MATERI 1
Konsep
Qowaidul Fikhiyah
1.
Pengertian Qowaidul Fikhiyah
Menurut Imam
Tajjudin As-Subki :
الأمـرُ
الكلّيُّ الـذى يـنـطـبقُ عـليـهِ جـزئـياتٌ كـثيرةٌ يـفـهـمُ أحـكامُهـا مـنـها
“Suatu perkara yang kully yang bersesuaian dengan juz’iyah yang
banyak yang dari padanya diketahui hukum hukum juziyah itu” .
2.
Ruang lingkup Qowaidul Fikhiyah
·
Qawaid
Asasiyyah Qubra
-
الأمور بمـقاصـدها
-
الـيـقـين لايزال بالـشّـكّ
-
الـمشـقّة تـجـلب الـتيـسـير
-
الـضّـرارُ يـزال
-
الـعادة مـحكمة
·
Qawaid
al Kuliyyah
Qawaid yang menyeluruh tetapi cabang dan
caku-pannya lebih sedikit dari pada yang asasiyyah diantaranya :
-
الخـرجُ بـِالـضَـمَـن
“Hak mendapatkan hasil disebabkan oleh keharusan menanggung
kerugian”.
-
الـضـررُ أشـدُّ
يُـدْفَع بالـضـررِ الأَخْـلَـفِ
“Bahaya yang lebih besar dihadapi dengan bahaya yang lebih ringan”.
·
Qawaid
al Madzhabiyyah (kaidah madzhab)
Yaitu kaidah-kaidah yang menyeluruh pada
sebagian madzhab. Kaidah ini dibagi dua :
a.
Kaidah yang disepakati.
b.
Kaidah yang diperselisikan.
·
Qawaidul
Mukhtalaf Fil Madzhab
Yaitu
kaidah yang diperselisihkan dalam madz-hab tertentu.
3.
Tujuan Qawaidul Fikhiyah
Tujuan mempelajari Qawaidul Fikhiyah
ialah untuk mendapatkan manfaat dari ilmu Qawaidul Fikhiyah. Diantara manfaat
dari ilmu Qawaidul Fikhiyah ialah:
·
Mengetahui
prinsip-prinsip umum fiqh dan akan mengetahui pokok masalah yang mewarnai fiqh
dan kemudian menjadi titik temu dari masalah-masalah fiqh.
·
Akan lebih mudah menetapkan hukum bagi
masalah-masalah yang dihadapi.
·
Akan lebih arif dalam menerapkan
materi-materi dalam waktu dan tempat yang berbeda, untuk keadaan dan adat yang
berbeda.
·
Meskipun
kaidah-kaidah fiqh merupakan teori-teori fiqh yang diciptakan oleh Ulama, pada
dasarnya kaidah fiqh yang sudah mapan sebenarnya mengikuti al-Qur’an dan
al-Sunnah, meskipun dengan cara yang tidak langsung.
·
Akan mempermudah dalam menguasai materi hukum.
·
Kaidah
Fiqhiyah membantu menjaga dan menguasai persoalan-persoalan yang banyak
diperdebatkan.
·
Kaidah
Fiqhiyah mendidik orang yang berbakat fiqh dalam melakukan analogi (ilhaq) dan
takhrij untuk memahami permasalahan-permasalahan baru.
·
Akan mempermudah orang yang berbakat pada ilmu fiqh dalam mengikuti (memahami) bagian-bagian hukum
dengan mengeluarkannya dari tema yang berbeda-beda serta meringkasnya dalam
satu topik.
4.
Urgensi Qawaidul Fikhiyah
Kaidah
fiqih dikatakan penting dilihat dari 2 sudut
:
1.
Dari Segi Sumber
Kaidah
fiqih merupakan media bagi peminat fiqih islam untuk memahami dan
menguasai maqashid al-syari’Ah.
2. Dari segi istinbath ahkam
kaidah
fiqih mencakup beberapa persoalan yang sudah dan belum terjadi. Oleh karena
itu, kaidah fiqh dapat dijadikan sebagai salah satu alat dalam
menyelesaikan persoalan yang terjadi yang belum ada ketentuan atau kepastian
hukumnya.
5.
Kaidah Fikih Yang Disepakati Imam Madzhab
-
اَلأمُوْرُ بِمَـقَاصِـدِهَا
Segala
sesuatu tergantung pada tujuannya.
-
الـيَـقِـيْـنُ لاَيَـزَالُ بِالـشَـكِّ
Yakin
itu tidak dapat dihilangkan dg keraguan.
-
الـمَـشَـقَةُ تَـجْـلِـبُ الـتَـيْـسِـيْـر
Kesulitan itu dapat menarik kemudahan.
-
الـضـرَارُ يُـزَالُ
Kemadaratan
itu harus dihilangkan.
-
الـعـادة مـحـكـمة
Kemadaratan
itu harus dihilangkan.
6.
Kedudukan Kaidah Fikih
1.
Kaidah
fiqh sebagai pelengkap.
Kaidah fiqh digunakan sebagai dalil setelah menggunakan dua dalil
pokok, yaitu al-qur’an dan sunnah.
Kaidah fiqh
yang dijadikan sebagai dalil pelengkap tidak ada ulama yang memperdebatkannya,
artinya ulama “sepakat” tentang menjadikan kaidah fiqh sebagai dalil pelengkap.
2.
Kaidah
fiqh sebagai dalil mandiri.
Kaidah fiqh
digunakan sebagai dalil hukum yang berdiri sendiri, tanpa menggunakan dua dalil
pokok.
MATERI 2
Sejarah
Qowaidul Fikhiyah
v Sejarah dan Perkembangan Qawaidul
Fikhiyah
1. Pembinaan Asas (Zaman Rasulullah saw =Akhir Kurun Ke-3)
Hadis
dan athar para sahabat, para tabi‟in dan tabi‟t-tabi‟in yang berbentuk kaedah.
2. Penulisan dan Perkembangan (Kurun Ke-4 hinggaKurun Ke-9)
-
Pada
awalnya, tidak mempunyai penyusan tertentu mengikut bab sehinggalah pertengahan
kurun ke-8
-
Ulama‟
4 mazhab.
3.
Pengukuhan
(Kurun ke-10 hingga penubuhan al-Majallah)
-
Perbahasan
lebih khusus.
-
Perbezaan
istilah diwujudkan.
-
Syarah
bagi kitab-kitab utama.
4.
Kebangkitan
Ilmiah (Akhir kurun ke-13 sehingga sekarang)
-
Perundangan
dan gazet.
-
Tahqiq
kitab turath.
-
Pengeluaran
dari kitab-kitab fiqih utama.
-
Penyusunan
yang lebih terperinci.
-
Penyelidikan.
-
Penulisan
“muqaddimah”.
MATERI
3
Fungsi
Qawaidul Fikhiyah
1.
Pengertian Qowa’idul Fikhiyah
Qawaid
merupakan bentuk jamak dari qaidah, yang kemudian dalam bahasa Indonesia
disebut dengan istilah kaidah yang berarti aturan atau patokan. Ahmad warson
menembahkan bahwa, kaidah bisa berarti al-asas (dasar atau
pondasi), al-Qanun (peraturan dan kaidah dasar), al-Mabda’ (prinsip),
dan al-nasaq (metode atau cara). Hal ini sesuai dengan firman
Allah dalam surat An-Nahl ayat 26 yang artinya:
“Allah
akan menghancurkan rumah-rumah mereka dari pondasinya”. (Q.S. An-Nahl : 26)
Sedangkan
dalam tinjauan terminologi kaidah punya
beberapa arti, menurut Dr. Ahmad asy-syafi’i
dalam buku Usul Fiqh Islami, mengatakan bahwa kaidah itu adalah :
“Kaum
yang bersifat universal (kulli) yang diakui oleh satuan-satuan hukum
juz’i yang banyak”
Sedangkan
mayoritas Ulama Ushul mendefinisikan kaidah dengan :
“Hukum
yang biasa berlaku yang
bersesuaian dengan sebagian besar
bagiannya”.
Sedangkan
arti fiqh secara etimologi lebih dekat dengan ilmu, sebagaimana yang banyak
dipahami, yaitu : “Untuk memperdalam pengetahuan mereka tentang agama”
(Q.S. At-Taubat : 122)
Dan juga
Sabda Nabi SAW, yaitu :
“Barang
siapa yang dikehendaki baik oleh Allah niscaya diberikan kepadanya kepahaman
dalam agama.”
Sedangkan
menurut istilah Fiqh adalah ilmu yang menerangkan hukum-hukum syara’ yang
bersifat amaliyah (praktis) yang diambilkan dari dalil-dalil yang tafsili
(terperinci).
Jadi,
dari semua uraian di atas dapat disimpulkan, bahwa Qawaidul fiqhiyah adalah
“Suatu perkara kulli (kaidah-kaidah umum) yang berlaku pada
semua bagian-bagian atau cabang-cabangnya yang banyak yang dengannya diketahui
hukum-hukum cabang itu”.
Dari
pengertian di atas dapat diketahui bahwa setiap kaidah fiqhiyah telah mengatur
beberapa masalah fiqh dari berbagai bab.
2.
Fungsi Qawaidul Fikhiyah dalam Penetapan Hukum Islam
Secara global manfa‟at yang diperoleh
pelajar yang mempelajari qawaid al-fiqhiyyah antara lain:
·
Dapat
menyesuaikan persoalan yang masih rinci dengan menggunakan qawid fiqhiyyah.
·
Mempeermudah
untuk memahami permasalahan yang ada pada setiap mazhab.
·
Membantu
ahli fiqih untuk mengistinbathkan suatu hukum.
·
Bisa
membantu untuk mengetahui maqhaasid as-syari’ah dan
rahasia-rahasianya.
·
Ahli Fiqih
bisa memcahkan suatu permasalahan yang kontradiktf.
·
Mempermudah
seorang pelajar untuk bisa membandingkan antara mazhab dengan mazhab yang lain.
Dari
beberapa fungsi qawaid fiqhiyyah diatas, dapat di beri contoh bahwasannya
ketika seorang faqih (ahli fiqih) dan pelajar pada umumnya sudah
menguasai qawaid fiqhiyyah secara keseluruhan, maka telah sempurnalah kemampuan
dalam memahami syariat agama atau bisa disebut ahli fiqih yang telah
sempurna keilmuannya. Qawaid Fiqhiyah adalah salah satu cabang dari ilmu
syariat, dimana ia memiliki fungsi yang sangat penting bagi pembinaan
hukum Islam.
Fungsi
Qawaid Fiqhiyah itu sendiri adalah :
·
Untuk menghadirkan
berbagai macam hukum.
·
Untuk
menunjukkan bahwa hukum-hukum yang sama illatnya meskipun berbeda- beda
merupakan satu jenis illat dan maslahat.
·
Untuk
memudahkan dalam mengetahui hukum perbuatan seorang mukallaf. Dari
fungsi-fungsi diatas dapat disimpulkan bahwa dengan adanya qawaid fiqhiyyah kita
bisa mengetahui segala bentuk hukum secara lebih mendalam tidak hanya melihat
secara tekstual, dan dengan qawaid fiqhiyyah ini kita bisa menggali berbagai
macam hukum furuiyyah secara lebih mendalam.
MATERI
4
Karakteristik
Qawaidul Fikhiyah
Menurut Ali al-Nadawi,
Imam Syihab al-Din al-Qarafi merupakan ulama yang pertama kali membedakan
antara kaidah ushuliyyah dan kaidah fiqhiyah. Al-Qarafi menegaskan bahwa
syariah yang agung diberikan Allah kemuliaan dan ketinggian melalui ushul dan
furu’. Adapun ushul dari syariah tersebut ada dua macam. Pertama, ushul fiqh.
Ushul fiqh memuat kaidah-kaidah istinbath hukum yang diambil dari lafal-lafal
berbahasa Arab. Diantara yang dirumuskan dari lafal bahasa Arab itu kaidah
tentang nasakh, tarjih, kehendak lafal amar untuk wajib dan kehendak lafal nahi
untuk menunjukkan haram, dan sighat khusus untuk maksud umum. Kedua, al-qawaid
fiqhiyyah yang bersifat kulli (umum). Jumlah kaidah tersebut cukup banyak dan lapangannya
luas yang mengandung rahasia-rahasia dan hikmah syariat. Setiap kaidah diambil
dari furu’ yang terdapat dalam syariah yang tidak terbatas jumlahnya. Hal itu
tidak disebutkan dalam kajian ushul fiqh, meskipun secara umum mempunyai
isyarat yang sama, tetapi berbeda secara perinciannya.
Dalam penilaian Ibn
Taimiyyah, ada perbedaan mendasar antara qawaid ushuliyyah dengan qawaid
fiqhiyah. Qawaid ushuliyyah membahas tentang dalil-dalil umum. Sementara qawaid
fiqhiyah merupakan kaidah-kaidah yang membahas tentang hukum yang bersifat
umum. Jadi, qawaid ushuliyah membicarakan tentang dalil-dalil yang bersifat
umum, sedangkan qawaid fiqhiyah membicarakan tentang hukum-hukum yang bersifat
umum.
Perbedaan al-qawaid fiqhiyah dan
kaidah ushul fiqh secara lebih rinci dan jelas dapat diamati dalam uraian di
bawah ini:
1. Qawaid ushuliyyah adalah kaidah-kaidah
bersifat kulli (umum) yang dapat diterapkan pada semua bagian-bagian dan
objeknya. Sementara qawaid fiqhiyah adalah himpunan hukum-hukum yang biasanya
dapat diterapkan pada mayoritas bagian-bagiannya. Namun, kadangkala ada
pengecualian dari kebiasaan yang berlaku umum tersebut.
2. Qawaid ushuliyyah atau ushul fiqh
merupakan metode untuk mengistinbathkan hukum secara benar dan terhindar dari
kesalahan. Kedudukannya persis sama dengan ilmu nahwu yang berfungsi melahirkan
pembicaraan dan tulisan yang benar. Qawaid ushuliyyah sebagai metode melahirkan
hukum dari dalil-dalil terperinci sehingga objek kajiannya selalu berkisar
tentang dalil dan hukum. Misalnya, setiap amar atau perintah menunjukkan wajib
dan setiap larangan menunjukkan untuk hukum haram. Sementara qawaid fiqhiyah
adalah ketentuan (hukum) yang bersifat kulli (umum) atau kebanyakan yang
bagian-bagiannya meliputi sebagian masalah fiqh. Objek kajian qawaid fiqhiyah
selalu menyangkut perbuatan mukallaf.
3. Qawaid ushuliyyah sebagai pintu untuk
mengistinbathkan hukum syara’ yang bersifat amaliyah. Sementara qawaid
fiqhiyah merupakan himpunan sejumlah hukum-hukum fiqh yang serupa dengan ada
satu illat (sifat) untuk menghimpunnya secara bersamaan. Tujuan adanya qawaid
fiqhiyah untuk menghimpun dan memudahkan memahami fiqh.
4. Qawaid ushuliyah ada sebelum ada furu’
(fiqh). Sebab, qawaid ushuliyyah digunakan ahli fiqh untuk melahirkan hukum
(furu’). Sedangkan qawaid fiqhiyah muncul dan ada setelah ada furu’ (fiqh).
Sebab, qawaid fiqhiyah berasal dari kumpulan sejumlah masalah fiqh yang serupa,
ada hubungan dan sama substansinya.
5. Dari satu sisi qawaid fiqhiyah memiliki
persamaan dengan qawaid ushuliyyah. Namun, dari sisi lain ada perbedaan antara
keduanya. Adapun segi persamaannya, keduanya sama-sama memiliki bagian-bagian
yang berada di bawahnya. Sementara perbedaannya, qawaid ushuliyyah adalah
himpunan sejumlah persoalan yang meliputi tentang dalil-dalil yang dapat
dipakai untuk menetapkan hukum. Sedangkan qawaid fiqhiyah merupakan himpunan
sejumlah masalah yang meliputi hukum-hukum fiqh yang berada di bawah cakupannya
semata.
MATERI
5
Kaidah
Fikhiyah Pertama
1. Pengertian Qaidah
الأمور بمقاصدها
“Setiap Perkara Dinilai Berdasarkan Niat.”
Kaidah pertama daripada kaidah asas yang lima ini menentukan
bagaimana sesuatu perkara itu dilakukan. Ini bermaksud tiap-tiap perkara itu
menurut tujuannya atau berdasarkan niatnya. Oleh itu, amalan-amalan yang
dilakukan oleh mukallaf ditentukan oleh niatnya.
Al Umur (الأمور) : Yaitu lafadz umum yang merangkumi semua tindakan
yang terhasil dari seorang manusia sama dengan melakukankan atau
meninggalkan. Ia juga meliputi perbuatan, kata-kata atau pun niat. Oleh
itu setiap tindakan atau sesuatu yang keluar dari seseorang manusia adalah
terikat dengan apa yang diniatkan untuk diberi pahala atau dosa
2. Dalil Dan Sumber Pembentukan
Asal
kaidah ini diambil daripada Firman Allah SWT:
وَمَا اُمِرُوُ اِلَّا لِيَعْبُدُ اللّٰهَ مُخْلِصِيْنَ لَهُ
الدِّيْنَ
Artinya : “Dan mereka tidak disuruh
kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam
(menjalankan) agama yang lurus (jauh dari syirik dan jauh dari kesesatan)”.
(QS. Al bayyinah:5).
Dan
dalam surat Al-imran :145
وَمَنْ يُرِدْ ثَوَابَ الدُّنْيَا نُؤْتِهِ مِنْهَا وَمَنْ يُرِدْ
ثَوَابَ الاٰخِرَةِ نُؤْتِهِ مِنهَا
Artinya: “Barang siapa menghendaki
pahala dunia, niscaya kami berikan kepadanya pahala dunia itu, dan barang siapa
menghendaki pahala akhirat, kami berikan (pula) kepadanya pahala akhirat itu”.
sabda Nabi, antaranya :
عن أمير المؤمنين أبي حفص عمر بن الخطاب رضي الله تعالى عنه قال : سمعت
رسول الله صلى الله تعالى عليه وعلى آله وسلم يقول: إِنَّمَا الأَعْمَالُ
بِالنِّيَّاتِ ، وَإِنَّمَا لِكُلِّ امْرِئٍ مَا نَوَى ، فَمَنْ كَانَتْ
هِجْرَتُهُ إِلَى دُنْيَا يُصِيبُهَا أَوْ إِلَى امْرَأَةٍ يَنْكِحُهَا
فَهِجْرَتُهُ إِلَى مَا هَاجَرَ إِلَيْهِ
Sesungguhnya setiap perbuatan itu
berdasaran niat, dan sesungguhnya bagi setiap orang apa yang diniatkannya.
Barang siapa yang berhijrah karena Allah dan Rasul-Nya maka hijrahnya itu
karena Allah dan Rasul-Nya. Barang siapa yang berhijrah karena dunia yang ingin
diperolehnya, atau siapa yang berhijrah karena wanita yang ingin dikawininya.
Maka hijrahnya itu berdasarkan apa yang ia hijrahkannya. (HR Muslim)
إِنَّهُ لاَ عَمَلَ لِمَنْ لاَ نِيَّةَ لَهُ
“Sesungguhnya tidak beramalan siapa
yang tidak berniat”. (HR al-Baihaqi).
عَنْ أَبِى
هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- : « إِنَّمَا
يُبْعَثُ النَّاسُ عَلَى نِيَّاتِهِمْ
“Sesungguhnya manusia akan
dibangkitkan berdasarkan niatnya.” (HR Ibn Majah).
Oleh karena itu, niat menjadi
syarat utama sah atau batal sesuatu perkara itu atau diberi pahala atau dosa.
Untuk itu, amalan yang tidak disertai niat tidak mendatang kesan apa-apa.
3. Tujuan Niat
Tujuan utama disyariatkan niat ialah untuk membedakan
perbuatan yang dilakukan sama adanya karena ibadah ataupun adat.
Contohnya:
a. Seseorang
yang megambil wudlu’ atau meratakan air keseluruh tubuhnya. Perbuatan tersebut
kemungkinan untuk membersihkan tubuhnya yang kotor atau menyejukkan
tubuhnya dihari yang terik atau kemungkinan juga karena karena
tujuan ibadah.
b.
Seseorang yang tidak menjamah makanan sejak dari pagi kemungkinan karena untuk
diet, atau untuk menjaga kesehatannya atau kemungkinan dia sedang berpuasa.
c. Seseorang
yang sedang berada dalam masjid kemungkinan ia masuk untuk merehatkan
tubuhnya atau kemungkinan juga untuk beribadah.
d. Seseorang
yang menyerahkan sesuatu kepada seseorang berbentuk uang atau berupa makanan
sama halnya dia memberikan sedekah atau hibah atau zakat.
e.
Seseorang yang menyembelih binatang kemungkinan untuk menikmati dagingnya
memakan daging binatang tersebut atau kemungkinan juga untuk tujuan lain.
4. Qaidah – Qaidah Furu
Berdasarkan
kepada kaidah pertama diatas dapat dipecahkan kepada beberapa kaidah lain yang
lebih kecil. Antaranya:
a.
( عدم اشتراط النية فى عبادة لا تكون عادة أو لا تلتبس)
Tidak disyaratkan niat dalam mana-mana
jenis ibadat yang ia bukan jenis adat, atau ia tidak akan kesamaran dengan yang
lain. Contohnya seperti beriman kepada Allah, takut dan mengharap kepada-Nya,
membaca al-Qur’an, dzikir. Hal ini karena bentuk amalan itu pun sudah berbeda
dengan yang lain, tetapi diwajibkan niat pada membaca al-Qur’an apabila
dinazarkannya bagi membedakan fardhu dengan yang lainnya.
b.
( اشتراط التعيين فيما يلتبس دون غيره)
Disyaratkan
menentukan dalam mana-mana amalan yang mempunyai persamaan, tetapi tidak
disyaratkan ta’yin pada amalan yang tidak mempunyai kesamaan dengan yang lain. Contohnya
yang disyaratkan ta’yin ialah seperti shalat, dan yang tidak diperlukan
ta’yin adalah seperti taharah, haji dan umrah.
c.
( مالا يشترط التعرض له جماة وتفصيلا اذا عينه وأخطأ لم يضر)
“Sesungguhnya
(perbuatan) yang tidak disyaratkan untuk dijelaskan, baik secara keseluruhan,
maupun secara terperinci tidak disyaratkan untuk mengemukakan niat, maka bila
dinyatakannya dan ternyata keliru, maka kekeliruannya itu tidak membahayakan
(tidak membatalkan)”. Contohnya, Apabila seseorang imam yang sholat dengan
niatnya sebagai imam dari Muhammad, padahal ma’mum di belakangnya adalah
Mahmud. Maka sholatnya tidak batal sebab imam itu tidak harus menyatakan
niatnya tentang siapa orang yang berma’mum di belakangnya.
d.
( ما يشترط فيها التعيين فالخطأ فيه مبطل)
“Dalam amal yang disyaratkan menyatakan
niat, maka kekeliruan pernyataan membatalkan amalnya”. Perbuatan yang apabila
salah dalam niatnya, maka perbuatan itu menjadi batal. Contohnya, salah niat
puasa kepada niat shalat atau sebaliknya, dan dari shalat zhuhur kepada ashar.
e.
(ما يجب التعرض له جملة ولا يشترط تعيينه تفصيلا اذا عينه وأخطأ
ضر)
Amalan-amalan yang wajib
dita’arrudh baginya secara ringkas dan tidak disyaratkan ta’yinnya secara
terperinci apabila dita’yinkan dan tersalah maka ia menjadi mudarat (batal). Contohnya,
seseorang yang sembahyang jenazah dengan berniat si Zaid, kemudian ternyata
yang disembahyangkan itu Umar, atau ditentukan lelaki yang sebenarnya
perempuan, maka terbatal sembahyang jenazah itu jika tidak disebutkan mayat
itu.
f.
( النية فى اليمين تخصص اللفظ العام ولا تعم الخاص)
“Niat dalam sumpah mengkhususkan lafadz
yang umum, dan tidak pula menjadikan umumnya lafadz yang khusus”. Apabila
seseorang bersumpah bahwa ia tidak akan berbicara dengan seseorang, tetapi yang
dimaksud orang tertentu yaitu Hambali, maka sumpah ini hanya berlaku pada
Hambali saja, dan yang lain tidak.
g.
(مقاصد اللفظ على نية اللافظ الا فى موضع واحد وهو اليمين
عندالقاضى)
Tujuan dan makna lafadz adalah dirujuk
kepada niat orang yang berlafadz kecuali satu masalah saja yaitu sumpah
dihadapan hakim. Apabila ucapan seseorang itu dianggap sah atau tidak, itu
tergantung dari maksud orang itu sendiri, yaitu apa maksudnya. Ini karena
sumpah dihadapan hakim adalah berdasarkan kepada niat hakim bukan karena
mengikut niat orang yang bersumpah.
h.
(العبرة فى العقود للمقا صد والمعاني لا للالفاظ والمعاني)
“Yang
dianggap dalam aqad adalah maksud-maksud, bukan lafadz-lafadz dan bentuk-bentuk
perkataan”. Tidak sahnya berpegang kepada harfiyah lafadz apabila terbukti
bahwa maksud dan niat bukan sebagai yang dilafadzkan itu. Contohnya, apabila
seseorang berkata “aku beli dari engkau sehelai baju yang sifatnya
sekian-sekian dengan harga ini”. Lalu dijawab oleh penjual, “ya, aku jualkannya
kepada engkau”.
MATERI
6
Kaidah
Fikhiyah Kedua
1.
Pengertian Qaidah
الْيَقِينُ لَا يُزَالُ بِالشَّكِّ
“ Keyakinan tidak bisa hilang dengan
adanya keraguan “
Kaidah fikih
yang kedua adalah kaidah tentang keyakinan dan keraguan. اليَقِيْنُ secara
bahasa adalah kemantapan hati atas sesuatu. Al-Yaqin juga bisa
dikatakan pengetahuan dan tidak ada kearguan didalamnya. Ulama sepakat dalam
mengartikan Al-Yaqin yang artinya pengetahuan dan merupakan
antonym dari Asy-Syakk. Sedangkan menurut istilah:
1. Menurut
Imam Al-Jurjani Al-Yaqin adalah ”meyakini sesuatu bahwasanya
”begini” dengan berkeyakinan bahwa tidak mungkin ada kecuali dengan ”begini”
cocok dengan realita yang ada, tanpa ada kemungkinan untuk menghilangkannya”.
2. Imam Abu
Al-Baqa’ Al-Yaqin adalah ”pengetahuan yang bersifat tetap dan
pasti dan dibenarkan oleh hati dengan menyebutkan sebab-sebab tertentu dan
tidak menerima sesuatu yang tidak bersifat pasti”.
3. As-Suyuthi
menyatakan Al-Yaqin adalah ”sesuatu yang tetap dan pasti yang
dapat dibuktikan melalui penelitian dan menyertakan bukti-bukti yang
mendukungnya”.
Adapun الشَكُّ secara bahasa artinya adalah
keraguan. juga bisa diartikan dengan sesuatu yang membingungkan. Sedangkan
menurut istilah:
1. Menurut
Imam Al-Maqarri Asy-Syakk adalah ”sesuatu yang tidak menentu
(meragukan) antara ada atau tidak ada”.
2. Menurut Imam Al-Jurjani Asy-Syakk adalah
”sesuatu yang tidak menentu (meragukan) antara sesuatu yang saling berlawanan,
tanpa dapat dimenangkan salah satunya”.
Maksudnya
adalah apabila terjadi sebuah kebimbangan antara dua hal yang mana tidak bisa
memilih dan menguatkan salah satunya, namun apabila bisa menguatkan salah
satunya maka hal itu tidak dinamakan dengan الشَكُّ.
Kaidah ini
sama dengan asas praduga tak bersalah (presumption of innocent) dalam
hukum Barat. Selain itu, secara moral, seorang muslim harus memiliki
husnu zhan (berprasangka baik) sebelum ada bukti yang meyakinkan bahwa dia
tidak baik.
Adapun yang yang
dimaksud dengan ( yakin ) ialah:
اليقين هو ما كان ثابتا بالنظر والدليل
“Sesuatu yang menjadi
tetap dengan karena penglihatan atau dengan adanya dalil”
Sedangkan yang dimaksud ( syak ) ialah:
الشك هو ما كان مترددا بين الثبوت وعد مه مع تساوي طرفي الصواب والخطإ دون
ترجيح أحدهما على الأخر
“Sesungguhnya pertentangan antara tetap dan tidaknya,
di mana pertentangan tersebut sama antara batas kebenaran dan kesalahan, tanpa
ditarjihkan salah satunya”.
Jadi maksud
kaidah ini ialah: apabila seseorang telah meyakini terhadap suatu perkara, maka
yang telah diyakini ini tidak dapat dihilangkan dengan keragu-raguan (hal-hal
yang masih ragu-ragu). Mengenai keragu-raguan ini, menurut asy-Syaikh al-Imam
Abu Hamid al-Asfirayniy, itu ada tiga macam, yaitu:
1. Keragu-raguan yang berasal dari haram.
2. Keragu-raguan yang berasal dari mubah.
3. Keragu-raguan yang tidak diketahui pangkal asalnya
atau syubhat.
Dari uraian diatas maka dapat diperoleh pengertian
secara jelas bahwa sesuatu yang bersifat tetap dan pasti tidak dapat dihapus
kedudukannya oleh keraguan. Sebagai penjelasan lebih lanjut الأصل براءة الذمة (hukum asal sesuatu itu adalah
terbebas seseorang dari beban tanggung jawab) sehingga al-yaqin bukan termasuk
sesuatu yang terbebankan.
2.
Dalil Dan Sumber Pembentukan
Adapun dasar-dasar pengambilan kaidah asasiyyah yang
kedua ini mengenai keyakinan dean keraguan, antara lain sebagai berikut:
Sebagaimana
yang dikutip oleh Muchlis Usman, bahwa Nabi Muhammad SAW bersabda, yang
diriwayatkan oleh Imam Muslim yang artinya: “ Dari Abu Hurairah berkata :
Rosululloh bersabda : “Apabila salah seorang diantara kalian merasakan sesuatu
dalam perutnya, lalu dia kesulitan menetukan apakah sudah keluar sesuatu
(kentut) ataukah belum, maka jangan membatalkan sholatnya sampai dia mendengar
suara atau mencium bau.” (HR. Muslim).
3.
Qaidah – Qaidah Furu
Kaidah asasiyyah tentang keyakinan dan keraguan ada 11 (sebelas) yang
merupakan sub-sub dari kaidah tersebut, yaitu:
·
“ Apa yang yakin bisa
hilang karena adanya bukti lain yang meyakinkan pula” Maksudnya apabila telah
meyakini sesuatu kemudian ada bukti yang lebih meyakinkan tentang hal tersebut,
maka keyakinan kedua lah yang dianggap benar. Contoh: Seseorang yang
berkendaraan pada waktu hujan, kemudian dia terkena percikan air hujan yang
sudah tercampur dengan air di jalan yang kemungkinan bahwa air itu najis, maka
dia tidak wajib mencuci kaki atau baju yang terkena air tersebut, karena pada
dasarnya air adalah suci, kecuali kalau ada bukti kuat bahwa air itu najis.
·
“ Apa yang ditetapkan
atas dasar keyakinan tidak bisa hilang kecuali dengan keyakinan lagi” Dalam
kaidah ini berhubungan dengan jumlah bilangan, apabila seseorang ragu, maka
bilangan yang terkecil itulah yang meyakinkan. Contoh: Seseorang makan gorengan sambil berkumpul dengan teman-temannya,
kemudian dia ragu sudah memakan 3 atau 4 gorengan, maka bilangan yang 4 lah
yang meyakinkan,karena ini berhubungan dengan mualamalah atau hubungan sesama
manusia, sebab jika kita memilih bilangan sedikit, dikhawatirkan akan termakan
hak orang lain, tetapi jika keraguan dalam masalah ibadah kepada Allah SWT
seperti bilangan shalat, apakah sudah 3 rakaat atau 4 rakaat, maka bilangan
terkecillah yang kita ambil sebab ini adalah masalah pelaksanaan kewajiban kita
sebagai hamba-Nya dan untuk kehati-hatian kita .
·
“ Hukum asal adalah bebasnya seseorang dari tanggung
jawab” makna tersebut pada dasarnya manusia dilahirkan dalam keadaan bebas dari
tuntutan, baik yang berhubungan dengan hak Allah maupun dengan hak Adami. Jadi
sesuatu bebas dari tanggungan sampai ada yang mengubahnya. Contoh: Seseorang bebas dari tanggung
jawabnya sebagai mahasiswa, sampai dia benar-benar masuk sebuah universitas dan
terdaftar sebagai mahasiswa.
·
“ Hukum asal itu tetap
dalam keadaan tersebut selama tidak ada hal lain yang mengubahnya” Keadaan
dalam contoh sebelumnya bisa terjadi perubahan lagi, manakala ada unsur lain
yang mengubahnya. Mislanya, mahasiswa bebas lagi dari tugas dan kewajibannya
sebagai mahasiswa ketika dia telah lulus atau menyelesaikan sekolahnya. Contoh
lainnya, seseorang yang telah berwudhu, akan tetap dalam keadaan berwudhu,
sampai adanya bukti bahwa ia telah batal. Dengan adanya bukti batal tersebut,
maka berubahlah hukum masihnya ia dalam keadaan berwudhu.
·
“ Hukum asal adalah
ketiadaan” Contoh: Andi membeli play station, kemudian dia berselisih dengan
penjual bahwa play station yang dibelinya ternyata rusak, maka dalam masalah
ini yang menang adalah penjual, karena waktu pembeliaan play station ini sudah
dicoba terlebih dahulu dan dalam keadaan baik.
·
“ Hukum asal adalah
penyandaran suatu peristiwa kepada waktu yang lebih dekat kejadiannya” Kaidah
tersebut terdapat dalam kitab-kitab mazhab Hanafi. Sedangkan dalam kitab-kitab
mazhab Syafi’I, meskipun substansinya sama tetapi ungkapannya berbeda, yaitu: “
Hukum asal dalam segala peristiwa adalah terjadi pada waktu yang paling dekat
kepadanya” Apabila terjadi keraguan karena perbedaan waktu dalam suatu peristiwa,
maka hukum yang ditetapkan adalah menurut waktu yang paling dekat kepada
peristiwa tersebut, karena waktu yang paling dekat yang menjadikan peristiwa
itu terjadi. Contoh: Seseorang menjalani operasi
ginjal, setelah itu dia sehat dan dapat menjalani aktifitas sehari-harinya
seperti biasa, kemudian selang beberapa bulan dia meninggal dunia, maka
meninggalnya orang tersebut bukan karena terjadi operasi, tetapi dikarenakan
suatu hal dan sebagainya.
·
“ Hukum asal segala
sesuatu itu adalah boleh sampai ada dalil yang menunjukkan keharamannya” Maksudnya
selama belum adanya dalil yang menjadikan sesuatu itu haram, maka hukumnya
adalah boleh. Di kalangan mazhab Hanafi ada pula kaidah: “ Hukum asal segala sesuatu adalah larangan
(haram)”. Kemudian oleh para ulama, kaidah tersebut dikompromikan menjadi dua
kaidah dalam bidang hukum yang berbeda, yaitu kaidah: “ Hukum asal segala
sesuatu itu adalah kebolehan sampai ada dalil yang menunjukkan keharamannya”. Contoh:
Tentang binatang cacing, misalnya seseorang memakan atau memperjualbelikan
cacing. Karena pada dasarnya semua hukum itu adalah mubah, maka dalam hal ini
pun diperbolehkan untuk melaksanakan kegiatan tersebut sampai adanya dalil yang
menyatakan keharamannya. Kaidah ini hanya berlaku untuk bidang fiqih muamalah,
sedangkan untuk fikih ibadah digunakan kaidah: “ Hukum asal dalam ibadah mahdah
adalah batal sampai ada dalil yang memerintahkannya” Contoh: Kita telah
mengetahui bahwa tiap-tiap shalat memiliki jumlah rakaat masing-masing. Maka
tidak boleh kita merubahnya, misalkan shalat isya yang 4 rakaat menjadi 3
rakaat saja, karena masalah ibadah itu sudah ada ketetapannya dari Allah SWT. Imam
Syafi’I berpendapat : “ Allah itu Maha Bijaksana, jadi mustahil Allah
menciptakan sesuatu, lau mengharamkan atas hamba-Nya”. Sedangkan Imam Abu
Hanifah berkata bahwa: “ Memang Allah Maha Bijaksana, tetapi bagaimanapun
segala sesuatu itu adalah milik Allah Ta’ala sendiri. Jadi kita tidak boleh
menggunakannya sebelum ada izin dari Allah.
·
“ Hukum asal dari suatu kalimat adalah arti
yang sebenarnya”. Kaidah ini memberI maksud bahwa dalam suatu kalimat, harus
diartikan kepada arti yang hakikat atau arti yang sebenarnya. Yakni sebagaimana
yang dimaksudkan oleh pengertian yang hakiki. Jadi, makna dari sebuah kata yang diungkapkan
haruslah arti yang sebenarnya. Contoh: Seorang pengusaha kaya akan menghibahkan
sebuah rumah dan kendaraan kepada bapak si Jodi yang telah berjasa dalam
mengelola usahannya. Jadi bapak dalam kalimat itu adalah ayah kandung dari
Jodi, bukan ayah angkat ataupun ayah tirinya Jodi.
·
“ Tidak dianggap (diakui), persangkaan yang
jelas salahnya” Contoh: Apabila seorang anak yang berhutang sudah melunasi
semua hutangnya, lalu si ayah dari penghutang juga membayarkan hutang anaknya
tadi, karena si ayah menyangka belum dibayar. Maka si ayah boleh meminta
uangnya kembali, karena ada persangkaan yang salah.
·
“ Tidak diakui adanya waham (kira-kira)”. Maksudnya
adalah dalam suatu hal, kita tidak menggunakan perkiraan. Contoh: Seseorang
yang meninggal dunia dan memiliki harta warisan yang banyak, kemudian harta
tersebut dibagi kepada ahli warisnya. Tentang harta lain yang dikira-kira ada
barangnya, tidak diakui karena hanya berupa perkiraan saja.
·
“ Apa yang ditetapkan berdasarkan waktu, maka
hukumnya ditetapkan berdasarkan berlakunya waktu tersebut selama tidak ada
dalil yang bertentangan dengannya”. Contoh: Seseorang yang pergi ke luar negeri
sebagai Tenaga Kerja Indonesia (TKI), kemudian lama tidak terdengar kabar
beritanya, maka dia tetap dinyatakan masih hidup. Karena berdasarkan pada
keadaan saat dia berangkat, yakni dalam keadaan masih hidup.
MATERI
7
Kaidah
Fikhiyah Ketiga
1.
Pengertian Qaidah
اَلضُّرَرُيُزَالُ
“Kemudharatan harus dihilangkan.”
Maksudnya ialah jika sesuatu itu dianggap
sedang atau akan bahkan memang menimbulkan kemadharatan, maka keberadaanya
wajib dihilangkan.
Yang dimaksud “darurat” ialah suatu keadaan yang bisa berakibat fatal jika
tidak diatasi dengan cara yang luar biasa dan bahkan terkadang dengan cara
melanggar hukum. Sedangkan yang dimaksud “hajat” ialah suatu keadaan biasa
tidak diperkenankan menanganinya secara khusus, bisa timbul kesukaran dan
kerepotan. Dan faktor inilah inilah, maka kaidah ketiga dipakai, yaitu:
اَلْمَشَقَّةُ تَجْلِيبُ التَّيسِيْر
“Kesukaran itu melahirkan kemudahan.”
2.
Dalil Dan Sumber Pembentukan
Dalam surat Al-Baqarah ayat 231 yang artinya: “janganlah kamu rujuki mereka untuk memberi
kemudharatan.”(al-Baqarah: 231)
Hadits Nabi SAW yang
artinya “Tidak boleh membuat kerusakan pada diri sendiri serta kerusakan
pada orang lain.” (HR. Ahmad dan Ibnu
Majah dari Ibnu Abbas).
3. Qaidah – Qaidah Furu
Kaidah Asasiyyah terdapat 10 (sepuluh) kaidah yang merupakan sub-sub kaidah
tersebut, yaitu:
1. Teori Pertama
“Kemadharatan itu
membolehkan yang dilarang”
Di kalangan Ulama Ushul, yang dimaksud dengan
keadaan darurat yang membolehkan seseorang melakaukan hal-hal yang dilarang
adalah kadaan yang memenuhi syarat sebagai berikut:
a) Kondisi darurat itu mengancam jiwa dan
anggota badan.
b) Keadaa darurat hanya dilakukan sekedarnya
dalam arti tidak melampaui batas.
c) Tidak ada jalan lain yang halal kecuali
dengan melakukan yang dilarang.
Adapun dasar pijakannya adalah firman
Allah dalam surat Al-Baqarah ayat 173 yang artinya:
“Tetapi Barangsiapa
dalam Keadaan terpaksa (memakannya) sedang Dia tidak menginginkannya dan tidak
(pula) melampaui batas, Maka tidak ada dosa baginya. Sesungguhnya Allah Maha
Pengampun lagi Maha Penyayang.” (al-Baqarah: 173)
Dengan adanya dasar al-Qur’an tersebut, maka dalam
keadaan terpaksa, seseorang boleh diperbolehkan melakukan suatu perbuatan yang
dalam kebiasaannya melakukannya, kemungkinan besar sekali menimbulkan
kemadhatratan pada dirinya. Oleh sebab itu, maka kaidah-fiqih tersebut
merupakan pengecualian syariah yang bersifat umum (general law), artinya
orang haram hukum melakukan hal-hal yang telah diharamkan atau dilarang oleh
agama.
Contohnya: Diibaratkan disuatu desa ada seorang
ibu-ibu yang akan melahirkan namun, sudah dalam keadaan kondisi yang sangat
kritis sedangkan di desa tersebut tidak ada seorang bidan dan hanya seorang
dokter laki-laki. Maka hal seperti itu yang dibolehkan bagi dokter laki-laki
tersebut melihat kemaluan dari pada pasien tersebut.
2. Teori Kedua
“Sesuatu yang diperbolehkan karena darurat, harus
diperkirakan menurut batasan ukuran kebutuhan minimal.”
Kaidah diatas
sesungguhnya membatasi manusia dalam melakukan yang dilarang karena kondisi
darurat. Seperti telah dijelaskan melakukan yang haram karena darurat tidak
boleh melampaui batas, tetapi hanya sekedarnya.
Oleh sebab itu, jika kemudharatan atau keadaan
yang memaksa tersebut sudah hilang, maka hukum kebolehan yang berdasarkan
kemudharatan menjadi hilang juga, artinya perbuatan boleh kembali keasal semula,
yaitu terlarang.
Dari adanya kaedah tersebut, maka muncul kaedah
sebagai berikut: “Apa saja kebolehannya karena ada alasan kuat (uzur), maka
hilangnya kebolehan itu disebabkan oleh hilangnya alasan.” Contoh: Diibaratkan seorang dokter laki-laki yang sedang memeriksa pasien
perempuan. Maka bagi dokter tersebut hanya boleh memriksa (melihat) bagian yang
sakitnya saja, dan tidak diperbolehkan (melihat) yang lainnya.
3.
Teori Ketiga
“Kemudharatan itu harus
ditinggalkan sedapat mungkin.” Maksud dari kaidah ini
ialah, kewajiban menghindarkan terjadinya suatu kemudharatan, atau dengan kata
lain, kewajiban melakukan usaha-usaha preventif agar terjadi suatu
kemudharatan, dengan segala daya upaya mungkin dapat diusahakan. Contoh: Diibaratkan seseorang dokter yang akan melakukan operasi kepada
pasiennya dengan menggunakan obat-obatan terlarang (narkoba) sebagai obat bius.
Namun, disitu masih ada obat yang tidak mengandung (narkoba). Maka, dokter
tersebut tidak boleh memberikan obat bius yang mengandung obat-obatan
terlarang tersebut.
4.
Teori Keempat
“Kemudharatan tidak bisa hilang dengan
kemudharatan lain.”
Maksud kaidah itu adalah
kemudharatan tidak boleh dihilangkan dengan cara melakukan kemudharatan yang
lain yang sebanding keadaannya. Contoh: Diibaratkan seorang pasien yang
memiliki penyakit ginjal, sedang si pasien tersebut ingin menyumbangkan salah
satu ginjalnya untuk pasien yang lain dengan alasan ingin menolongnya.
5.
Teori Kelima
“Jika terjadi pertentangan antara dua macam mufsadat,
maka harus diperhatikan mana yang lebih besar bahayanya dengna melakukan yang
lebih ringan.”
Maksud kaidah ini,
manakala pada suatu ketika datang secara bersamaan dua mufsadat atau lebih,
maka harus diseleksi, manakah diantara mufsadat itu yang lebih kecil ata lebih
ringan. Setelah diketahui, maka yang mudharatnya lebih besar atau lebih berat
harus ditinggalkan dan dikerjakan yang lebih kecil atau yang lebih ringan
mudharatnya.
6.
Teori Keenam
“Kemudharatan yang lebih berat dihilangkan
dengan kemudharatan yang lebih ringan.”
Contoh: Diibaratkan ada seorang anak laki-laki remaja yang mempunyai
nafsu (seks) yang sangat tinggi dan dia tidak tahan bila mana melihat seorang
wanita yang memakai pakaian seksi. Maka dibolehkan bagi anak laki-laki tersebut
untuk melakukan onani demi menjaga kehormatannya dari pada dia melakukan suatu
perjinahan.
7.
Teori Ketujuh
“Kemudharatan itu tidak
dapat dibiarkan karena dianggap telah lama terjadi.”
Maksud kaidah diatas adalah, kemudharatan itu harus dihilangkan dan tidak
boleh dibiarkan terus berlangsung dengan alasan kemudharatan tersebut telah ada
sejak dahulu. Contoh: Diibaratkan ada sesorang yang sangat senang berbohong
(membohongi orang lain) sampai-sampai dia dianggap sebagai pembohong. Maka, orang
tersebut harus dinasehati/ditegur supaya dia sadar akan kesalahannya tersebut.
8.
Teori Kedelapan
“Kedudukan kebutuhan itu menempati
kedudukan darurat baik umum maupun khusus.”
Menurut kaedah ini, kejahatan yang sangat
mendesak, dapat disamakan dengan keadaan darurat. Apalagi kalau kebutuhan itu
bersifat umum, niscaya berubah menjadi darurat. Contoh: Diibaratkan Pemerintah
yang memiliki rencana akan melakukan pelebaran jalan demi mengurangi kecelakaan
lalu lintas karena sudah sangat ramai, maka dari itu pemerintah berencana akan
membongkar sebagian rumah warga. Hal tersebut dibolehkan demi kepentingan orang
banyak.
9.
Teori Kesembilan
“Setiap keringanan yang dibolehkan karena
darurat atau karena al-hajah, tidak boleh dilaksanakan
sebelum terjadinya kondisi darurat atau al-hajah.”
Dhabith di atas ditemukan dalam kitab al-Isyraf karya Qadhi Abd
al-Wahab al-Malik. Sedangkan dalam kitab al-Asybah wa
al-Nazha’ir, ada dhabith, yaitu:
“al-Hajah apabila bersifat umum adalah seperti kondisi darurat.” Contoh:
Diibaratkan seseorang yang bekerja dihutan, sedang pesangon (sembako) yang
dibawanya telah habis dan pekerja tersebut dalam keadaan sangat kelaparan. Lalu
pekerja tersebut mencari-cari makanan dihutan namun tidak menemukan satu pun
makanan yang halal (bangkai-bangkai huwan yang masih segar (rusa, kancil))
maka, pekerja tersebut boleh memakannnya karena tidak ada lagi makanan yang
halal.
10. Teori Kesepuluh
“Setiap tindakan hukum yang membawa
kemafsadatan atau menolak kemaslahatan adalah dilarang.”
Contoh: Diibaratkan seseorang yang merasa dia orang yang kaya namun, dia
sangat senang menghambur-hamburkan uangnya (boros) tanpa ada manfaatnya.