegaskan
bahwa kelebihan atau keistimewaan seseorang hanya didasarkan atas keunggulan
taqwanya. Terma ketaqwaan dalam Islam menurut saya menunjuk pada sikap untuk
mengapresiasi secara konsisten norma-norma ketuhanan dan norma-norma
kemanusiaan, pada aktifitasnya dalam ibadah personal dan ibadah sosial.
Pencapaian ketaqwaan ini bisa dimiliki atau diraih oleh perempuan dan lakilaki.
Dan tidak shalatnya perempuan dalam masa menstruasi tidak harus mengurangi kualitas
ketaqwaan dan potensi pribadinya. Dengan begitu menjadi jelas bahwa
kepemimpinan yang didasarkan atas criteria keunggulan laki-laki tersebut
sesungguhnya adalah sesuatu yang relatif belaka dan sangat terkait dengan
konstruksi sosial budaya suatu masyarakat. Pendasaran ketentuan pada konstruksi
sosial tidak mungkin bisa diberlakukan secara tetap dan final, karena ia
berdiri di atas sesuatu yang memungkinkan terjadinya perubahan dan perkembangan.
Jadi kepemimpinan dan keunggulan laki-laki adalah ketentuan yang bersifat
relatif dan bisa berubah atau diubah. Perubahan sosial yang kita lihat dewasa ini
menunjukkan tengah berlangsungnya proses dari tiada menjadi ada dan dari ada menuju
proses menjadi. Dari sinilah kita bisa mengatakan bahwa perempuan dapat dinyatakan
sah adanya untuk lebih unggul dari laki-laki dan untuk mengemban fungsi kepemimpinan
dalam rumah tangga. Adalah menarik untuk mengungkapkan bagaimana al-Qur’ân
melalui ayat ini (QS. an-Nisa, 34) tengah berdialog dan mengapresiasi realitas
sosial. Ini diketahui misalnya dalam latarbelakang turunnya ayat ini (sabab
nuzûl). Imam as-Suyuthi menyampaikan sejumlah riwayat, antara lain dari
Hasan melalui Asy’ats bin Abd al-Malik bahwa seorang perempuan datang kepada
Nabi saw mengadukan tindakan suaminya yang memukulnya (menampar). Nabi saw
dengan tegas menyarankan pembalasan yang setimpal (qishâsh). Tetapi ayat
kemudian turun, maka perempuan tersebut kembali tanpa membalasnya. As-Suyuthi
juga menyebut riwayat yang sama dari Hasan melalui Qatadah. Begitu ayat ini
turun Nabi mengatakan: “Aku menghendaki sesuatu tetapi Allah menghendaki yang
lain”19. Sementara an-Nisaburi mengemukakan riwayat yang lain. Katanya, dari
Muqatil, ayat ini turun untuk merespon Sa’ad bin ar-Rabi’ dan isterinya Habibah
binti Zaid bin Abu Hurairah. Habibah membangkan kepada suaminya (nusyuz) (menolak
perintah suami), lalu suami menamparnya. Ayah Habibah membawanya kepada Nabi
saw, dan mengadukan masalahnya. Nabi menyuruhnya membalas suaminya dengan
setimpal. Keduanya kembali menemui Sa’ad untuk membalas. Tetapi Nabi kemudian
memanggilnya kembali. “Jibril datang menyampaikan wahyu al-Qur’ân ini” kata
Nabi. Beliau kemudian mengatakan “aku menghendaki ini tetapi Allah menghendaki
yang lain, kehendak Allah tentu lebih baik”20. Informasi as-Suyuthi dan
an-Nisaburi di atas menggambarkan bagaimana sesungguhnya Nabi Muhammad
menghendaki agar prinsip kesetaraan segera dan seketika itu juga dapat
diimplementasikan, tetapi Tuhan mempunyai kebijakan lain. Pembalasan itu belum
saatnya dilakukan. Jika kita melihat ayat ini secara utuh akan nampak bahwa
kebijakan Tuhan ini adalah ingin agar penerapan prinsip kesetaraan dilakukan
secara bertahap dan tidak seketika. Tindakan terhadap perempuan yang nusyuz
dilakukan dengan membalik tradisi. Jika dalam tradisi Arab pada saat itu tindakan
terhadapnya pertama-tama dengan memukul, merendahkan dan bahkan melukainya,
maka al-Qur’ân menginginkan tindakan dengan proses bertahap; menasehati,
membiarkannya tidak digauli dan baru kemudian memukulnya. Tentang pemukulan
sebagaimana disebutkan al-Qur’ân, Nabi saw kemudian menjelaskannya agar tidak
boleh keras-keras apalagi sampai melukai. Nabi sendiri tidak pernah menyakiti
para isterinya apalagi melakukan pemukulan. Beliau juga menyindir: “Para suami
yang memukul isterinya bukanlah orang baik di antara kamu”. Bahkan beliau juga
melarangnya: “Janganlah kamu memukul hamba-hamba Allah yang 19 Abdurrahman
As-Suyuthi, Ad-Durr al-Mantsûr fi at-Tafsîr bi al-Ma’tsûr, Dar al-Ma’rifah,
Beirut, tt, II/151). 20 An-Nisaburi, Asbab an-Nuzul dalam Mukhtashar Tafsir
ath-Thabari, 118. perempuan”. Lagi-lagi kita harus mengatakan bahwa cara-cara
menghukum seperti yang dikemukakan al- Qur’ân ini adalah cara-cara yang
sesungguhnya telah mereduksi cara-cara yang berlaku dalam tradisi Arab ketika
itu. Untung saja cara-cara ini tidak sampai mendapatkan resistensi dan protes
yang besar dari masyarakat. Dalam bahasa Nashr Abu Zaid dikatakan: ”Adalah
pasti bahwa penolakan Nabi terhadap tindakan suami tersebut memperlihatkan
dengan jelas penegasan prinsip kesetaraan. Tetapi karena audiensnya tidak/belum
mampu memikul prinsip kesetaraan tersebut maka Tuhan menurunkan ayat ini”21. Dengan
logika mereduksi tradisi tersebut kita dapat memahami bahwa al- Qur’ân
sesungguhnya tidak menyetujui pemukulan dan tidak menghendaki kekerasan terhadap
perempuan apapun bentuknya dan tindakan tersebut pada saatnya harus dihapuskan.
Pada saat kita sekarang ini pemukulan merupakan suatu tindakan yang dianggap
keliru atau salah oleh siapapun baik laki-laki atau perempuan. Konflik apapun
dalam hubungan suami isteri harus diselesaikan dengan cara-cara yang lebih beradab,
demokratis dan tanpa kekerasan. Dengan membaca sabab nuzûl yang variatif di
atas, mayoritas ahli tafsir biasanya kemudian mengemukakan teori yang terkenal;
“al- ‘Ibrah bi ‘umûm al-lafzh lâ bi khushûsh as sabab” (yang
harus diperhatikan dan diterapkan adalah bentuk kata yang general/umum itu dan
bukannya memperhatikan sebab atau peristiwa/kasus yang melatari turunnya ayat).
Dalam hal QS. al Nisa 34 tersebut peristiwa yang dimaksud adalah pemukulan terhadap
seorang perempuan bernama Habibah bint Zaid oleh suaminya; Sa’ad bin Rabi’.
Meskipun demikian Berdasarkan kaedah hukum ini, hukuman pemukulan juga bisa
diberlakukan pada kasus perempuan mana saja yang dianggap tidak taat kepada suaminya.
Itulah sebabnya kita menemukan dalam pandangan para ahli tafsir dan ahli fiqh
sebagaimana termuat dalam kitab-kitab mereka sebuah keputusan hukum yang
membenarkan hukuman-hukuman terhadap perempuan yang nusyuz tersebut sebagai
berlaku general dan untuk segala konteks. Perlu dikemukakan pula bahwa Mayoritas
ahli tafsir hukum cenderung berpendapat bahwa jika terjadi perbedaan atau
pertentangan antara ketentuan-ketentuan hukum yang bersifat umum (prinsip umum
atau hukum universal) dengan ketentuan hukum yang bersifat khusus, spesifik, partikular
maka yang khusus lebih diutamakan daripada yang umum. Ini berbeda dengan
pandangan Abu Ishak asy-Syathibi. Ia berpendapat sebaliknya. Yakni bahwa “ketentuan
umum atau hukum universal bersifat pasti sementara petunjuk-petunjuk khusus bersifat
relatif. Karena itu keumuman atau universalitas harus didahulukan. Aturan-aturan
yang bersifat khusus tidak membatasi atau mengkhususkan aturanaturan yang
bersifat umum tetapi bias menjadi pengecualian-pengecualian yang 21 Nashr Hâmid
Abu Zaid, Dawa’ir al-Khawf; Qira’ah fi Khithâb al-Mar’ah, Al-Markaz ats-Tsaqafi
al-‘Arabi, Cet. I, 1999, hal. 212. bersifat kondisional bagi hukum-hukum
universal”22
2.6 Mengkaji
Kausalitas dan Maksud Teks
Sebetulnya kita juga menemukan pandangan lain,
meskipun dikemukakan oleh sedikit ulama. Mereka mengemukakan kaedah yang
sebaliknya. Yakni ‘al ‘Ibrah bi khushûsh assabab lâ bi umûm
al-lafzh” (yang harus diperhatikan atau digunakan adalah kekhususan
sebab, bukan bentuk umum suatu lafzh). Dengan begitu ayat tersebut
hanya berlaku bagi kasus Habibah bint Zaid yang dipukul suaminya, bukan perempuan
lain. Saya ingin mengatakan bahwa sebuah peristiwa atau kasus tertentu memang
bisa menjadi pikiran dasar (inisiatif) untuk merumuskan diktum hukum atau perundang-undangan
yang kemudian menjadi ketentuan hukum bagi semua orang yang masuk dalam
wilayah hukum atau perundang-undangan tersebut. Akan tetapi keputusan
tersebut bisa saja berubah, manakala illat atau kausalitasnya berubah
karena ditemukannya cara-cara baru yang menggantikannya sesuai dengan
perkembangan sosialnya. Jadi faktor utama yang harus diperhatikan dalam
hal ini adalah illatnya atau rasio legisnya dengan mana hukum bisa tetap
dipertahankan atau justeru harus berubah. Kaedah hukum yang mungkin bisa
ditawarkan adalah “al ‘Ibrah bi ‘Umum al Lafzhi la bi Khushush
al Sabab, Ma Damat al ‘Illah Baqiyah”. Di sini kita memang harus
bisa membedakan terlebih dahulu antara terminologi sabab dengan
terminologi illat. Sabab adalah latarbelakang sebuah peristiwa. Ia berada di
luar teks Sabab lebih menunjukkan hal-hal yang terjadi dengan mana sebuah ayat
perlu atau harus diturunkan. Sabab adalah istilah untuk menjawab mengapa
teks atau ayat diturunkan atau dibuat. Sementara ‘illat adalah
logika kausalitas hukum. Ia berada di dalam teks. Ia merupakan istilah
untuk menjawab pertanyaan mengapa ketentuan hukumnya demikian atau
seperti itu. Dan ‘illat juga berbeda dengan hikmah atau tujuan
akhir yang diharapkan hukum. Hikmah merupakan alasan paling tinggi dan
paling substansial dari sebuah keputusan hukum. Dalam ilmu ushul fiqh ketiga
istilah ini; sabab, ‘illat dan hikmah, memang diperdebatkan para
ulama, ada yang membedakannya dan ada yang mengidentikkannya. Perdebatan
juga terjadi pada masalah apakah hikmah bisa dijadikan alasan perubahan
hukum atau tidak. Para ahli hukum formalis menolak hikmah sebagai alasan
untuk merubah ketentuan hukum, sementara para ahli hukum substansialis
mendukungnya. Al Qarafi (w. 684 H/1285 M) dan Kamal al Din bin Humam (w.
861 H/1456 M) mendukung pandangan yang terakhir ini. 23.
Terlepas dari perdebatan tersebut, hal
paling signifikan untuk diperhatikan dalam diktum keputusan hukum adalah
rasio-legis dan tujuannya (maqashid al-syari’ah). Rasio legis
–meminjam istilah Fazlurrahman- dalam kriteria kepemimpinan, misalnya, adalah
kemampuan intelektual, moral dan tanggungjawab terhadap kesejahteraan
rakyat atau yang dipimpinnya atau keluarganya. Sementara tujuannya
adalah menjamin kemaslahatan warga yang dalam konteks rumahtangga adalah
keluarganya dan dalam konteks negara adalah rakyatnya. Rasio-legis dan
kemaslahatan selalu berkaitan dengan dinamika dan dialektika sosial.
Sebuah kaedah fiqh menyatakan: “al-hukm yadûru ma’a illatihî
wujûdan wa ‘adaman” (hukum selalu mengikuti rasio-legisnya). Mawla al-‘Allai
mengatakan: “inna al-hukm asy-syari’iy mabniyyun ‘alâ ‘illatihi fa bi
intiha’ihâ yantahî” (sesungguhnya hukum syara’ dibangun atas dasar illatnya/rasio
legis. Maka begitu ia (illat) berhenti, berhenti pula (hukum
itu)24. Jika rasio-legis dan kemaslahatan berubah karena perubahan
konteks sosial, budaya dan tradisi, maka dengan sendirinya keputusan
hukum juga harus berubah. Ini sejalan dengan pandangan Ibnu al-Qayyim al-Jauzaiyah
yang kemudian disepakati sebagai kaidah fiqh; “taghayyur al-fatwâ wa ikhtilâfuhâ
bi hasab taghayyur al-azminah wa al-amkinah wa al-ahwâl wa an-niyyât wa al-
‘awâ’id” (perubahan dan perbedaan fatwâ hukum tergantung pada
perubahan zaman, tempat, keadaan/situasi, motivasi dan
kebiasaan/adat)25. Sebuah pandangan yang menarik terkait dengan
persoalan di atas dikemukakan oleh Khalid Abu al-Fadl. Ia mengatakan:
“Menilai apakah suatu hukum telah benarbenar memenuhi tujuan-tujuan
normatifnya adalah termasuk masalah yang bersifat rasional dan empiris
bukan masalah yang terkait dengan kebenaran skriptural”26. Pandangan ini
agaknya ingin mengatakan bahwa realitas sosial adalah sesuatu yang nyata
dan bersifat pasti, sementara teks adalah hipotesis dan memungkinkan untuk
dianalisis oleh akal pikiran. Mempertahankan teks yang hadir untuk ruang sosial
tertentu ke dalam ruang sosial yang lain akan bisa menjadikan teks tersebut gagal
memenuhi tujuan-tujuan moralnya. Konservatisme dengan begitu tidak selalu memecahkan
masalah. Bahkan mempertahankan sikap konserfatisme pada gilirannya bisa
mengakibatkan teks-teks tersebut teralienasi dari proses perubahan dan sangat
mungkin untuk ditinggalkan. Dan perlu ditegaskan sekali lagi bahwa memahami
teksteks hanya dengan memperhatikan makna literalnya tanpa memperhatikan
tujuantujuan global dari agama hanya akan menghasilkan pemahaman yang
kering, dangkal dan sangat mungkin untuk tidak relevan dan tidak membawa
maslahat. Dan ini hanya bisa kita hindarkan melalui pembacaan
kontekstual tersebut di atas.
Pendekatan Bahasa
Di luar pendekatan kontekstual tersebut di atas
pendekatan lain juga bisa digunakan. Misalnya dengan menganalisis makna
kebahasaan. Dalam pendekatan ini dinyatakan bahwa pemaknaan atas sebuah teks
bahasa tidaklah selalu tunggal. Makna teks bahasa juga mengalami perkembangan.
Tentang ayat kepemimpinan laki-laki di atas, misalnya. Dalam banyak pandangan
kata ar-Rijâl diterjemahkan dalam bahasa Indonesia dengan laki-laki tanpa
memberikan penjelasan apakah ia berarti laki-laki dalam konotasi biologis atau
gender. Analisis bahasa menunjukkan bahwa ia pada umumnya berarti laki-laki
dalam konotasi gender. Untuk perempuan bermakna gender disebut dengan kata
an-Nisa. Kata laki-laki dalam makna biologis disebutkan oleh al-Qur’ân dengan
kata adz-dzakar. Kata ini dalam berbagai bentuknya disebutkan al-Qur’ân
sebanyak 18 kali dan lebih banyak digunakan untuk menyatakan laki-laki sebagai
makhluk biologis. Sementara untuk biologis perempuan disebut al-untsâ. Kata
lain dalam al-Qur’ân yang menunjukkan perempuan disebut al-mar’ah atau
alimra’ah.
Menurut
Ibnu Anbari kata al-mar’ah atau al-imra’ah mempunyai arti yang sama yaitu
perempuan secara gender, tetapi biasanya digunakan untuk yang sudah dewasa atau
matang. Dr. Nasaruddin Umar dalam bukunya “Argumen Kesetaraan Jender;
Perspektif Al-Qur’ân”, berkesimpulan bahwa: “kata ar-Rajul tidak identik dengan
kata adzdzakar. Semua kata ar-rajul termasuk katagori adz-dzakar tetapi tidak semua
adz-dzakar termasuk katagori ar-rajul. Demikian pula kata al-mar’ah/al-imra’ah
atau an-nisâ tidak identik dengan kata al-untsâ. Semua kata al-mar’ah/al-imra’ah
atau an-nisâ termasuak katagori al-untsa tetapi tidak semua al-untsa
termasuk katagori al-mar’ah/al-imra’ah atau An-Nisâ. Seorang laki-laki
disebut ar-rajul atau perempuan disebut al-mar’ah/al imra’ah atau nisa
manakala memenuhi kriteria-kriteria sosial dan budaya tertentu seperti berumur
dewasa, telah berumahtangga atau telah mempunyai peran tertentu di masyarakat
dan seterusnya”27.
Pendekatan
bahasa, dengan cara lain juga dipakai untuk memaknai kata “wadhribuhûnna” sebagaimana
dalam surat an-Nisa, 34. Kalimat “wadhribuhunna” menurut pendekatan ini
tidak hanya memiliki makna “pukullah mereka dengan tangan”, karena “dharaba”
tidak hanya memiliki satu makna. Ar-Raghib al-Isfihani dalam Mu’jam
Mufradât Alfâzh al-Qur’ân mengungkapkan sejumlah makna “dharaba” yang terdapat
dalam al-Qur’ân. Beberapa di antaranya adalah bermakna “menempuh perjalanan”
(surah an-Nisa, 101 dan Thaha, 77), “membuat”, seperti membuat contoh/ perumpamaan
(QS. at-Tahrim, 10, Yasin, 13, al-Baqarah, 26, Ibrahim, 25).
Menuju Cita-cita Agama (Keadilan)
Ayat-ayat
al-Qur’ân yang membicarakan hubungan laki-laki perempuan dan 28 Ibnu Qutaibah, Ta’wil
Musykil al-Qur’ân, hlm. 21. 29 Ali Asghar, Hak-hak Perempuan Dalam Islam,
hlm. 75-76. 30 Muhammad Syahrur, Al-Qur’ân wa al-Kitab, Qira’ah Mus’ashirah,
hlm. 622. lebih khusus lagi hubungan suami-isteri berikut hak-hak dan kewajiban
masing-masing dalam perkawinan mereka adalah ayat-ayat khusus, atau partikular.
Mengamati ayat-ayat ini secara lebih kritis akan mendapatkan suatu pandangan
bahwa teks-teks tersebut tengah mengatur relasi suami-isteri dalam konteks
Arabia ketika itu secara lebih baik daripada aturan-aturan masyarakat yang sama
sebelumnya. Dengan begitu, ayat-ayat tersebut perlu dipahami sebagai sedang
berjalan dalam alur dan proses peralihan dan perubahan dari kebudayaan lama ke
arah kebudayaan baru yang jauh lebih baik. Al- Qur’ân sendiri menyebut dirinya
sebagai “yukhrijuhum min azh-zhulumâila an-nûr” (mengeluarkan manusia
dari kehidupan yang gelap menuju kehidupan yang terang benderang). Dengan
mendasarkan diri pada basis metodologi pembacaan teks secara kontekstual di
atas kita dituntut untuk terus mengembangkannya untuk konteks kita hari ini
atau konteks yang lain selanjutnya. Pengembangan tersebut dilakukan sedemikian
rupa sehingga cita-cita agama mewujud dalam kehidupan masyarakat. Cita-cita
Islam sebagai sudah dikemukakan adalah keadilan, kehormatan, keindahan (kearifan)
dan kemaslahatan. Ibnu al-Qayyim dengan tegas mengatakan: “Syarî’ah dibangun di
atas dasar kearifan dan kemaslahatan manusia untuk kehidupan mereka di dunia
maupun di akhirat. Syarî’ah adalah keadilan, kerahmatan, kemaslahatan dan kearifan.
Setiap keputusan yang menyimpang dari ini semua bukanlah bagian dari agama
meskipun diupayakan melalui cara-cara intelektual”31. Pada bukunya yang lain Ibnu
Qayyim menyatakan: “Allah mengutus para Nabi dan menurunkan kitab-kitab-Nya
untuk menegakkan keadilan di antara manusia. Keadilan adalah pilar langit dan bumi.
Jika tanda-tanda keadilan telah nampak melalui cara apapun maka disanalah hukum
Tuhan”32. Imam al-Ghazali sebelumnya sudah menyatakan kesimpulan mengenai
tujuan atau visi agama melalui apa yang disebutnya “kemaslahatan”. Pengertian
kemaslahatan versi al-Ghazali pada intinya adalah penghormatan terhadap hak-hak
asasi manusia. Karena itu agaknya kita perlu mempertanyakan kembali apakah perempuan
harus menjadi makhluk domestik atau sah menjadi makhluk publik dan apakah
hak-hak perempuan masih harus separoh hak laki-laki atau suami dan lain-lain.
Terhadap
pertanyaan-pertanyaan ini sudah saatnya kita perlu mengevaluasi kembali tafsir
teks-teks keagamaan yang kita anut selama ini berdasarkan nilai-nilai
fundamental Islam dan kehidupan kontemporer yang demokratis dan
menjunjungtinggi hak-hak asasi manusia sebagaimana dikemukakan di atas. seperti
sekarang ini. 31 Ibnu al-Qayyim, I’lam al-Muwaqqi’in, III, hlm. 3.32 Ibnu
al-Qayyim, ath-Thuruq al-Hukmiyyah, hlm. 38-39.
BAB III
KESIMPULAN
Ungkapan yang menyebutkan otoritas laki-laki atas
perempuan yang disebutkan dalam QS. an- Nisa, ayat 34 dan didukung oleh QS
al-Baqarah, ayat 228. Membaca ayat-ayat ini secara literalistik (mengartikannya
secara harfiyah) dan tanpa mengaitkannya dengan ayat lain. QS. Al-Hujurât, ayat
13 secara jelas menegaskan bahwa kelebihan atau keistimewaan seseorang hanya
didasarkan atas keunggulan taqwanya.
Mayoritas
ahli tafsir biasanya kemudian mengemukakan teori yang terkenal; “al- ‘Ibrah
bi ‘umûm al-lafzh lâ bi khushûsh as sabab” (yang harus diperhatikan dan
diterapkan adalah bentuk kata yang general/umum itu dan bukannya memperhatikan
sebab atau peristiwa/kasus yang melatari turunnya ayat). Dalam hal QS. al Nisa
34 tersebut peristiwa yang dimaksud adalah pemukulan terhadap seorang perempuan
bernama Habibah bint Zaid oleh suaminya; Sa’ad bin Rabi’. Meskipun demikian
Berdasarkan kaedah hukum ini, hukuman pemukulan juga bisa diberlakukan pada
kasus perempuan mana saja yang dianggap tidak taat kepada suaminya. Itulah sebabnya
kita menemukan dalam pandangan para ahli tafsir dan ahli fiqh sebagaimana
termuat dalam kitab-kitab mereka sebuah keputusan hukum yang membenarkan
hukuman-hukuman terhadap perempuan yang nusyuz tersebut sebagai berlaku general
dan untuk segala konteks. Perlu dikemukakan pula bahwa Mayoritas ahli tafsir
hukum cenderung berpendapat bahwa jika terjadi perbedaan atau pertentangan
antara ketentuan-ketentuan hukum yang bersifat umum (prinsip umum atau hukum
universal) dengan ketentuan hukum yang bersifat khusus, spesifik, partikular
maka yang khusus lebih diutamakan daripada yang umum. Ini berbeda dengan
pandangan Abu Ishak asy-Syathibi. Ia berpendapat sebaliknya. Yakni bahwa
“ketentuan umum atau hukum universal bersifat pasti sementara petunjuk-petunjuk
khusus bersifat relatif. Karena itu keumuman atau universalitas harus
didahulukan. Aturan-aturan yang bersifat khusus tidak membatasi atau
mengkhususkan aturanaturan yang bersifat umum tetapi bisa menjadi suatu pengecualian-pengecualian.